Dor! Tembakan itu terdengar bergema dan sangat keras, menjatuhkan Aiptu Kurniawan yang mencoba membunuh Firdaus. Firdaus membuka mata dan melihat seseorang berjalan ke arahnya. Orang itu mengenakan jubah coklat dan topi bundar. Dia memegang pistol yang masih berasap di tangan kanannya yang bersarung. Firdaus langsung mengenali orang itu dari pakaiannya.
Belum sempat Firdaus mengucapkan namanya, orang itu menurunkan pistolnya dan mengulurkan tangan. “Senang bertemu denganmu, polisi,” ucapnya dengan tersenyum. Bripka Faisal berlari mengejar ketika melihat kejadian itu dari kejauhan dan berhenti ketika Firdaus memeluk orang itu. Bripka Faisal pun menurunkan pistolnya kemudian mendekat.
“Idris….” Ucapan Firdaus terdengar di telinga Faisal. Faisal tahu bahwa Firdaus dan Idris sangat dekat namun ada satu hal yang harus dia selesaikan.
Firdaus sadar Faisal di dekatnya sehingga melepas pelukan. Faisal pun menepuk bahu Idris. “Kamu ditahan untuk membunuh seorang polisi.”
“Bukan aku yang melakukannya.” Idris memalingkan wajah dan memberikan senyuman. Dia kemudian melemparkan pistol itu ke belakang. Seorang polisi menangkapnya. “Brigadir Polisi Satu Kuncoro, anggota Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar.
“Tunggu, bagaimana caranya?”
“Kamu tidak melihatku? Kamu pasti terlalu memperhatikan temanmu.” Iptu Kuncoro kemudian tertawa kecil. “Aku menembak kemudian bersembunyi dan Idris meminjam pistol itu agar seolah dia yang melakukannya.” Bripka Faisal terlihat masih kebingungan.
“Aku tahu Firdaus tidak sendirian.” Idris melihat ekspresinya kemudian berucap, “Silakan jelaskan tindakan Anda barusan, Iptu Kuncoro.”
“Ringkasnya, orang ini telah melakukan berbagai pelanggaran berat. Selain itu, dia adalah satu-satunya orang yang tersisa dari organisasi kejahatan yang sudah dimusnahkan delapan tahun lalu.”
“Bunga musim dingin itu telah layu namun satu bibit masih tertanam.” Firdaus memandang Idris, berharap dia paham maksudnya namun Idris hanya kagum mendengarnya.
“Bisakah aku menjelaskan lebih lengkap? Aku sangat menginginkannya.” Idris menjawab pertanyaan Iptu Kuncoro dengan anggukan. “Iptu Kuncoro adalah orang yang bertanggung jawab atas penangkapan Bagus yang ternyata masih bebas sampai peristiwa pembubaran itu. Dia juga yang bertanggung jawab atas konser musik klasik 14 Januari 2020 itu namun menangkap pelaku setelah terjadi dua pembunuhan terlebih dahulu.”
“Ah, pantas saja aku pernah melihatnya.” Firdaus teringat.
“Satu lagi. Ini sudah lama, namun beberapa di antara kalian mungkin masih ingat 17 Agustus 2019. Ada beberapa yang mengeluh, banyak korban yang berjatuhan namun acara tetap dilanjutkan.” Iptu Kuncoro terlihat serius. “Padahal, setelah berkomunikasi dengan Kombes Pol Ahmad Isa, Aiptu Kurniawan adalah polisi tunggal yang bertanggung jawab atas kegiatan hari itu karena dia memintanya.”
Firdaus terus teringat. “Ah, apakah itu dia? Dia baru muncul setelah aku menelepon.”
“Bukan, itu aku. Aku ada di hari itu dan melihat puncak pinang. Saat melihat itu, aku bergegas ke kantor dan kami mendapat telepon darimu. Ketika di sana, aku masih ingat kamu berbicara denganku. Tapi aku sama sekali tidak tahu banyak korban yang berjatuhan saat itu. Aku hanya mengira dia melakukan pembunuhan Febri.” Iptu Kuncoro menjawab. “Bahkan orang sekelas wali kota seperti Mahmud tidak mengetahui hal itu terjadi.”
“Kenapa semua itu terjadi? Karena dialah oknum yang selama ini kami cari. Aku sering melihatnya ketika mengerjakan kasus yang kuhadapi di Polresta Pasir Putih. Bahkan dia sudah bertindak di luar batas saat di sini bukan?”
