arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Sebuah mayat pria ditemukan terdampar di pantai dengan posisi tertelungkup dan kaki kanannya putus, masyarakat sekitar menduganya dimakan hiu. Dari kondisi luar, mereka juga menduga dia masih baru. Masalahnya adalah, tidak ada yang mengenalnya.

Pantai Pasir Putih, dinamai sesuai penampilannya. Pantai tersebut adalah pusat wisata, sampai-sampai kota itu sendiri bernama sama. Dengan status tersebut, memiliki hotel di dekatnya nampaknya akan sangat laku.

Dia adalah Tirto Mangunkusumo, pemilik Hotel Indah itu. Sejak pemilik terdahulu, semua pegawai diwajibkan untuk tinggal di hotel. Bahkan mereka jarang mendapat hari libur. Namun hari itu, dia tidak terlalu sibuk sehingga memutuskan untuk keluar dari hotel sejenak bersama rekan kerjanya, Nadia Karima yang bertugas sebagai resepsionis.

Mereka melihat masyarakat yang berkerumun. Insting Tirto mengatakan dia harus mendekat dan mengetahui apa yang terjadi. Nadia hanya mengikuti kemana Tirto pergi. Nadia melihat mayat itu lebih dulu dan sangat terkejut namun menutup mulutnya. Tirto memandang Nadia dan turut melihat ke arah.

“Sudah berapa lama mayat ini di sini?” tanya Tirto dengan suara tegas. Nyatanya, tidak ada yang menjawabnya. Karena dihiraukan, Tirto mulai mencari daun kelapa yang berguguran dan menutupi mayat itu. Nadia melihat seorang nelayan menatap mayat itu dari kapalnya yang baru saja ditambatkan di dermaga. “Tirto, aku curiga nelayan itu pelakunya.”

“Biarkan polisi yang menentukannya.” Tirto mengambil ponsel dari sakunya dan menelepon 110.


Briptu Kuncoro sedang bertugas di tempat barunya, Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Posisinya masih sama, anggota Satuan Reserse Kriminal. Dia diperkenalkan dengan Bripda Pratama sebagai rekan kerjanya dan AKP Martin sebagai atasannya. Sementara itu, sosok Kombes Pol sebagai Kepala Kepolisian masih misterius bagi Briptu Kuncoro. Beliau bahkan tidak muncul ketika mengumumkan sebuah laporan warga dari Pantai Pasir Putih.

Kepolisian Sektor yang biasanya hanya mengurus perdagangan narkoba di pelabuhan memutuskan untuk bekerja sama dengan Kepolisian Resor. Mereka merasa kasus ini cukup besar untuk dihadapi sendirian karena pertama kalinya.

AKP Martin terlihat sibuk di mejanya. Posisinya di Satuan Reserse Kriminal perlahan beralih ke bagian arsip, dia mengurus banyak hal. Kedatangan Briptu Kuncoro sangat membantu. Dia pun meminta Briptu Kuncoro untuk bekerja dengan Bripda Pratama, mengingat mereka adalah rekan baru.


Briptu Kuncoro dan Bripda Pratama tiba di Pantai Pasir Putih. Seorang pria mendekati mereka yang turun dari mobil. “Saya Tirto Mangunkusumo.”

“Jadi, Anda yang melaporkan kejadian ini?” tanya Bripda Pratama.

“Ya. Tapi saya tidak bisa dijadikan saksi karena sama sekali tidak tahu.”

“Saya juga,” sahut Nadia yang mengikuti. “Tapi saya curiga dengan nelayan itu,” Nadia menunjuk halus. “Sejak dia menambatkan kapalnya, pandangannya tidak beralih dari mayat.”

“Kami akan menyelidikinya nanti. Mayat harus diamankan terlebih dahulu.” Briptu Kuncoro berjalan ke arah kerumunan dan memecahnya. “Kalian kembalilah kepada urusan masing-masing. Jangan dekati tempat ini sampai waktu yang ditentukan.” Tirto dan Nadia mendengar perintah itu dan mereka kembali ke hotel.

