arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Lantas, apa yang sebenarnya dilakukan sang calon wali kota nomor satu, Umar? Tidak seperti Fairuz yang masih gencar menguasai berbagai media untuk kampanye, mereka berkata Umar bahkan tidak terlihat batang hidungnya.

Tidak juga, Umar sudah berusaha memanggil TV Sukamawar untuk memberikan klarifikasi atas apa yang disampaikan oleh Fairuz pada acara wawancara itu. Dia bahkan mendatangi stasiun yang tidak lebih dari bekas ruko lama tak terpakai. Para penjaga sangat menolak kehadirannya di sana.

Metode kampanye yang dilakukan Umar sangat tradisional, memang sebagai generasi tua, dia tidak menggunakan teknologi canggih sebagaimana saingannya. Dia hanya melakukan kebiasaannya, berkeliling di lingkungannya, berbuat kebaikan dan membantu orang jika diperlukan. Dengan demikian, tanpa berucap sepatah kata pun, mereka langsung mengetahui bahwa pernyataan Fairuz pada malam itu tidak lain daripada sekadar adu domba.

Kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada Umar begitu besar. Pria biasa yang bahkan tidak tertarik dengan kursi pemerintah, begitu banyak yang mendukung dan mendaftarkannya. Hampir semua urusan, diselesaikan oleh orang-orang di lingkungannya. Demikianlah, dia menjadi calon. Untungnya, dia orang yang sudah terkenal hebat dalam kepemimpinannya.


Masa damai telah tiba. Kampanye seharusnya telah dihentikan. Hebatnya, TV Sukamawar yang baru dirilis beberapa bulan ini telah campur tangan dengan pilkada dan mendukung calon yang mereka inginkan. Tidak terhitung berapa kali secara implisit mereka mempromosikan nomor dua. Di setiap wawancara, mereka menyelipkan angka dua semaksimal mungkin dan menempelkan pamflet kampanye di belakang narasumber agar terlihat di kamera.


Sementara itu, di Kota Kebun Melati. Rupanya pilkada juga diadakan tepat setelah perombakan anggota kepolisian. Bedanya, di sana hanya calon tunggal yakni Yazid. Wali kota yang menjabat masih misterius namun dugaan besar itu adalah Bagus yang tewas dalam acara pembubaran organisasi kejahatan bawahannya.

Yazid hanya akan melawan kotak kosong, yang akan mengejutkan kalau itu menang. Apalagi masyarakat Kebun Melati terkenal tidak begitu peduli siapapun wali kota mereka, karena kuasa masih berada di tangan yang banyak uangnya, sebagaimana perusahaan yang membangun Rumah Teh Kebun Melati meski hampir semua orang tahu kecelakaan saat pembangunan.

Itulah yang mendasari teori mereka bahwa Bagus adalah wali kota Kebun Melati sebelum lowong seperti saat ini. Kekayaannya melebihi bayangan sampai sempat menguasai Polresta.


Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, polisi memang harus netral dan tidak memilih. Namun sebagaimana manusia lainnya, gosip mengenai siapa yang menang dalam pilkada tahun ini begitu merebak di dalam kantor. Terlebih setelah untuk ke sekian kalinya membaca koran yang sangat bias kepada calon nomor urut dua.

Di belakang semua itu, ada yang tidak begitu peduli. Dialah Brigadir Polisi Kurniawan, yang masih penasaran sekaligus kesal dengan perbuatan Dimas sang ilusionis pada hari kampanye Fairuz itu.

“Aku tidak percaya padamu. Tapi aku membiarkanmu kali ini, untuk membuktikan bahwa kamulah orang yang mereka cari selama ini.” Brigpol Kurniawan terus terngiang ucapan itu.

“Apakah dia benar-benar mengetahuinya?” Brigpol Kurniawan berpikir. “Aku yakin hanya dia yang mengetahuinya, hanya perlu dipastikan.”


“Erma.” Dimas baru saja menghabiskan secangkir kopi.

“Apa?”

“Nanti saat hari pemilihan, kamu buka?”

“Sepertinya tidak. Banyak hal lain yang juga harus kulakukan.”

“Baiklah. Berarti aku harus bayar hari ini.”


Hari pemilihan telah tiba. Dimas sebagai warga yang secara resmi tercatat di Kebun Melati harus melakukan pemilihan di sana meskipun sebenarnya dia lebih tertarik dengan Sukamawar karena itu tempat kelahirannya.

Dimas adalah tipe orang yang berusaha untuk mengenali semua orang di sekitarnya. Tentu saja, dia berbohong selama menjadi ilusionis, bahwa tidak saling mengenal dengan sukarelawan. Maka dia sudah mengenal siapa Yazid, yang menjadi calon tunggal wali kota di Kebun Melati. Seusai memilih, dia memuaskan rasa penasarannya dengan kembali berjalan-jalan di Sukamawar.


