arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

“Apa kabar?” Pertanyaan itu menjadi pembuka acara. “Sudah lama tidak melakukan pertunjukan di Kebun Melati.” Dimas sang ilusionis kembali beraksi setelah beberapa bulan tidak tampil. Kali ini, dia tampil di depan Rumah Teh Kebun Melati, tidak seperti dulu yang hanya di jalanan.

“Escapology. Kalian tahu itu?” Penonton hanya diam pertanda mereka tidak tahu. “Escapology adalah praktik menyelamatkan dan melarikan diri dari pengekangan atau jebakan lain. Para escapologist biasanya menyelamatkan diri dari borgol, straitjacket, kandang, peti mati, kotak baja, tong, tas, gedung yang terbakar, tangki ikan, dan bahaya lainnya, seringkali dalam kombinasi.” Tahu atau tidak, Dimas tetap berencana untuk menjelaskannya.

“Kali ini, saya akan melakukan pelarian dari peti dengan tangan yang diborgol agar tidak dikubur hidup-hidup karena nantinya semen akan dituang dari mobil pengaduk ini.” Mobil pengaduk semen itu mendekat seolah diberi aba-aba.

“Aksi seperti ini telah menewaskan Joseph Burrus yang melakukannya pada 30 Oktober 1922. Kesalahannya adalah menggunakan peti plastik di kedalaman dua meter. Semen yang dituangkan seberat tujuh ton dan membuat peti tersebut pecah sehingga turut menghancurkan Joe yang belum sempat menyelamatkan diri.”

Dimas mulai menyiapkan borgolnya. “Agar tidak melakukan kesalahan yang sama, saya mengganti bahan peti menggunakan kaca keras pengaman yang sering digunakan pada mobil untuk mengurangi dampak kecelakaan. Bahan tersebut diyakini menanggung beban yang lebih berat tanpa mengurangi pandangan Anda sebagai penonton.”

Tiba-tiba, terlihat beberapa aparat kepolisian mendatangi acara itu. “Ada apa?” tanya Dimas kebingungan. “Saya sudah mendapatkan izin bahkan dari Sat Intelkam untuk mengadakan ini.” Dia menunjukkan sebuah kertas yang nampaknya surat perizinan tersebut.

Mereka berbicara sebentar dan Dimas tidak percaya atas apa yang akan dia hadapi. Mobil pengaduk semen itu diperintahkan untuk mengeluarkan isinya. Terdapat sebuah jasad yang sudah tercampur dengan semen. Posisinya tertekuk dengan tangan terikat di dekat kepala, seolah disiapkan lebih dulu sebelum dikeluarkan.

“Itu bukan bagian dari hiburan!” Dimas mengucapkannya kepada penonton dengan mata yang berkaca-kaca. “Maafkan saya!” Dia kemudian dibawa ke kantor polisi.


“Saya tidak melakukannya. Saya bahkan tidak tahu siapa mayat itu dan sejak kapan.” Dimas dengan tegas menjawabnya setelah ditanya di dalam ruang interogasi Kepolisian Resor Kota Kebun Melati. “Oh ya, bagaimana rumah tahanan kalian? Apakah penjagaannya sekarang lebih ketat?” Tanpa ragu, dia juga menyinggung. Sejarah menyatakan dia dapat kabur dengan mudahnya dari Rumah Tahanan mereka.

“Juga, kenapa kalian begitu bodohnya menggunakan borgolku sendiri?” Dimas melepas borgol itu dari tangannya. “Aku dapat bebas dengan mudah.” Dia bahkan berdiri setelahnya. “Salahkan PT Luarsa yang telah berkenan menyediakan mobil itu. Aku sudah berkoordinasi dengan mereka dan mereka mau menjebakku?”

Seorang aparat memasuki ruang interogasi tiba-tiba. “Surya, supir mobil itu telah tiba. Dia bisa pergi.” Aparat itu memandang kepada Dimas.

“Terima kasih.” Dimas masih memegang borgol dan menjabat aparat itu dengan kedua tangannya. Dia kemudian kabur meninggalkan aparat yang kesusahan melepaskan tangan dari borgol itu.


“Dimas, pelanggan setia. Pesan kopi seperti biasa?” Dimas yang murung hanya diam. “Ada apa? Kamu terlihat murung hari ini.” Erma sang penjaga warung menyambut Dimas meski saat itu ada seorang pelanggan lain yang nampaknya hampir selesai. Pelanggan itu adalah seorang wanita yang hanya meminum teh.

“Kamu tahu ‘kan, aku seorang ilusionis?”

“Tentu, kamu sering menceritakannya.” Erma tetap membuatkan secangkir kopi. Nampaknya dia berniat untuk menggratiskannya.

“Jadi, pagi tadi aku tampil di Rumah Teh Kebun Melati dan sulapku—”

“Gagal?” tanya Erma gugup sambil menyerahkan kopi yang baru saja dibuatnya.

“Digagalkan!” Dimas terlihat sangat kesal. “Aku heran kenapa warga Sukamawar lebih baik perlakuannya kepadaku.” Dia mulai berpikir, “Mungkinkah aku harus mencoba tampil di sini?”

