arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Sumandri menghela napas sebelum memasuki rumahnya dengan santai. Terdengar suara sayup orang lain dari dalam, istri dan anaknya. Briptu Kuncoro dan Bripda Pratama hanya bisa melihat dari kejauhan.

“Dia terlihat biasa-biasa saja.” Bripda Pratama terlihat mulai menyesali keputusan yang dibuatnya. Tepat di saat itu, ponsel Briptu Kuncoro berdering. Dia pun berjalan menjauh untuk mendengarkan panggilan itu lebih jelas. Briptu Kuncoro terkejut atas apa yang didengarnya.


Sesosok mayat laki-laki ditemukan duduk tersandar di mercusuar. Terlihat dengan jelas, luka hantaman di bagian depan kepalanya. Bersama Briptu Kuncoro dan Bripda Pratama, Hernando sebagai orang pertama yang tiba di TKP.

Hernando mengaku sebagai penjaga mercusuar dan hari ini adalah jadwalnya untuk melakukan perawatan, pembersihan, dan segala macamnya yang menjaga mercusuar tetap bisa digunakan. “Aku heran ketika melihat terpal berada di sana. Karena aku menganggapnya sampah, aku menyingkirkannya dan melihat mayat ini. Aku pun merogoh ponselku dan berpikir untuk menelepon polisi.”

“Siapa penjaga mercusuar ini selain Anda?” tanya Briptu Kuncoro sambil memeriksa mayat itu. Mulyana, itu adalah nama sang mayat berdasarkan kartu identitas yang didapatkannya pada saku. Hanya itu yang tersisa dari dompet kosong miliknya. Briptu Kuncoro melihat wajah Hernando agak gelisah.

“Tidak ada. Hanya saya yang tidak datang setiap hari ke sini.”

“Lantas bagaimana Anda akan menyalakannya?”

“Saya sudah mengetahui jadwal kapal yang akan berlayar ke dermaga ini. Kemarin dan hari ini adalah dua hari yang paling ramai akan kedatangan kapal.”

Bripda Pratama mulai melihat TKP. Dia agak heran melihat bekas genangan darah yang terletak cukup jauh dari posisi mayat saat itu. Bripda Pratama pun mulai mengenakan sarung tangan dan menggerakkan mayat. Dia mengubah posisinya yang tersandar menjadi tiarap. Hasilnya cukup mengejutkan dan itu membuatnya memandang ke atas.

“Siapa yang bisa mengakses mercusuar ini selain Anda?” tanya Bripda Pratama.

“Hanya saya. Saya bukakan untuk Anda.” Hernando membukakan pintu menuju mercusuar.

Bripda Pratama bergegas naik. “Kalian berdua, diam di sini. Ada satu hal yang ingin kupastikan.” Briptu Kuncoro tersenyum kecil.


Hernando dibawa ke Markas Kepolisian Resor Kota Pasir Putih atas bukti yang Briptu Kuncoro dan Bripda Pratama dapatkan. Setelah diperiksa lebih lanjut, dia mengaku menjadi pelaku kedua pembunuhan di pantai itu tanpa rasa penyesalan. Kejiwaannya akan diuji atas pernyataannya barusan.

“Sekarang, pantai itu benar-benar memerlukan penjaga. Untuk pantai tentunya, namun mercusuar juga.” Bripda Pratama berbicara. “Bisakah meminta dua orang dari Polsek?”

“Biarkan saja masyarakat mengelolanya.” AKP Martin sebagai seniornya menjawab.

“Bagaimana jika nantinya mereka main hakim sendiri? Bukankah kepolisian yang memiliki hak untuk menegakkan hukum?” Briptu Kuncoro menegaskan.

Kombes Pol Musa menampakkan dirinya dengan jelas. “Aku akan membicarakannya dengan Polsek nanti. Agar mereka bisa mencegah perdagangan ilegal kembali terjadi.”


Tengah malam yang begitu dingin tidak menyurutkan penyiksaan. Pukulan demi pukulan dilayangkan kepada Isnandri. Wajahnya penuh darah, menyucur perlahan. Hernando tidak membiarkan Isnandri terlepas dari genggamannya sampai benar-benar tewas. Tangan kirinya mencekik leher dengan kuat dan tangan kanan terus memukul.

Sore sebelumnya, dia melihat Sumandi tergesa menambatkan kapalnya. Ikatannya pun tidak kuat dan Hernando membiarkannya. Ide liar muncul. Isnandri diseret di pinggir pantai. Bekas seretan itu akan terhapus oleh sapuan ombak nantinya.

Hernando menggunakan kapal Sumandi untuk membawa Isnandri ke tengah lautan yang cukup tenang di malam itu. Dia memukul kepala Isnandri untuk terakhir kalinya dan membuangnya.

Kepulangannya terlihat oleh Mulyana sang penjaga pantai yang entah terbawa pikiran apa sehingga turun dari rumah di tengah malam itu. Kemungkinan terbesar adalah dia ingin melihat bintang jatuh di malam hari.

“Kenapa kamu berlayar di tengah malam seperti ini?” tanya Mulyana.

“Aku memburu ikan dan mengusir kapal ilegal.” Intonasi suara Hernando tidak seperti orang yang berbohong, menunjukkan dia sering melakukannya.

“Seharusnya kamu menyalakan mercusuar,” ucap Mulyana.

Hernando mengambil kesempatan itu. “Mercusuar tidak mau menyala. Bantu aku memeriksanya.” Dia lupa menambatkan kapal itu meski membawanya ke tepi pantai.

Mereka menaiki mercusuar. Hernando memerintahkan Mulyana untuk memeriksa dari luar, melihat apakah ada yang rusak.

“Tidak!” teriaknya.

“Pastikan lagi!” sahut Hernando. Saat itulah dia menyalakan mercusuar dan membutakan pandangan Mulyana atas silaunya cahaya. Kesempatan emas itu digunakannya untuk menjatuhkan Mulyana dari atas mercusuar. Seandainya seseorang ada di malam itu selain mereka, siluet dari cahaya atas kejadian itu terlihat dengan sangat jelas.

Hernando turun dan menyiapkan terpal untuk menutup mayat Mulyana yang sudah dia pastikan mati. Mulyana menghantam tanah dengan bagian depan kepala lebih dahulu. Dia pun mengubah posisi Mulyana menjadi bersandar. Entah apa yang membuat keputusannya untuk mengungkapkan mayat itu dan melaporkannya sendiri kepada polisi.


Komentar