Iptu Nara dan Dimas berada di kursi penumpang agar mencegah kedua orang itu kabur. Yang bersama Dimas masih tertidur, diduga karena efek dari hipnotis. Sementara yang bersama Iptu Nara menunduk tenang.
Setibanya di markas, barang bukti berupa narkotika yang mereka perdagangkan ditaruh di atas meja. Perwira lain yakni Ipda Renaldi menyambut untuk memeriksa berat, jumlah dan jenisnya. Barang-barang milik kedua tersangka juga disita sementara untuk diteliti nantinya. Kedua tersangka ternyata membawa dompetnya dan didalamnya ada KTP yang sangat membantu untuk pendataan. Iptu Nara terlihat keheranan karena dia belum pernah mengalami hal tersebut sebelumnya, “Para pelaku seolah menyerahkan diri alih-alih kami yang mengejarnya.” Dia hanya bergumam.
Pria yang tertidur itu bernama Karman, warga Kota Kebun Melati namun karena beberapa hal, kasus ini diambil oleh Polresta Sukamawar. Dia disadarkan kembali oleh Dimas. Karman terlihat tidak tahu apa yang terjadi namun ketika melihat Iptu Nara dengan seragamnya, dia langsung tahu. Pria yang satunya bernama Vino, warga Kota Sukamawar. Mereka pun diperiksa urinnya, apakah juga mengonsumsi sehingga nanti bisa memberatkan dalam hukum. Hasil pemeriksaan keduanya adalah negatif.
Barang haram itu telah selesai diperiksa. “Kokaina seberat 1 gram dalam bungkus plastik kecil.” Ipda Renaldi menunjukkan tisu basah dengan bercak biru padanya. Itu adalah reaksi dari kokaina yang dicampur bahan kimia tertentu. Pemeriksaan seperti itu sering dilakukan di bandara mengingat penyelundupan yang marak.
“Dari mana kalian mendapatkannya?” tanya Iptu Nara tegas.
“Aku memesannya secara daring,” jawab Vino dengan suara yang lemah.
“Bagaimana denganmu?” Pandangan Iptu Nara beralih kepada Karman.
“Saya hanya mengantarnya karena dijanjikan uang yang cukup besar.” Karman menjawab dengan suara yang agak bergetar. “Tapi aku tidak mengira akan tertangkap.”
“Untungnya saya ditugaskan di sana.” Iptu Nara bangga. “Kalian tahu? Berdasarkan Pasal 114 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kalian akan dihukum penjara seumur hidup. Jika kalian membantu kami, memberitahu orang-orang yang terlibat, kami bisa meringankannya menjadi lima tahun.”
“Aku membelinya dari CV Hamamelis mollis,” ucap Vino.
“Mereka telah banyak juga memproduksi balsem dan obat-obatan lain,” sahut Karman.
“Rasanya aku tahu maksud mereka,” ucap Dimas.
Brigadir Polisi Kurniawan mendatangi Dimas secara tiba-tiba. “Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.” Dia berdiri begitu dekat dan menggenggam kerah dari kemeja Dimas. “Apakah kamu oknum yang dikatakan semua orang?” Suasana markas berubah menjadi heboh dan beberapa menodongkan senjata ke arah Dimas.
“Serius? Kamu melakukan ini kepadaku?” Dimas terlihat mulai marah menerima tanggapan itu, dan melepas lencana yang dikalungkannya. “Lagipula ini bukan punyaku. Aku mengambil milik seseorang di Kepolisian Resor Kota Kebun Melati, jadi kalian yang akan mengembalikannya dan lihatlah seberapa bobroknya mereka dengan mata sendiri.” Aiptu Rai dari Sat Intelkam yang melihat kejadian itu sangat terkejut.
Dimas melepaskan genggaman tangan itu dari kerahnya dan berjalan menuju pintu. “Aku oknum? Aku bahkan bukan seorang polisi! Aku hanya seorang informan yang mendapat akses lebih!” Dia mengambil sebuah dek kartu dan mengocoknya. “Ini adalah bantuan terakhir dariku. Senang bekerja bersama kalian, Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Setelah ini, nampaknya kita akan bermusuhan lagi. Sampai jumpa!” Suara ledakan terdengar seiring dia melempar kartu ke udara. Rupanya tidak hanya kartu, dia juga melempar bom asap kecil buatannya.