“Tapi, kenapa mayat itu ada di sana? Sejak kapan?” Dimas bergumam.

“Apa katamu barusan? Mayat?” Erma mendengarnya. Pandangannya tidak lepas dari Dimas.

“Bukan apa-apa.” Dimas menunduk seolah tidak berucap apa-apa.

Pelanggan wanita tua itu akan pergi. “Dia sudah bayar?” tanya Dimas kepada Erma. Erma hanya menggeleng pelan.

Dimas agak marah kemudian berdiri. “Kenapa Anda tidak bayar?” Wanita tua itu tetap pergi.

Dimas baru saja akan mengejarnya. “Biarkan saja.” Erma mencegahnya.

“Tapi—”

“Meski aku seorang wanita, aku tidak mau menjadi seperti Malin Kundang.” Erma tersenyum kecil dan mengambil gelas itu untuk dicuci.

“Malin Kundang….” Dimas menyadari sesuatu. “Saatnya menggunakan kemampuanku yang lain.” Kepercayaan dirinya meningkat.

Dimas mendekat kembali ke meja. “Baiklah, ini adalah hasil donasi dari para penonton yang berkenan membayar lebih dulu untuk melihat aksiku.” Dimas membuka dompetnya dan menyerahkan sejumlah uang. “Aku yakin uang itu lebih dari cukup untuk membayar utangku. Jadi, anggap saja aku membayarkan nenek tadi.”

“Siapapun yang melakukannya, aku akan menangkapmu.”

“Oh ya, terima kasih kopinya. Uang itu termasuk bayarannya.”


“Kenapa kamu ke sini lagi? Kamu sangat beruntung kali ini tidak ditahan.”

“Aku hanya ingin melihat mayat tadi. Kalian belum menghancurkan semennya kan?”

“Kami baru saja akan melakukannya. Memangnya kenapa?” Posisi mayat itu tidak berubah sejak dikeluarkan dari mobil pengaduk semen. Dimas mulai mengenakan sarung tangan yang dibawanya. Dia mendekati mayat itu.

“Apa yang kamu lakukan?” Dimas tidak menjawabnya dengan ucapan namun tindakan. Dia mengubah posisi mayat itu dan hasilnya cukup mengejutkan.

“Pria yang bersujud, meminta ampun kepada ibunya, namun kutukan yang merubahnya menjadi batu tidak dapat dihentikan.” Posisi mayat itu tepat seperti orang yang bersujud. “Kalian masih ingat legenda itu?” tanya Dimas.

“Ya, Malin Kundang. Korban sengaja diposisikan seperti ini.” Dimas melepas sarung tangannya. “Aku yakin korban berjenis kelamin laki-laki dan ibunya sendirilah yang melakukan hal ini.”

“Aku tahu beberapa di antara kalian masih suka memeras. Sebelum rumor bahwa Kepolisian Resor Kota Kebun Melati akan dirombak habis-habisan menjadi kenyataan pahit bagi kalian, aku minta kalian memeras wanita tua itu dan bagi juga uangnya kepadaku.” Dimas tersenyum jahat. Nampaknya dia memiliki niat tersembunyi.

“Wanita itu hanyalah psikopat bedebah yang merasa tidak dihargai anaknya, sedangkan dia sendiri tidak pernah menghargai orang lain.”


“Kamu benar atas semuanya.” Salah seorang aparat mengaku kepada Dimas. “Korban adalah seorang laki-laki. Ketika kami menyelidiki identitasnya, rupanya dia seorang anak tunggal. Ayahnya telah lama tiada dan hanya ibunya yang masih hidup. Kami menyelidiki ibunya secara serius sampai akhirnya dia mengakui perbuatannya.”

Dimas tersenyum bangga. “Kalian harus ingat. Saking bobroknya kalian, aku pernah dijadikan anggota padahal ilegal bukan?” Aparat-aparat itu merasa terpukul dengan fakta itu. “Aku menunggu perombakan itu. Sampai jumpa.” Dimas tersenyum jahat sambil melambaikan tangan secara halus.

Dimas akan pergi. “Lain kali, kalau kalian ingin datang ke penampilanku, beritahukan lebih awal. Aku tidak ingin mengecewakan penonton.” Dia memandang tangan aparat itu. “Tidak kusangka kalian benar-benar memeras wanita tua itu. Simpan saja uang itu untuk kalian, aku yakin kalian akan diberhentikan.” Dia pun berjalan menjauhi mereka.


“Sejak kamu memarahi nenek itu, dia tidak pernah datang lagi.” Perbincangan dengan Dimas itu dimulai oleh Erma.

“Wanita tua itu tidak pernah berkunjung ke sini. Bersyukurlah dia bukan predator yang sudah lama ingin membunuhmu.”

“Apa katamu?”

“Dia sudah meninggal.” Dimas berbohong. Faktanya, wanita tua itulah pelaku pembunuhan kepada anaknya sendiri. Berdasarkan penyelidikan aparat, dialah yang memaksa anaknya untuk bersujud dan meminta ampun namun tetap memasukkannya ke dalam mobil pengaduk semen itu.


Komentar