Masyarakat Sukamawar heboh. Di hari pemilihan wali kota, Umar ditemukan tewas dengan keadaan mengenaskan. Tubuhnya tersandar di sebuah pohon dengan pasak yang menusuk tubuhnya dan menembus sampai ke pohon. Diketahui, dia bahkan belum sempat memakai hak memilihnya pada hari itu. Bahkan tempat jasadnya ditemukan tidak jauh dari rumahnya dan TPS yang akan dia hadiri pada hari itu.

Tidak sampai di situ, misteri terus melebar dengan hilangnya sang istri. Rumah Umar sama sekali tidak berpenghuni pada hari itu. Dugaan terbesar bahwa Umar dibunuh sepulang ibadah. Masyarakat malah bingung padahal mereka ingin memilihnya.

Dimas selaku orang yang berpengalaman dalam berbagai pembunuhan dengan berani mendekati TKP. “Astaga. Orang ini dicoblos secara harfiah rupanya.”

Pekerjaannya sebagai ilusionis seakan mewajibkannya membawa sarung tangan kemana pun pergi. Tanpa ragu, dia langsung duduk untuk melihat tangan Umar. Dengan jelas, terlihat tanda perlawanan yang menandakan Umar tidak mengenal pelaku yang menyerang.

Pandangan Dimas mulai liar. Dia mulai mencari kamera pengawas di sekitar TKP namun tidak menemukannya. Pikirannya hanya mengarah kepada satu orang namun dia masih berprasangka baik.

“Dia tidak akan melakukannya bukan?”

“Kamu!” Panggilan itu cukup mengejutkan Dimas sehingga dia memalingkan wajahnya untuk melihat siapa orangnya. Dimas malah tersenyum kemudian berdiri sambil mengangkat kedua tangannya seraya mundur.

“Lama tidak berjumpa, Brigpol Kurniawan. Silakan dilihat korbannya.” Tangan Dimas membuat isyarat seakan mempersilakan orang itu untuk mendekat. “Tenang, saya tahu cara kerja Anda sehingga tidak merusak TKP.”

“Tapi sepertinya Anda benar-benar ditugaskan untuk pengamanan pilkada ini rupanya. Apakah di TPS ini?” Brigpol Kurniawan memandang Dimas dengan wajahnya yang kesal. “Baiklah, saya akan diam dan pergi dari sini.” Nyatanya dia malah mendekat untuk berbisik. “Saya harap pelakunya tidak dibayar oleh lawan tanding orang ini.” Barulah Dimas pergi entah ke mana.


“Nomor satu!” Panitia Pemungutan Suara di TPS 01 Kebun Melati mengucapkannya berkali-kali. Tentu saja, itu adalah Yazid yang menjadi calon tunggal. Kemenangan baginya seakan terjamin karena hanya beberapa orang yang mencoblos kotak kosong itu.


“Fairuz!” teriak Dimas ketika media sedang menyorot seusai mencoblos dan memamerkan kelingking tangan kirinya yang berwarna ungu. Kedua tangannya tanpa ragu langsung mencengkeram kerah baju Fairuz. “Kamu bukan pelakunya?”

“Pelaku apa? Aku tidak tahu maksudmu.”

“Jangan berpura-pura! Kamulah yang membunuh Umar!”

“Umar? Terbunuh? Hah.” Fairuz tertawa kecil kemudian berakting seolah terkejut. Sementara itu Ipda Marwan yang merupakan anggota Satreskrim rupanya ditugaskan untuk menjaga di sana dalam rangka mengenalkan Sukamawar yang masih baru baginya. Dia pun menarik Dimas agar menjauh.

“Apa maksudmu?” tanya Ipda Marwan.

“Apa lagi? Umar yang menjadi lawannya di pemilihan ini ditemukan tewas di dekat rumah sekaligus TPS tempat dia akan memilih dalam keadaan yang mengenaskan. Siapa lagi yang akan membunuhnya jika bukan dia?”


Ratih yang merupakan wartawan baru di TV Sukamawar mendekat kepada Fairuz setelah kejadian yang tidak mereka bayangkan sebelumnya.

“Bagaimana tanggapan Anda setelah kejadian barusan?” tanya Ratih.

“Saya tidak tahu apa maksudnya tapi saya rasa dia adalah satu dari pendukung Umar. Saya cukup terkejut ketika mendengar Umar terbunuh. Yang jelas, jika itu benar, saya bukan pelakunya.” Fairuz mengangguk kemudian pergi menjauh.


Hari pelantikan telah tiba, beberapa hari setelah pengumuman jumlah suara. Masyarakat Sukamawar yang mendukung Umar seakan terpaksa melakukan antara dua hal, tidak mencoblos atau malah mencoblos Fairuz. Sedikit aneh ketika Fairuz memenangkan dengan selisih begitu banyak suara tanpa menghitung yang tidak sah. Mulai hari itu, Fairuz secra resmi menjadi wali kota Sukamawar.


Komentar