arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Para polisi terus menjelajah bawah tanah, sampai mereka menemukan beberapa meja kantoran dengan komputer di atasnya.

“Ini markas atau warnet?” tanya Kompol Ferdi.

“Rupanya di sini mereka mengelola semua,” ucap Firdaus sambil mengangguk perlahan. “Berarti selama ini ayah disekap di sini, atau ibu bekerja di sini?” Dia hanya bergumam semua ini.

“Baiklah. Kita akan membentangkan garis polisi serta menutup dan mengunci pintu rahasia dari pohon akasia di taman itu. Tapi sebelumnya, kita harus menyita semua ini.” Iptu Nara serius.


Firdaus terus berdiri memandang rumah itu dengan ekskavator. “Pokoknya kalian tidak boleh menyentuh apalagi menghancurkan rumah ini. Jika ayah masih hidup dan tahu hal ini, dia pasti akan memarahi kalian!” Firdaus berjalan menuju pintu dan akan membukanya.

“Itu rumah Idris bukan?” Firdaus mengurungkannya dan berpaling mendengar pertanyaan itu.

“Faisal!” panggil Iptu Nara yang mengingatnya setelah kejadian pengejaran itu. Namun Firdaus masih kebingungan karena dia belum tahu siapa dia.

“Rumah itu lebih berharga bagi Firdaus daripada yang kalian bayangkan.” Para polisi yang ada di sana hanya diam. “Sekarang, karena situasi agak canggung, alangkah baiknya kalian pergi dari sini.” Firdaus terus mendengarkan Faisal kemudian mendekat dengan wajah penasaran.

Faisal mengulurkan tangannya. “Namaku Muhammad Faisal. Kita sama-sama alumnus MA Sukamawar yang baru saja lulus, hanya saja aku di jurusan MIPA.”

Firdaus bereaksi karena mengetahuinya. “Wajar. Aku jurusan Bahasa dan kita hampir mustahil bertemu bahkan karena beberapa hal. Kebetulan yang kamu tunggu sepertinya telah tiba.”

“Tapi benar itu rumah Idris?” Firdaus mengangguk diam.

“Sebenarnya, rumahku tidak jauh dari sini tapi aku pergi ke sekolah sambil bersepeda. Aku sering melihat Idris lewat jadi mengira rumahnya juga dekat denganku.

Jadi, karena aku mendengarkan keributan barusan dan usahamu melindungi rumah ini, sudah pasti ini rumah Idris.”

“Siapa Idris dan bagaimana kamu mengenal mereka?” tanya Iptu Nara penasaran.

“Muhammad Idris. Dia seakan jadi sahabat bagi Firdaus karena aku sering melihat mereka berbicara berdua di bangku taman sekolah. Aku mengenal Idris dan Firdaus di acara Masa Taaruf Siswa Madrasah.” Iptu Nara mengangguk seolah mengerti pernyataan Faisal.

“Apa yang akan kamu lakukan tadi?” tanya Faisal, kembali kepada Firdaus.

“Aku hanya ingin memastikan rumah kami—Maksudku rumahnya tidak apa-apa. Mungkin membantunya membersihkan juga.”

“Memangnya ke mana dia? Sudah sekitar dua tahun aku tidak melihatnya, sejak kejadian perpisahan itu.” Firdaus tidak bisa menahan air matanya menetes. “Maafkan aku atas pertanyaan barusan.” Faisal merangkul Firdaus.

“Omong-omong, ke mana kamu akan melanjutkan?” Faisal mengganti topik. “Kurasa kamu sangat tertarik saat para polisi melakukan sosialisasi di sekolah kita. Apakah kamu berencana masuk Akademi Kepolisian?”

“Ya,” jawab Firdaus dengan suara lemah sambil mengangguk.

“Wah, kamu pasti ingin melanjutkan perjuangan ayahmu.” Kompol Ferdi menepuk bahu Firdaus karena bangga.

“Ayahnya?” tanya Faisal penasaran.

“Ajun Komisaris Besar Polisi Purnawirawan Abdul Hamid.” Faisal sontak terkejut mendengar jawaban Kompol Ferdi.

“Kenapa?” Faisal mulai meneteskan air matanya.

“Aku tidak sempat melakukannya…. Jadi, Firdaus,” Faisal memandang Firdaus, “terima kasih.”

“Ada apa?” tanya Iptu Nara.

“Beliau menyelamatkanku dari tertabrak mobil namun beliaulah yang terluka cukup parah. Dari apa yang kulihat, ayahmu seperti baru saja pulang dari kantor kepolisian dengan sedih namun masih memikirkan orang lain.”

“Jangan bilang itu adalah hari dia mengundurkan diri di Polresta Sukamawar dan meninggal karena itu.” Firdaus cukup terkejut sehingga Faisal kembali mencoba menghiburnya.

