arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

“Apa yang barusan terjadi?” tanya Iptu Nara yang datang ke TKP dengan niat menjaga perbatasan sebagaimana tugas awalnya namun kali ini dengan mobilnya.

“Kami baik-baik saja,” jawab Firdaus sambil memandang jasad Aiptu Kurniawan.

Idris memandang Iptu Nara lama. “Anda rupanya penjaga pos di dekat rumahku.”

“Oh. Jadi ini rumahmu?” Iptu Nara melihat Idris yang baru saja berucap. “Aku penasaran bagaimana rasanya tinggal di perbatasan.”

“Biasa-biasa saja,” sahut Idris santai kemudian tersenyum kecil.

Iptu Nara menghela napas. “Paling tidak rasa penasaranku sudah hilang.” Dia berjalan kembali menuju posnya. Ambulans tiba di waktu yang bersamaan untuk mengangkut jasad Kurniawan.

Ternyata Haris masih di sana, dia pun memandang mereka kemudian berucap, “Muhammad Idris. Ahmad Firdaus. Kalian adalah Detektif Sekolahan yang selama ini aku cari.”

“Apa maksudnya?” tanya Idris pura-pura tidak tahu.

“Kamu mengingatnya.” Firdaus menepuk bahu Idris.

Haris terlihat sangat bahagia. “Aku pulang sekarang ya. Rasanya sangat bersyukur setelah melihat kalian berdua masih hidup.”

“Ya, hati-hati.” Idris melambaikan tangannya. Dia dan Firdaus bergerak menuju rumahnya.

“Mobil siapa itu?” tanya Idris melihat sebuah mobil yang terparkir di samping rumahnya namun bukan punya Iptu Nara.

“Mobilku.” Jawaban Firdaus membuat Idris agak terkejut. “Sekarang, kita tidak harus berjalan kaki, minta tumpangan, atau menaiki bus lagi untuk bepergian.”

“Oh ya, di dalamnya ada papan tulis milik almarhumah ib—Tania yang dulu kamu kagum melihatnya.” Firdaus membuka mobil dengan menekan tombol di kuncinya.

“Tunggu, aku harus membukakan pintu dulu.” Idris pergi ke rumahnya. Dia kemudian melihat Firdaus kesusahan mengeluarkan papan tulis itu dan bersegera membantunya.

“Kamu tidak berubah, Idris.” Mereka kemudian membawanya masuk ke rumah.

“Kalian perlu bantuan?” teriak Iptu Nara dari posnya karena melihat hal tersebut.

“Tidak usah, terima kasih,” sahut Firdaus. Mereka berhasil membawanya masuk.


Iptu Kuncoro tiba di Perbatasan Kota Harapan dengan Kota Cahaya. Kombes Pol Ahmad Isa terlihat menunggu di luar mobilnya. “Bagaimana eksekusinya?” tanyanya saat Iptu Kuncoro keluar dari mobil.

“Nampaknya Anda sangat kesal dengan bedebah itu.”

“Tentu saja. Dia menyalahgunakan kekuasaannya selama ini.” Kombes Pol Ahmad Isa terlihat kesal. “Meski demikian, keluarganya terutama anaknya Agung tetap mendapat kompensasi atas hal ini. Namun, itu hanya untuk mencukupi mereka. Sisanya, dia mengganti rugi atas sebuah kasus di Kota Cahaya.”

“SMP Pelita. Dia membayar orang untuk mencuri komputer dari sekolah itu dan menghancurkannya di rumah salah satu siswa. Dia mengaku melakukannya setelah kutekan untuk bicara dengan jujur.” Kombes Pol Ahmad Isa tersenyum kecil. Mereka bersiap untuk pulang.

“Oh ya, Kuncoro.” Kombes Pol Ahmad Isa teringat sesuatu. “Selamat atas kepulangan ke Polresta Sukamawar.” Ucapan itu membuat Iptu Kuncoro tersenyum.


“Letakkan di sini?” tanya Idris memasuki ruangannya. “Ini ruanganku? Kamu sebelumnya menyebutkan buku harian. Di mana punyaku?” Dia kemudian membuka laci dan menemukannya. Tanpa menunggu waktu lama, dia mulai membacanya.

“Sejak kapan kamu ke rumah?” tanya Firdaus sambil menyapu tangannya. “Ruanganmu terlihat cukup bersih.”

“Aku sebenarnya sudah boleh pulang enam tahun lalu. Aku masih ingat ada ekskavator di dekat rumahku. Dokter Ika mengantarku.” Firdaus tidak percaya. “Rumahku sangat berdebu sehingga cukup susah untuk membersihkannya sendiri. Tapi Dokter Ika menyempatkan diri untuk membantu sesekali.”

“Kenapa kamu terlihat terkejut?” tanya Idris.

“Aku ada di hari itu dan tinggal selangkah lagi untuk membuka pintu rumahmu.”

“Dokter Ika memberitahuku itu. Aku yakin, seandainya kamu mengetuk, aku langsung bisa mengenal itu kamu.”

Firdaus mulai terharu dan menyeka air matanya. “Bagaimana kamu mengenal Iptu Kuncoro?”

