Secara terpaksa, masyarakat Sukamawar mengakui kemenangan Fairuz. Mereka hanya bisa berharap kebaikan darinya, sambil terus melakukan keseharian sebagaimana biasa. Tidak menunggu waktu lama, dia langsung mengeluarkan peraturan wali kota yang tidak lagi memberlakukan sistem zonasi untuk sekolah, seolah memberikan kebebasan kepada para siswa yang ingin memilih sendiri.
Sementara itu, Inspektur Polisi Dua Marwan sedang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Dia sebelumnya dilaporkan oleh masyarakat Sukamawar yang menghadiri pemakaman Rujani atas tindakannya kepada Sina sang penggali kuburan. AKBP Zakaria ditunjuk sebagai kepala pemeriksa mengingat pengalaman beliau. Ipda Marwan pun mendapat teguran lisan juga tertulis setelah melewati gelar perkara. Mereka menganggapnya melakukan pelanggaran ringan terhadap kode etik sehingga menambah hukumannya dengan skors selama satu hari.
“Selamat pagi, Bu Sri,” sapa Marwan. Matanya langsung mengarah kepada Putra yang bersandar pada tiang. Mereka sempat melakukan kontak mata sebelum Putra kembali menunduk sambil memeluk lututnya.
“Pagi Pak Polisi.” Sri keluar dari kantornya. Mata Marwan hanya beralih sebentar karena sangat fokus kepada Putra. “Ya, seperti itulah dia setiap hari.” Sri mendekat untuk berbisik. “Tapi sejak ayahnya meninggal, dia selalu pulang lebih lambat.”
“Kenapa?”
“Ya … dia sekarang tinggal di panti asuhan karena kakek-neneknya sudah meninggal dan tidak memiliki keluarga lain. Sepertinya dia tidak begitu suka.”
Memandang Putra, Marwan teringat sesuatu. “Ayah!” Kali ini teriakan itu dari Marwan. Terjadi dua puluh tahun lalu dimana dia mengalami hal yang hampir persis dengan Putra. Bedanya, ibunya yang terbunuh. Pembunuhnya masih menjadi misteri sampai sekarang karena ayahnya tidak terbukti tersalah dan menikah lagi dengan wanita lain beberapa waktu setelah kejadian. Dari mereka, Marwan memiliki seorang adik tiri perempuan bernama Lestari. Usianya sekarang dua puluh tahun, delapan tahun lebih muda darinya.
Marwan langsung mengambil ponselnya untuk memanggil kemudian berjalan menjauh. “Lestari.”
“Kak? Kamu baik-baik saja? Sudah lama tidak menelepon….”
“Ya, aku baik-baik saja. Bahkan hari ini aku bisa pulang, tapi tidak sendirian.”
“Kamu sudah punya calon?” tanya Lestari terkejut. Marwan langsung menertawakannya.
“Kamu akan menemuinya hari ini.” Marwan mematikan panggilan. “Yuk, ikut kakak. Dijamin kamu mendapatkan seseorang yang perhatian,” ucapnya sambil menyeringai.
“Silakan pilih salah satu kartu.” Dimas menyebarkan kartu di atas meja warung kopi. Erma hanya memperhatikan. Kali ini, tempat itu diramaikan oleh banyak orang.
Seorang pria yang menjadi sukarelawan memilih salah satu kartu. “Sudah yakin memilih yang itu?” Dia mengangguk. “Tunjukkan kepada orang di sekitar Anda kecuali saya dan Erma.” Dimas memalingkan badan sambil melirik Erma.
Pria itu menunjukkan sebentar. “Kalau sudah, taruh kembali kartunya di tumpukan dan kocok sesuka hati.” Dimas belum memalingkan badan jadi pria itu berpikir untuk tidak menaruhnya di tumpukan.
“Erma, pastikan kartunya ada di tumpukan.” Pria itu terkejut
“Ah, tidak seru. Kamu sudah tahu.” Dimas tertawa kecil.
“Meski sudah kuduga, tidak juga. Tanpa asisten, saya tidak akan mengetahui tapi tetap menemukannya.” Pria itu agak kesal dan suaranya mengocok kartu cukup terdengar.
“Sudah.”
“Sekarang, Erma. Kamu menjauh atau paling tidak memalingkan diri agar mereka tidak curiga.” Erma langsung memalingkan diri sekaligus mencuci cangkir.
“Giliran Anda untuk menyebarkan kartu.” Pria itu pun menyebarkan kartu dengan hati-hati.
Tanpa ragu, Dimas langsung memilih satu kartu. “Anda masih ingat apa kartunya?”
“Tentu.”
“Anda akan menyebutkan bersamaan saya menunjukkannya. Kita hitung mundur ya, tiga, dua, satu.”
“As sekop.” Pria itu langsung terkejut melihat kartu yang ditunjukkan Dimas. Dimas pun melihatnya dan tersenyum kecil.