“Karena kamu akan ke Akademi Kepolisian, sepertinya kita akan bertemu lagi.”

“Kamu ke sana juga?”

“Ya. Aku rasa, aku perlu membalas kebaikan ayahmu dengan turut melanjutkan perjuangannya. Jadi, bisakah kita menjadi teman mulai dari sekarang?” tanya Faisal balik sambil mengulurkan tangan.

Firdaus pun tersenyum sambil menyambutnya. “Tentu!” Faisal masih tidak sadar bahwa Idris juga anak dari AKBP (Purn.) Abdul Hamid sehingga Firdaus sebenarnya saudara bagi Idris, lebih dari sahabat.

Tiba-tiba, sebuah laporan terdengar di Handy Talky milik Kompol Ferdi, mengingat dia seorang kepala satuan. Sepertinya itu dari Satreskrim yang menemukan sesosok mayat di hutan pedesaan.


“Dimas.” Firdaus yang tadi penasaran dan mengikuti para kepolisian rupanya mengenal mayat yang tubuhnya mulai agak hancur. “Ini pembunuhan yang disamarkan sebagai bunuh diri.”

“Siapa pelakunya?” tanya Firdaus. “Dia bisa saja menguburkannya maka jasad ini tidak akan bersisa. Tapi dia ingin mayat ini dilihat. Apa alasannya?”

“Aku tidak mau membahasnya. Sekarang, karena sudah ada polisi, aku lebih baik menyerahkannya kepada kalian.”


“Ya. Perhatian semuanya!” Kombes Pol Ahmad Isa mengumpulkan anggotanya. “Dengarkan ini.” Dia menyalakan televisi.

“Sekitar lima atau enam tahun lagi, Kota Cahaya akan dibuka. Kota itu sedang dibangun terletak di barat laut Kota Harapan.” Itu adalah potongan rekaman video pengumuman dari gubernur yang dijeda sejenak.

“Lantas kenapa?” tanya Brigpol Kurniawan. Semua mata langsung mengarah padanya.

Kombes Pol Ahmad Isa hanya diam namun melanjutkan memutar videonya. “Kami ingin menyatakan kepada anggota senior Kepolisian Resor Kota Sukamawar agar bersiap-siap untuk menjadi anggota Kepolisian Resor Kota Cahaya. Kami telah berdiskusi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan beliau menyetujuinya.” Video berakhir.

“Itu saja?” tanya Brigpol Kurniawan. Ipda Marwan terus memandang dari kejauhan.

Kombes Pol Ahmad Isa mencoba tenang. “Ya itu saja.” Dia kemudian kembali diam dan pergi ke ruangannya.

“Aku yakin tidak akan ada bedanya dengan di sini.” Brigpol Kurniawan mengucapkannya dengan percaya diri dan kembali ke kursinya.

“Lihat saja nanti.” Ipda Marwan bergumam. “Kuncoro akan menghabisimu dalam kurun waktu yang sana, karena aku yakin, pasti kamu melakukan banyak kesalahan di sana, Kurniawan!” Tapi Ipda Marwan teringat satu hal.

“Lestari!” Ipda Marwan langsung menelepon. Dia melakukannya beberapa kali namun tidak ada jawaban. Hal itu membuatnya gelisah dan ingin pulang. Sampai Lestari memanggil balik.

“Ada apa kak?”

“Kamu baik-baik saja?”

“Ya,” sahut Lestari singkat.

“Kenapa kamu tidak langsung menjawab?”

“Aku sibuk memasak di dapur dan ponsel di kamar.”

Ipda Marwan mulai lega.

“Dikendalikan bagaimana? Dia sudah meninggal. Warga setempat bahkan sudah mengurus jenazahnya.”

Ipda Marwan terkejut. “Kenapa? Kamu membunuhnya?”

“Kenapa kakak berpikir begitu? Dia memang melukaiku namun aku tidak akan membalasnya.”

“Lantas?”

“Selera makannya sangat … aku tidak bisa menjelaskannya. Sejak kakak pergi, apapun yang kumasak, dia tidak mau memakannya sesuap pun. Pada akhirnya, saat aku mengira dia tertidur, ternyata dia tidak bisa dibangunkan lagi.”

“Mati kelaparan….” Ipda Marwan hanya bisa bergumam.

“Kak….” Lestari terdengar sedih. “Bahannya tidak beracun bukan? Aku sudah yakin membeli yang paling segar di pasar tepercaya, dimana kita sudah sering belanja di sana. Atau memang masakanku yang tidak enak?”

“Tidak, Lestari. Bekal yang kamu berikan hari ini padaku telah habis. Terima kasih telah sempat mengirimkannya di tengah kesibukanku.” Ipda Marwan menutup ponselnya.

“Kenapa sebenarnya anak itu?”


Komentar