arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Tugas ganda Mahmud mulai menyusahkannya. Menjadi wali kota adalah yang utama, namun setelah penangkapan kepala MA Sukamawar, kedua jabatan menjadi lowong. Mahmud lebih memutuskan untuk menjadi kepala MA Sukamawar yang baru. Dia kemudian menyerahkan jabatan wali kota kepada Rida, staf khusus kepercayaannya. Namun Rida ditemukan tewas di ruangannya, diduga dibunuh oleh seorang wartawan dari sebuah media.

Kebetulan, masa jabatan Mahmud segera berakhir. Pesta politik akan segera dilaksanakan di Kota Sukamawar. Para pesaing belum diumumkan, namun masyarakat nampaknya tidak ingin wali kota berganti. Ditambah Mahmud tidak akan mengajukan diri lagi. Nampaknya dia lebih menyukai pekerjaannya sebagai kepala sekolah.

Waktu terus berlalu dan akhirnya para calon diumumkan. Ada dua calon tunggal pada periode kali ini, Umar dan Fairuz. Setelah peresmian, Umar dinyatakan sebagai nomor urut satu dan Fairuz dua.

Singkat cerita, kampanye mulai diadakan. Fairuz selangkah lebih maju di tahap ini dengan mengadakan konser yang disukai warga setempat, dangdut. Sementara itu, tidak ada yang tahu apa yang dilakukan oleh sang calon nomor urut satu.

Lapangan Sukamawar kembali digunakan namun konsep panggung kali ini lebih sederhana dibanding Konser Musik Klasik yang pernah diadakan pada 14 Februari 2020 silam. Meski demikian, tenda lebih banyak dibangun mengingat konser itu diadakan pada waktu siang.

Di belakang panggung, Fairuz berbisik kepada Pandu sang penampil utama, “Jangan lupa untuk mengatakan coblos nomor 2.” Hanya mereka berdua di sana, sehingga Fairuz tidak lupa untuk dia menyelipkan dua lembar kertas berwarna merah itu saat berjabat tangan. Senyuman itu akan menjadi kenangan bagi Pandu.

Masyarakat begitu tertarik dan mulai berkerumun di Lapangan Sukamawar. Waktu siang di hari libur adalah waktu senggang dan masyarakat perlu hiburan. Sasaran yang tepat untuk sang calon.

Hari itu, Dimas menjadi warga biasa yang ingin bersantai di warung kopi yang terletak tidak begitu jauh dengan Lapangan Sukamawar. “Kenapa sepi?” tanya Dimas saat memasuki warung.

“Kamu tidak tahu konser itu?” Erma sang penjaga warung sedang membersihkan gelas dengan serbet menyahut tanpa memandang.

“Konser apa?” tanya Dimas lagi sambil duduk. Erma tidak menyahut tapi suara sayup-sayup terdengar.

“Coblos nomor dua!” Begitulah kira-kira suara keramaian yang terdengar.

“Wah, kampanye sudah mulai. Aku langsung paham maksudmu.” Dimas berdiri seolah ingin menuju ke sana.

“Kamu tidak memesan?”

“Lain kali saja.” Dimas memberi senyuman dan meninggalkan warung.


Brigadir Polisi Kurniawan, Kepala Unit Pengamanan Objek Vital, Satuan Samapta Bhayangkara Kepolisian Resor Sukamawar ditugaskan untuk memimpin pengamanan acara tersebut. Acara yang berskala sedang ini nampaknya tidak diserahkan kepada Satuan Intelijen dan Keamanan. Dia melihat Dimas mendekat. “Kamu lagi.”

“Kenapa? Aku hanya ingin menonton acara ini. Konser Musik Klasik itu sudah kulewatkan.” Dimas masih menyimpan kekesalan sedikit kepadanya. “Aku akan berdiri di sampingmu dan lihat apakah aku akan bertindak jahat kali ini.”

Pandangan Dimas fokus kepada seorang penjual minuman keliling. Wajahnya memandang ke arah yang tidak menentu. Gelagat itu membuat Dimas curiga. Dia kemudian menjatuhkan salah satu minuman yang secara aneh tutupnya tidak terbuka meskipun menyentuh tanah.

Dimas menyadari hal mencurigakan itu dan mendekati pria itu. Dia menyadari Dimas mendekatinya dan berlari. Tak lama kemudian, suara ledakan terkenal. Di dalam wadah minuman itu, rupanya ada bom yang ditaruhnya. Untung, itu hanya bom asap yang mengganggu perhatian masyarakat dan tidak ada yang terluka parah.

Dimas menerjang pria itu, seolah menjadikan dirinya sebagai tombak. Akhirnya, pria itu berhasil dirobohkan. “Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?” Dimas memegang kerah bajunya dengan erat.

“Aku tidak tahu.” Brigpol Kurniawan datang untuk melerai mereka.

“Biarkan aku melakukannya kali ini.” Brigpol Kurniawan kemudian melerai mereka.

“Aku tidak percaya padamu.” Dimas sempat tidak mau melepasnya. “Tapi aku membiarkanmu kali ini, untuk membuktikan bahwa kamulah orang yang mereka cari selama ini.” Dimas kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

“A-apa maksudnya?” Brigpol Kurniawan hanya tertawa menyeringai setelah itu. Pria itu kemudian dibangunkan Brigpol Kurniawan.

“Ikut saya ke kantor.”

Sementara pria itu dibawa ke kantor polisi, masyarakat membubarkan diri karena ketakutan atas kejadian yang baru saja terjadi. Di belakang semua itu, ada seorang pria yang tersenyum sambil melihat dari kejauhan.


“Kenapa koran ini bias sekali?” tanya Kombes Pol Ahmad Isa di ruangannya. “Seolah-olah calon nomor urut dua yang akan memenangkan pilkada tahun ini.” Dia menutup koran itu dan melipatnya kembali. Kombes Pol Ahmad Isa melihat-lihat isi kantor setelah keluar dari ruangannya.

“Marwan, urus dia.” Brigpol Kurniawan memasuki kantor sambil membawa pria itu masuk.

“Ada apa ini?” tanya Ipda Marwan kebingungan.

“Pelaku pengeboman di konser dangdut.” Kombes Pol Ahmad Isa menyahutnya lebih dahulu. “Aku baru saja ingin menyampaikannya kepadamu bahwa Kurniawan akan datang membawanya karena dia hanya mengabariku melalui panggilan telepon yang nampaknya dia lakukan selama perjalanan.”


Wanita itu bernama Ratih, dia sebenarnya wartawan Koran Harian Sukamawar. Baru-baru ini, Koran Harian Sukamawar memperluas jaringannya dan membangun sebuah stasiun televisi yang mereka beri nama “TV Sukamawar”. Mereka mendirikannya sebagai lembaga penyiaran swasta dengan sponsor utama, Partai Keadilan Indonesia, dimana Fairuz adalah pemimpinnya.

Malam itu, Ratih dipercaya untuk membawakan acara pada malam itu. “Jadi, Bapak Fairuz, bisa diceritakan tanggapan Anda atas kejadian siang tadi?”

“Saya tidak menyangka hal itu bisa terjadi. Saya curiga terhadap calon nomor urut satu yang saat ini tidak terlihat langkahnya, apakah dia yang merencanakan hal itu terjadi?”


Komentar