“Beberapa hari terakhir kami sering bicara. Setelah mendengar rencana kalian, apalagi Kombes Pol Ahmad Isa seolah tahu kamu akan ada di sini, aku merasa bisa memanfaatkan kesempatan itu.”

“Oh ya, berbicara mengenai kepulanganku. Aku menemukan bunga mawar ini di bawah pintu saat Dokter Ika mengantarku. Siapa yang memberikannya? Aku cukup heran mengapa bunga ini tidak layu ternyata palsu.”

“Dimas.” Idris yang terus membaca bukunya berhenti untuk memandang Firdaus. “Oh, dia—”

“Berdasarkan catatanku, dia seorang ilusionis, nampaknya itu adalah hal yang wajar. Untungnya, bunga ini menjadi awet dan pesannya tersampaikan.”

Firdaus tersenyum kemudian tersadar, “Pesan?”

“Ya. Dia berterima kasih telah diajarkan hal-hal yang baik. Dia bercerita penasaran bagaimana kabarku karena lama tidak terdengar. Bagaimana kabarnya, Firdaus?”

“Dia tewas enam tahun yang lalu.”

“Di tahun aku kembali? Seharusnya aku tahu.” Idris terkejut. “Di mana dia dimakamkan? Antar aku ke sana. Tentu saja setelah bertemu dengan ibu nanti.”


“Bagaimana kabar Ibu?” tanya Idris di depan meja dengan sekat kaca itu. Firdaus kemudian mendekat dan duduk di sebelahnya.

“Kamu bilang akan datang sendirian, ternyata mengajaknya.” Mina terlihat marah.

“Mengapa Ibu sangat membenciku?” tanya Firdaus.

“Aku sudah memberitahumu dan akan mengulangnya. Kamu tidak lain hanya pembawa sial!” Penjaga penjara yang mendengar suara keras itu kembali menarik Mina ke dalam tahanan. Selama itulah mereka bicara, bahkan kurang dari semenit.


Firdaus masih terngiang dengan kalimat itu. Dia berpikir bahwa hal itu benar. “Idris, kesialan itu tidak menjauh dari diriku. Selama aku bertugas di Polresta Cahaya, satu bulan lebih aku ditugaskan pada kasus yang terlihat berantai. Faisal juga kesal atas hal itu.”

“Maafkan aku, telah menjauh darimu saat hari operasi itu. Aku tidak mau membawa kesialan itu lagi. Ke rumahmu pun rasanya tidak sanggup. Aku hanya mengantar bunga titipan almarhum Dimas itu sampai di bawah pintu.”

“Kenapa kamu berpikir demikian? Kesialan apa? Bukankah semua itu sudah ketentuan? Meski menjauh darinya, sepertinya penerimaan adalah pilihan terakhir. Lagipula, bukankah Faisal masih memperhatikanmu? Dia bahkan menanyakan apakah kamu baik-baik saja saat hampir ditembak pagi tadi.” Firdaus terdiam.

“Aku teringat Dokter Ika menceritakan bahwa ibuku seperti mengidap Baby Blues Syndrome, sempat sembuh namun depresinya kembali. Aku menduga dia ditawari Bagus mengenai obat-obatan dan kecanduan. Mengetahui ayah ahli di bidang IT, dia pun meminta perangkat lunak itu sebagai bayarannya.”


Idris dan Firdaus tiba di TMP Sukamawar. Sesampainya di sana, mereka memandang sebuah makam. “Sayangnya kita tidak bisa melihatnya lagi di dunia nyata. Semua berakhir, hanya karena dia menciptakan perangkat lunak hitung mundur itu.” Firdaus menunduk setelah mengucapkan hal itu.

“Mereka dimakamkan berdekatan….” Idris melihat makam yang lain.

“Dimas telah membantu Polresta Sukamawar untuk menemukan markas sekaligus pabrik yang digunakan oleh organisasi jahat itu.” Firdaus menceritakan. Idris teringat dengan pesan dari Dimas. Itu membuatnya tersenyum kecil dan meneteskan air mata.


“Apakah kita akan menghadapi kasus bersama lagi?”

“Aku memilih untuk seperti sebelum kita bertemu. Mengurung diri di rumah dan hanya keluar di saat-saat penting saja. Jadi, aku berhenti. Lagipula kamu sudah memiliki Faisal yang sudah setia menemanimu.” Firdaus terlihat kecewa. “Tapi jika kamu memerlukan bantuanku, aku harap aku bisa membantumu.” Idris kemudian berjalan ke arah dapur.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Firdaus.

“Aku akan membuatkan teh. Bukankah begitu biasanya aku menyambut tamu?”

“Idris.”

“Ya?” sahut Idris sambil memperlambat jalannya.

“Mulai saat ini, aku akan tinggal bersamamu.” Idris memalingkan wajahnya. “Sejak bertemu denganmu, ditambah mengetahui bahwa kamu adalah kakakku yang sesungguhnya, aku tahu kamu adalah orang yang berharga bagiku. Aku tidak mau kehilangan lagi. Kamu adalah orang yang mau menerimaku, meski kesialan terus bersamaku.”

“Kesialan itu akan hilang pada waktunya. Atau kamu hanya harus membiarkannya berlalu.”


Komentar