Briptu Kuncoro memandang sekitar sejenak. Dia masih di sana? Pantai ini tidak ada penjaganya? Berbagai pertanyaan mulai muncul di batin Briptu Kuncoro. Tempat baru ini meski indah namun membuatnya terheran-heran. Dia pun mulai membentangkan garis polisi di sekeliling mayat.

Bripda Pratama mendekat kepada Briptu Kuncoro dan berhenti sejenak. “Aku akan bertanya kepada nelayan yang mereka maksud.” Briptu Kuncoro memasang sarung tangannya dan membuka dedaunan itu. Dia melihat mayat itu dalam posisi tertelungkup dan kaki kanannya putus. Briptu Kuncoro pun berpesan kepada Bripda Pratama agar menanyakan apakah nelayan itu melihat mayat dalam posisi sama sebelumnya.


“Halo, pak!” sapa Bripda Pratama mendekati nelayan itu. Entah sudah berapa lama dia menatapi mayat itu. Fokusnya mulai buyar ketika mendengar sapaan itu. Wajahnya terlihat sangat gugup. Pandangannya sedikit beralih kepada kapal dan itu memancing Bripda Pratama untuk melihatnya juga.

Kapal itu dipenuhi darah di buritan. Dari lantai kapal, terlihat jejak darah seperti bekas diseret. Bripda Pratama mulai mencurigai bahwa mayat itu adalah korban pembunuhan yang dibuang ke laut untuk menyembunyikan jejak. Dia menduga kapal itu digunakan untuk membawa mayat ke laut sebelum dibuang juga membunuh korban sebelum dibuang.

Nelayan itu semakin menyucurkan keringat. Mereka bahkan belum bicara sepatah kata pun. Bripda Pratama menarik napas sebagai penanda mulainya wawancara kecil mereka.

“Baiklah, pak. Bisa sebutkan nama Anda?”

“Sumandi.”

“Baik Bapak Sumandi. Ini kapal Anda bukan?” Sumandi mengangguk pelan. “Ceritakan apa yang terjadi. Saya rasa lebih baik di sini dan semoga Anda tidak harus ke kantor.”

“Saya bersumpah mengikatnya sore kemarin sebelum pulang. Namun pagi ini, saya terkejut melihat kapal ini tidak terikat dan gelisah melihat darah di dalamnya.”

“Apakah Anda mengenal korban?”

“Dia tetangga saya. Isnandri namanya. Dia hidup sendirian. Sekitar satu pekan sudah dia menghilang.” Bripda Pratama mengangguk dan kembali untuk menemui Briptu Kuncoro.


“7-1. Pantai Pasir Putih. Kami sudah selesai memeriksa mayat.”

“8-6. 7-2.”

Bripda Pratama mendekat dan bertanya, “Bagaimana?”

“Agak miris juga. Aku dapat melihat mayat itu membawa sampah laut. Tapi tetap saja, hasil forensik lebih baik untuk hal ini.” Briptu Kuncoro tidak bisa melepas pandangannya dari sana. “Bagaimana denganmu?”

“Namanya Sumandi. Dia mengaku mengikat kapalnya kemarin namun menemukannya tidak terikat pagi ini. Dia juga mengaku mengenal korban, mengatakan namanya Isnandri dan hidup sendirian, serta sudah hilang selama sepekan.”

“Apakah tidak ada yang melapor kepada kalian selama itu?” tanya Briptu Kuncoro.

“Nampaknya warga di sini tidak begitu peduli sebagaimana yang kita lihat sebelumnya, atau memang takut untuk melaporkan hal itu. Aku bisa melihat betapa gelisahnya Sumandri.” Briptu Kuncoro mendengarkan Bripda Pratama sambil memperhatikan Sumandri. Dia terlihat lebih tenang saat itu dan bersiap untuk pulang.

“Aku mulai mencurigainya. Namun kita nampaknya harus kembali ke kantor dan mengumpulkan informasi yang ada.”

“Atau kita mengikutinya pulang dan memastikan pernyataannya benar.” Bripda Pratama dan Briptu Kuncoro saling memandang.

“Aku ikut pendapatmu,” ucap Briptu Kuncoro. Mereka pun kembali ke mobilnya dan bersiap untuk mengikuti Sumandri pulang.


Komentar