arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Seorang perempuan berusia 26 tahun dengan seragam polisinya sedang berdiri di pos dekat gerbang perbatasan Kota Sukamawar-Kota Kebun Melati. Dia sering dipanggil Nara, pangkat Inspektur Polisi Satu menjadi kebanggaannya.

Dia berdiri di sana bukan tanpa sebab. Sudah banyak laporan warga bahwa akhir-akhir ini sering terjadi kegiatan mencurigakan. Sebagai bagian dari kepolisian, mengayomi masyarakat sudah menjadi tugas yang harus diemban.

Dipekerjakan di Kepolisian Resor Kota Sukamawar, Nara bukanlah warga asli sana. Dia hanya ditempatkan dan heran kenapa di perbatasan ada rumah yang berdiri. Dia sempat berpikir, “Masuk daerah mana rumah ini?”

Hal itu membuatnya berpikir semakin jauh, “Siapa pemilik rumah ini?” Tapi dia memutuskan untuk berhenti memikirkannya karena itu bukan alasan dia ditugaskan di perbatasan. Iptu Nara adalah orang yang dipercaya oleh Komisaris Polisi Ferdi, Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Meskipun baru ditugaskan di sini, tapi kemampuannya tidak diragukan lagi.

Handy Talky yang Nara bawa mengeluarkan suara. “Nara, bagaimana situasi di sana?” Nampaknya Kompol Ferdi yang bertanya.

“Masih aman terkendali, pak.” Iptu Nara menjawab dengan santai.

Tak lama kemudian, datang seorang pria dengan pakaian serba hitam lengkap dengan masker dan topi ala musim dingin. Gelagatnya yang selalu tengok sana-sini memancing kecurigaan Iptu Nara.

“Sial. Kenapa aku memilih untuk mengenakan seragam hari ini? Andai aku pakai kemeja saja.” Iptu Nara menggumam seraya berpikir andai dia bisa mendekati pria itu tanpa memunculkan kecurigaan.

“8-9 Bapak Ferdi. Saya menemukan tanda pelaku telah tiba di TKP. 6-4.”

“Tunggu positif dahulu. Saya turunkan seseorang untuk membantumu. Laporkan terus.”

“Siapa orang yang beliau maksud?” tanya Iptu Nara dalam pikirannya. Lamunannya terhenti ketika ada seorang pria lainnya mendekat. Dengan hoodie berwarna kuning, hanya dalam waktu singkat terjadi transaksi.

“Saya sudah melihatnya. Saya mengejar pengedar.”

“Semoga berhasil.” Itu adalah laporan dan tanggapan terakhir.

Iptu Nara berjalan perlahan keluar dari posnya. Menyadari Iptu Nara mendekat, pria dengan pakaian seba hitam itu segera berlari. “Sudah kuduga seharusnya aku menyamar.” Tanpa ragu, Iptu Nara mengejarnya.

Pria itu berlari ke arah Sukamawar namun sang pembeli lari ke arah Kebun Melati. Iptu Nara memutuskan untuk tetap mengejar sang pengedar.

Berlari melewati jalan raya, Iptu Nara hanya bisa berteriak “Minggir!” kepada warga sambil berharap besar ada yang mau menghentikannya. Masyarakat hanya menyingkir dari trotoar sementara mereka terus berlari.

Asam laktat yang terus terproduksi mulai memperlambat laju dari lari Iptu Nara. Kecepatan mulai menurun sementara sang pengedar terus berlari tanpa henti.

Dari jarak yang tidak begitu jauh, Iptu Nara melihat seorang remaja menghalangi lari sang pengedar. Tinjuan keras terdengar tidak lama kemudian yang menjatuhkan pengedar itu. Iptu Nara yang agak kelelahan mendekati mereka dengan lari kecil.

“Terima kasih telah membantu,” ucap Nara kepada remaja itu. “Boleh saya tahu namamu?” Nara mengeluarkan borgol dari saku belakang dan menahan sang pengedar yang sedang dalam posisi tiarap.

“Muhammad Faisal,” jawabnya sambil mengibas tangan. Nampaknya pukulan itu sangat keras sampai dia menyakiti tangannya sendiri.

“Senang berkenalan denganmu, Faisal. Namaku Nara.”

Bel sekolah terdengar. “Saya kembali ke kelas dulu.”

“Silakan, semoga kita bisa bertemu lagi lain waktu.”


Iptu Nara membawa sang pengedar kembali ke posnya. Iptu Nara terkejut ketika melihat dua orang sudah ada di dalam. Satu terbaring dan satu berdiri di sampingnya. Nara bisa memastikan bahwa yang terbaring itu adalah pembeli barang namun dia tidak mengenal orang yang berdiri.

“Siapa kamu? Kamu apakan dia?”

“Siapa aku? Tenang, Nara. Apakah Pak Ferdi belum memberitahu?”

Iptu Nara berpikir sebentar kemudian mengingatnya.

“Ya, aku orang yang beliau maksud. Perkenalkan, namaku Dimas, ilusionis yang dipekerjakan di Kepolisian Resor Kota Sukamawar.”

“Ilusionis? Mengapa mereka mempekerjakan orang sepertimu?”

Dimas terlihat kesal atas pertanyaan itu. “Perlu kubangunkan orang ini? Agar dia bisa langsung kabur.” Dimas sontak mendekat kepada pria yang terbaring itu.

“Baiklah. Maaf atas pertanyaanku tadi.”

Dimas kembali berdiri. “Percaya atau tidak, aku dipekerjakan oleh mereka hanya karena membunuh seseorang yang telah lama menjadi buron mereka. Dia adalah wanita yang kucintai. Aku yang lama menunggunya, tepat di gerbang itu berdiri sekarang, dia yang marah-marah.”

“Tapi kamu tidak dihukum?”

“Ya, aku dihukum penjara seumur hidup. Oleh Kepolisian Resor Kota Kebun Melati. Dengan bebasnya aku, terbuktilah bahwa mereka sangat bobrok. Bersyukurlah kamu tidak ditempatkan di sana, atau kamu harus memukul orang setiap harinya.”

Tidak lama kemudian, mobil polisi datang mendekati pos penjagaan itu. Jendela mobil terbuka. Ternyata Kompol Ferdi di dalamnya. “Dapat keduanya?” tanya beliau.

Nara menunjukkan tangkapannya, begitu pula Dimas setelah membangunkan sang penerima. “Bawa mereka, kalian ikut juga ke kantor.” Dimas dan Iptu Nara kemudian masuk mobil beserta dua pelaku.


Komentar