arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

“Ayah!” Teriakan anak kecil itu sangat mengganggu telinga siapapun yang mendengarnya. Dia seolah tidak membiarkan mayat lelaki itu dimasukkan ke dalam keranda dan dibawa pergi. Dia terus memberontak meski ditahan seorang warga.

Ipda Marwan menemui Kombes Pol Ahmad Isa. Beliau juga memantau TKP yang merupakan rumah dari. “Apakah mayat ini akan dimakamkan di TPU?”

“Tentu saja.”

“Aku ingin mengundang sang penggali kuburan. Lihat cangkul atau sekop pribadinya. Jika terdapat setitik saja darah beku yang tidak bisa dibersihkan, aku yakin itu milik Rujani.”

“Maksudmu?”

“Minta Sina menggalikan kuburan untuk mayat itu. Bukankah dia telah diinterogasi oleh anggota lain setelah kematian Hafi? Dia seharusnya dicurigai sebagai pelakunya. Apakah mereka tidak memeriksa cangkul atau sekop pribadinya?”

“Jika kamu memberitahuku lebih awal untuk menangani kasus ini, aku tidak akan mengizinkan mereka melakukannya. Aku tahu mereka tidak memeriksanya dengan benar. Namun kesalahan mereka masih terbilang kecil dibanding oknum yang sedang kami selidiki.”


“Jadi, nak. Kamu melihat apa yang terjadi?” Anak itu terlihat lebih tenang. Dia memperkenalkan diri sebagai Putra. Identitas itu cocok dengan data di kartu keluarga yang menunjukkan Adam, pria yang tewas itu adalah ayahnya.

“Biasanya ayah menjemputku untuk pulang. Entah kenapa hari ini ayah tidak melakukannya. Setelah lama menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri dengan jalan kaki setelah memberitahukan ibu guru.”

“Sesampainya di rumah, aku mendengar ayah dan ibuku berteriak seperti berkelahi. Itu memang sudah sering terjadi tapi dari jendela aku melihat seseorang yang tidak kukenal melakukan sesuatu kepada ayahku. Mereka kemudian menghilang dari pandanganku. Ketika aku masuk, aku melihat ayah tergeletak di ruang makan kemudian berteriak. Tidak lama kemudian, banyak yang datang.”

“Apakah kamu akan percaya ucapan anak itu?” tanya Kombes Pol Ahmad Isa kepada Ipda Marwan. Mereka memantau dari ruang sebelah.

“Di usia sepertinya, seharusnya kebohongan belum pernah dilakukan kecuali sudah diajarkan. Tapi dia sudah hebat dan berani untuk bercerita. Namun tetap saja, hal itu harus dipastikan. Aku akan menemui ibu guru yang dimaksud dan mengonfirmasi alibinya.”

“Jangan bilang kamu berpikir dialah yang membunuh ayahnya sendiri.” Kombes Pol Ahmad Isa memandang Ipda Marwan karena ucapannya.

“Hal itu bisa saja terjadi namun aku belum mau memikirkan hal itu. Hanya saja kita tetap waspada.”


Sri. Ipda Marwan telah menemui ibu guru berdasarkan ciri-ciri yang diberitahukan oleh Putra sendiri. Dia sengaja tidak dibawa dan sedang diberi penyembuhan trauma oleh pihak kepolisian. Tanpa menunggu waktu lama, Ipda Marwan langsung menanyai tentang kebenaran alibi Putra.

“Dia benar. Aku memang bertanya padanya ketika dia duduk bersandar pada tiang sambil menekuk lututnya.” Sri memandang tiang seolah melihat Putra duduk di sebelahnya. “Putra benar-benar pemberani. Dia tidak ragu untuk bercerita tentang keluarganya yang sering berkelahi. Jika dia makan di ruang makan saat itu, dia bercerita akan pergi ke kamarnya dengan membawa makanannya karena tidak ingin mendengarnya.”

“Aku kemudian memiliki ide untuk datang ke rumahnya sebagai pelajaran tambahan. Niatku untuk memastikan seberapa buruk hubungan mereka. Anehnya, ketika aku datang, mereka baik-baik saja. Tapi laki-laki yang kulihat tidak seperti ayahnya di foto keluarga pajangan dinding.”