“Mustahil.”
“Terima kasih telah menjadi sukarelawan.” Dimas kemudian membayar dan pergi. “Sampai jumpa lagi.” Dia meninggalkan kartu itu. Pria itu curiga dengan kartunya dan Dimas membaliknya sebelum pergi untuk membuktikan itu kartu remi normal.
Briptu Kuncoro tiba di Desa Damai, Kota Sukamawar. Tempat kelahiran tanpa melupakan kasus potongan kepala yang ditemukan anak itu. Secara mengejutkan dia bertemu dengan Ipda Marwan. Mereka ternyata saling mengenal.
“Jangan bilang kamu orang yang menggantikanku di Polresta Sukamawar,” ucap Kuncoro.
Marwan hanya diam. “Baguslah, aku percaya kamu orang yang baik.”
“Sudahkah kamu mengetahui kasus oknum di markas? Itu sempat menjadi rumor yang merebak.”
“Ya, aku mendengarnya dan aku sudah mempunyai satu nama.”
“Siapa?”
“Kurniawan. Tindakannya di kantor sangat aneh.” Kuncoro mengangguk seolah mengerti.
“Sudah kuduga kamu orangnya.” Dimas tersandar dengan luka memar di wajah dan terus batuk darah. “Bahkan kamu dibayar untuk membunuh Umar bukan?”
Dor. Satu tembakan dari pistol dilepaskan. Dimas tersungkur dan tangannya dibuat memegang pistol.
Satresnarkoba Polresta Sukamawar mulai menyelidiki lebih lanjut mengenai penjualan barang haram. Semenjak kasus organisasi kejahatan yang menamakan diri mereka “Bunga Musim Dingin” itu, masih menjadi misteri bagaimana mereka mengelola situs mereka, terutama markas mereka. Di bawah pimpinan Kompol Ferdi, Iptu Nara menjadi orang kepercayaan yang akan mengatasi masalah ini.
Penyelidikan itu berlangsung selama dua tahun. Sedikit demi sedikit, sindikat ini mulai dipecahkan. Dimulai dari sistem pengampuan situs-situs mereka yang mengarah kepada satu alamat. Perbatasan Kebun Melati-Sukamawar.
Selama dua tahun, Lestari bersama Marwan merawat Putra. Ipda Marwan memeriksa keadaan mereka.
“Bagaimana? Benar ‘kan, dia orang baik?” Putra tersenyum mengangguk.
Nyatanya, Lestari mengurung dirinya di kamar. Marwan pun mengetuk pintu dan ternyata terbuka. Lestari hanya diam namun Marwan melihat cukup banyak memar di tubuhnya.
“Sudah kuduga anak itu psikopat.”
Penyelidikan Satresnarkoba Polresta Sukamawar mencapai titik akhir. Ekskavator diturunkan dengan niat menghancurkan rumah yang berada di perbatasan itu. Mereka yakin, rumah itulah yang menjadi markas organisasi kejahatan selama ini.
“Aku sudah curiga dengan rumah ini sejak ditugaskan.”
“Jangan!” teriak seseorang. Itu adalah remaja yang dikenal sebagai Ahmad Firdaus. “Hentikan sekarang juga! Rumah itu masih berpenghuni.”
“Bagaimana jika penghuninya orang-orang jahat?”
“Jahat?” Firdaus mulai marah. “Memangnya Anda tahu siapa pemilik rumah ini, ha?”
“Ayah kandung saya! Ajun Komisaris Besar Polisi Purnawirawan Abdul Hamid!”
Para polisi mulai terdiam. Tidak ada yang tidak mengenal nama yang disebutkan Firdaus. Firdaus pun mencoba kembali tenang. “Sekarang, jelaskan apa maksud kalian melakukan hal ini?” Iptu Nara kemudian mendekat dan mulai menjelaskan secara rinci hasil penyelidikan mereka.
“Ah, mereka?” Firdaus terdengar mengetahuinya. Dia terdiam sejenak, seperti teringat beberapa hal.
“Aku rasa markas mereka di bawah rumah ini. Dan jalan masuknya adalah pohon akasia di Winter Garden di Kota Dingin.”
Mereka tidak menyangka bahwa pohon akasia yang tidak seharusnya berada di kebun musim dingin ternyata menjadi pintu masuk kepada akses bawah tanah. Lorong itu kembali mengingatkan Firdaus akan sesuatu.
“Apakah ini tembus ke kereta bawah tanah di pusat Kota Dingin?” Iptu Nara tidak memahami maksudnya.
Mereka akhirnya tiba di tempat yang mereka tuju. Pabrik produksi itu sudah berantakan. Pil-pil berhamburan di lantai, begitu pula wadah-wadah obat lainnya.
Firdaus memandang ke atas. “Pantas saja dia selalu mendengar suara langkah kaki. Berarti itu bukan halusinasi.” Dia meneteskan air mata.