Beberapa polisi berlari menuju ke arah pintu, termasuk Iptu Nara. “Dia menghilang!” ucap Iptu Nara. Asap mulai menghilang dan pandangannya fokus terhadap kartu yang berhamburan di lantai. Dia melihat semua kartu menghadap ke belakang, kecuali satu. Iptu Nara mengambilnya dan menunjukkannya kepada Kompol Ferdi yang juga berada di sana.
Karena penasaran, Aiptu Rai yang melihat dari awal mendekat. Dia terkejut sekali lagi setelah melihat kartu yang Iptu Nara ambil. Dia kemudian memanggil Kompol Bramasta sebagai Ketua Satuan Intelijen dan Keamanan untuk melihatnya juga. “Kami pernah melihat gambar itu sebelumnya,” ucap Kompol Bramasta.
“Bagaimana cara memahaminya? Ini hanya gambar bunga musim dingin.” Iptu Nara mengucapkannya kemudian terdiam sejenak. “Hamamelis mollis! Hama….” Iptu Nara terkejut. “Bahkan namanya saja sudah buruk.”
“Tidak hanya itu,” sahut Aiptu Rai. “Bukalah ponselmu dan pindai gambar itu.”
Iptu Nara membuka ponselnya dan melakukan apa yang Aiptu Rai suruh. Dia cukup terkejut ketika hasil pindaian mengarahkannya kepada sebuah situs web. Iptu Nara pun menunjukkannya kepada Aiptu Rai namun dia lebih terkejut.
“Tapi itu situs yang berbeda dari penemuan kami sebelumnya,” ucap Aiptu Rai. “Apakah itu mengarah kepada situs penjualan daring yang Vino maksud?” Iptu Nara terus menggulir halaman situs itu kemudian mengangguk dan memandang Aiptu Rai.
“Berarti, dia adalah satu-satunya orang yang tahu akan hal ini sebelumnya?” Iptu Nara terlihat kecewa atas kepergian Dimas karena menurutnya dia bisa membantu lebih banyak lagi.
“Karena dia pergi, nampaknya aku akan menjadi rekan barumu.” Ipda Renaldi mendekat. “Inspektur Polisi Dua Renaldi. Salam kenal.” Dia menjulurkan tangannya namun Iptu Nara tidak menyambut. Malah, Iptu Nara hanya menjawab, “Nara.”
Tidak puas atas jawaban itu, Ipda Renaldi begitu fokus melihat pangkat yang ada di seragam Iptu Nara dan mengingatnya. “Iptu dan Ipda. Hanya beda satu tingkat. Nampaknya kita ditakdirkan untuk bersama.” Ucapan Ipda Renaldi itu membuat Iptu Nara menghembuskan napas panjang. Kompol Ferdi yang melihat kejadian itu hanya tertawa kecil. “Kalian sepertinya akan menjadi rekan yang baik.”
“Benarkah?” tanya Iptu Nara. “Masukkan kedua orang ini ke ruang tahanan. Selesaikan segala dokumen yang diperlukan agar mereka bisa diserahkan ke persidangan segera.” Ipda Renaldi terlihat murung setelah mendapat perintah itu.
“Jangan seperti itu. Mulai sekarang, kita akan fokus mengerjakan kasus bunga musim dingin ini.” Ipda Renaldi berhenti murung. Iptu Nara tertawa kecil melihatnya.
“Mohon maaf, Nara. Tapi mereka telah bubar.” Iptu Nara terkejut mendengar perkataan Kompol Bramasta. “Kami telah mengamankan acara pembubaran mereka sebelumnya. Pemimpinnya bahkan sudah terbunuh.”
“Dimaslah yang membunuhnya,” potong Aiptu Rai.
“Lantas, siapa yang mengendalikan semua ini?” Iptu Nara mulai berpikir, “Aku yakin ada satu hal yang belum ditemukan, seperti—”
“Pabrik narkotika dan markasnya.” Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut ketika melihat Kombes Pol Ahmad Isa mendekat setelah mendengar keributan. Dia pun mendekati Brigpol Kurniawan dan menepuk bahunya, “Jangan lakukan seperti itu lagi.”
“Siap pak. Maaf.” Brigpol Kurniawan menunduk kemudian kembali ke tempat duduknya.
Iptu Nara kagum melihat hal itu. “Dari auranya saja, beliau sangat tegas.” Dia menjadi semangat. “Maka kita harus menemukan pabrik narkotika atau bahkan markas mereka!”
“Aku percaya padamu, Iptu Nara.” Kombes Pol Ahmad Isa memandang Iptu Nara dengan senyuman kemudian kembali ke ruangannya.