Tujuan berikutnya dari Ipda Marwan adalah ruangan forensik di RSUD Sukamawar. Dia menemui Dokter Ika Pratiwi dan bertanya mengenai keadaan jasad Adam. Kebetulan, dia akan menyerahkan dokumen hasil pemeriksaan.

“Luka tusukan ditemukan di belakang leher korban. Dari lebar dan kedalaman luka, dapat diduga bahwa senjata yang digunakan hanyalah pisau dapur.”

Ipda Marwan menyambut dokumen itu. “Terima kasih.” Dokter Ika Pratiwi tersenyum kecil.


“Pisau dapur itu adalah milik keluarga korban sendiri. Terdapat sidik jari dan Unit Reserse Kriminal sedang melakukan penangkapan. Sementara itu, mereka juga terus mengejar wanita berinisial W yang merupakan istri korban. Kami harap, agar yang bersangkutan segera menyerahkan diri.” Konferensi Pers itu dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Zakaria selaku Kepala Divisi Humas Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Masyarakat dan media yang menghadiri cenderung tidak memiliki pertanyaan untuk kasus ini.


Ketukan pintu dan salam dari Tim Rajawali tidak juga disahut. Mereka terpaksa mendobrak pintu rumah itu dan mendapati Agung, orang yang mereka cari sedang setengah tidak berpakaian juga Maya, ibu Putra yang menutupi dirinya dengan selimut di kamar itu.

“Anda sama sekali tidak memiliki rasa kasihan untuk anak.” Mulut Ipda Marwan yang menjadi ketua tim saat hampir saja menyebut wanita itu sebagai pelacur secara blak-blakan. Mereka ditunggu untuk berpakaian dengan benar dan akan dibawa ke kantor untuk pemeriksaan lebih lanjut.


Pikiran Ipda Marwan sempat buyar sejenak. “Jadi, Marwan. Apa yang akan kamu lakukan untuk memenuhi rencanamu?” tanya Kombes Pol Ahmad Isa mendekat.

“Aku akan menyamar menjadi penggali kuburan yang lain. Ini adalah sekop yang kurancang mirip dengan ciri-ciri pembunuhan. Aku harus memancingnya untuk meminjamkan miliknya. Jadi, aku mohon kalian menyamar jadi orang yang melayat untuk menyaksikan pemakaman itu.”


Rencana itu dimulai. TPU Sukamawar tidak begitu dipenuhi masyarakat saat itu. Keluarga Adam juga terbilang kecil, jadi ditambah para aparat yang bertugas, hitungan mereka hanya sedikit. Sina yang sudah menggali lubang cukup dalam, naik dan terus memandang Marwan. “Siapa kamu?” tanyanya.

“Saya adalah orang yang diminta keluarga untuk menggalikan kuburan.”

“Aku sudah lama menggali kuburan di sini. Apakah mereka tidak mengetahuinya?”

“Saya yakin mereka mengetahuinya namun meminta keluarga untuk melakukannya juga.” Ipda Marwan bersyukur karena dia mengatakan hal itu. “Jadi, sejak Anda bekerja di sini, hanya sendirian?”

“Tidak juga. Hafi sering menemani.”

“Di mana dia sekarang?”

“Aku membunuhnya karena melihat aku membunuh Rujani dan mengancamku untuk melaporkannya bahkan setelah ditraktir minum di Rumah Teh Kebun Melati.”

“Melaporkannya?”

“Ya. Kepada polisi! Untung saja dia tidak sempat melakukannya.”

Ipda Marwan terlihat kesal dan mendorong Sina masuk ke dalam lubang kuburan itu. Wajahnya terlihat berbeda. “Apa yang kamu lakukan?” Tidak lama kemudian, aparat lain berdatangan dan menodongi Sina senjata.

“Dasar kalian!” Dia terpaksa mengangkat tangannya dan menyerahkan diri. Dia kemudian dikeluarkan dari lubang itu dan dibawa ke kantor.


“Sekop itu memang senjata pelaku sebagaimana pengakuannya. Bagaimana kamu mengetahuinya?” tanya Kombes Pol Ahmad Isa.

“Hasil forensik yang mengatakannya.” Ipda Marwan tersenyum kecil, seolah berterima kasih kepada Dokter Ika Pratiwi yang memberitahukannya langsung.


Komentar