arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Ceceran darah seakan membuat jalan berwarna merah. Pria paruh baya dengan kaki, tangan, mulut terikat itu diseret tanpa henti sampai ke tempat tujuan. Liang lahat yang telah terbuka lebar, dia dimasukkan ke dalamnya dan ditutup. Lampu remang-remang menjadi penerangan di tengah malam itu.


Garis polisi terbentang di lahan pekuburan itu keesokan paginya. Sang perwira baru yang tergabung dalam Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar, Inspektur Polisi Satu Marwan diturunkan ke lapangan untuk menyelidiki kejadian janggal tersebut. Tanah galian yang masih baru, ceceran darah, apalagi tangan korban seolah meraih untuk keluar sangat jelas sehingga kejadian ini tidak bisa mencegah kecurigaan siapapun.

Dua pria dengan usia 30-an sedang melakukan penggalian dengan cangkul. Masing-masing bernama Sina dan Hafi, hal itu diketahui oleh Iptu Marwan karena mereka memperkenalkan diri setelah ditanya. Saat menggali, Iptu Marwan menyadari sarung tangan kain putih yang digunakan oleh Sina terlihat lebih kotor dibanding Hafi.

Iptu Marwan memilih untuk meninggalkan mereka untuk menyisir jalan, mengikuti jejak dari ceceran darah itu. Berdasarkan penyelidikan sederhana itu, gudang penyimpanan barang menjadi titik berhenti.

Iptu Marwan memutuskan untuk memasuki gudang itu dan menguatkan keinginannya dengan memasang sarung tangan. Senter kecil yang tergantung di pintu gudang menjadi alat penerang. Tidak lama kemudian, Iptu Marwan menemukan sebuah sekop dengan bercak darah di ujung dan gagangnya. Dia pun menduga keras bahwa sekop itu adalah senjata pembunuhan sehingga membawanya.

Penggalian selesai dilakukan, jenazah pria paruh baya itu dievakuasi oleh tim penyelenggara forensik untuk diautopsi. Hafi nampak terkejut ketika melihat mayat itu, dia nampak mengenalnya. Namun, ketika Iptu Marwan memandangnya, dia memalingkan wajah.

Memerlukan waktu yang cukup lama untuk dimasukkan ke dalam kantong jenazah, belum menaikkan jasad itu untuk dibawa ke Rumah Sakit Sukamawar dengan mobil bak terbuka, tidak seperti biasanya yang menggunakan ambulans sekaligus mobil jenazah jika darurat.


“Kita bertemu lagi, Dokter Ika,” sapa Iptu Marwan.

“Paling tidak, kali ini autopsiku resmi. Tidak seperti biasanya yang hanya permintaan.” Iptu Marwan agak heran. “Ya, benar. Menjadi anggota tim forensik mungkin bisa menambah gajiku.” Dokter Ika tertawa kecil.

“Bagaimana hasilnya?” Iptu Marwan mengubah topik pembicaraan.

“Di bagian belakang kepala, dekat dengan leher, ada luka benda lancip namun tidak begitu tajam. Luka itu segaris, saya ingin menduganya dari pisau tapi tidak mungkin serapi itu kecuali pelakunya sudah profesional.”

“Ada kemungkinan sekop adalah benda yang Anda maksud. Sekarang, sekop itu sudah saya serahkan kepada tim INAFIS untuk memeriksa apakah ada sidik jari yang sempat menempel di gagangnya.”

“Pinggiran sekop….” gumam Dokter Ika. “Masuk akal sih, apalagi kalau sekop yang rata.”

“Ada tanda-tanda kekerasan lain?” tanya Iptu Marwan.

“Tidak ada. Saya curiga pelakunya orang yang beliau kenal.”

“Bagaimana dengan identitas bersama korban?”

“Juga tidak ada. Nampaknya Anda belum menemukan identitas pria ini.”

Iptu Marwan hanya tertawa kecil mendengar perkataan tersebut. “Nanti kita bertemu lagi jika aku memerlukan petunjuk.” Dia pun pergi setelahnya.


“Tidak ada tanda-tanda pelaku?” Iptu Marwan sangat terkejut ketika mendapat informasi dari Komisaris Polisi Yudi, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar.

“Ya, sidik jari sama sekali tidak ditemukan di gagang sekop itu. Darah yang ada di sana pun juga milik korban karena ditemukannya kecocokan.” Kompol Yudi menyerahkan dokumen yang dipegangnya. “Apakah kita menemui jalan buntu?”

“Tidak. Kita bisa menemukan pelakunya!” jawab Iptu Marwan dengan yakin kemudian membawa dokumen itu ke mejanya. Dia membaca lembar demi lembar. Informasi yang didapatnya dari sana cukup banyak, namun yang penting adalah identitas korban.

Rujani, empunya tanah sebelum disedekahkan menjadi lahan pekuburan. Dari hasil wawancara Yudi dengan Dinas Agraria, Rujani pernah bercerita bahwa tanah tersebut akan menjadi alkah bagi dia dan keluarganya.

Iptu Marwan terlihat heran setelah membacanya. “Apakah aku akan berhadapan dengan urusan tanah lagi?” pikirnya. Rupanya Iptu Marwan pernah menghadapi kasus yang mirip sebelumnya.


Sina dan Hafi sedang bersantai di sebuah restoran yang terletakdi Kota Kebun Melati. Restoran itu menamai dirinya dengan Rumah Teh Kebun Melati, lengkap dengan slogan “Dipetik langsung dari kebunnya”. Kebun Melati sendiri adalah kota yang bertetangga dengan Sukamawar.

“Yang kita temukan tadi bos kita ‘kan?” tanya Hafi kepada Sina. Sina sempat terkejut atas pertanyaan itu. “Kapan beliau meninggal? Kapan juga dikuburkan?”

“Entahlah. Yang pasti aku juga terkejut.” Sina meminum es teh yang dipesannya dengan cepat, memanggil pelayan untuk membayar kemudian pergi. Hafi heran dengan gelagat Sina yang aneh. Dia pun memutuskan untuk mengikuti ke mana pergi Sina.


Iptu Marwan mencoba keberuntungannya dengan kembali menuju gudang penyimpanan. Namun sepertinya belum beruntung, karena tidak ada bukti lain yang mengarah kepada pelaku. Dia tiba-tiba teringat ucapan Dokter Ika bahwa pelakunya adalah orang yang korban kenal, yang membuat Iptu Marwan juga teringat dengan wajah Hafi saat evakuasi jenazah. Dia langsung ingin mencarinya.

Alangkah terkejutnya Iptu Marwan ketika menemukan genangan darah yang masih segar dekat dengan galian kuburan tempat ditemukannya Rujani. Dia pun memberanikan diri untuk mendekat ke sana. Iptu Marwan semakin terkejut ketika melihat Hafi yang tidak bernyawa ada di dalam lubang itu.

Di titik itu, Iptu Marwan berucap, “Aku sudah tahu pelakunya!”

“Tinggal mencari bagaimana cara untuk menangkapnya….”


Komentar