Firdaus menunduk menahan tangisnya. “Betapa membawa sialnya aku saat itu.”
Faisal menepuk bahu Firdaus. “Tidak sekarang. Kita baru saja menuntaskan kasus terbesar yang pernah dihadapi.” Idris memandang Faisal sejenak. “Apakah dia teman barumu?” Idris bertanya kepada Firdaus yang hanya dijawab anggukan. “Baguslah, berarti ada yang mengisi hidupmu selama aku pergi.”
“Namaku Faisal. Alumni MA Sukamawar Jurusan IPA.” Dia mengulurkan tangannya dan Idris menyambutnya. “Apa yang terjadi padamu setelah kejadian perpisahan itu?” Idris terdiam cukup lama, dia terlihat kesusahan untuk mengingat.
“Aku tertidur selama dua tahun. Aku bersyukur operasi yang menggunakan asam traneksamat itu sukses walau efek sampingnya telah kusebutkan.” Idris mendongak sambil memegang punggung kepalanya sebentar. “Kemungkinan sembuh dari pendarahan otak sangatlah kecil. Banyak yang meninggal atau tetap hidup namun mengalami stroke maupun kehilangan fungsi otak.” Air matanya mulai menetes dan akhirnya dia menurunkan pandangannya. “Berbicara dan dapat berdiri pun rasanya sangat bahagia, meski tidak banyak yang kuingat kecuali Firdaus dan orang tuaku. Tapi Dokter Ika Pratiwi mengatakan ingatanku bisa pulih jika dipancing, entah apa maksudnya.”
“Tunggu, jika kamu tertidur selama dua tahun, bagaimana caramu makan?”
“Nasogastric Tube Intubation. Agak mengerikan jika kamu mengetahuinya. Aku sangat salut dengan Dokter Ika Pratiwi,” Idris memegang punggung kepalanya. “Dia memahami anatomi dengan sangat baik.”
Faisal merinding karena dia mengetahui teori itu kemudian mengangguk. “Aku akan meninggalkan kalian berdua. Maafkan aku telah membuntutimu, Firdaus.”
“Tidak apa-apa. Kejadian bisa buruk dan kamu dapat menyelamatkanku.”
“Atau aku yang terbunuh jika dia mengarahkan tembakan itu kepadaku.” Firdaus gugup mendengar ucapan Faisal. “Namun hal itu tidak terjadi bukan?” Bripka Faisal tersenyum ketika melihat Firdaus lebih tenang kemudian pergi ke mobilnya.
“Sepertinya aku harus pulang juga.” Iptu Kuncoro pergi sambil melapor melalui telepon.
“Semoga kita bertemu lagi.” Idris melambaikan tangan.
Ketika Iptu Kuncoro dan Bripka Faisal pergi, Idris melanjutkan sambil terus melihat Bripka Faisal yang mengenakan seragam kemudian menarik kesimpulan, “Lihatlah kamu sekarang, Firdaus. Kamu sekarang sudah jadi polisi sedangkan aku bahkan tidak lulus MA. Aku yakin jika ibu tahu ini, dia akan marah besar.” Firdaus terlihat bingung. “Karena setahuku beliau di penjara, ya, aku akan pergi ke penjara untuk menemuinya.” Idris bersiap untuk pergi.
Firdaus menahannya dengan cara tidak melepas jabatan tangan Idris. “Kenapa kamu harus menghadapinya sendirian, ketika kita bisa melakukannya bersama?” Ucapan sama keluar puluhan tahun lalu, ketika Idris datang ke rumah Firdaus saat dia merayakan ulang tahunnya. Idris hanya tersenyum.
“Apakah kamu masih ingat bahwa kita sebenarnya bersaudara dan secara langsung dia juga ibuku?”
“Tentu. Sudah kubilang, itu satu-satunya yang kuingat.” Idris tersenyum meski masih memegang punggung kepalanya. “Kita akan bertemu ayah juga.” Idris membenarkan topinya sebelum pergi. “Ajun Komisaris Besar Polisi Purnawirawan, Abdul Hamid.”
Firdaus terdiam sejenak. “Kak….”
“Maksudmu aku kan? Konsistenlah memanggilku Idris,” sahut Idris bercanda. “Ya, apa?” Idris serius sekarang.
“Aku tidak mau kehilanganmu lagi. Jadi kuputuskan akan tinggal di rumahmu, rumahku juga seharusnya.”
Idris memegang kepalanya. “Bagaimana dengan ayahmu?”
“Dia punya istri baru dengan anaknya. Intinya, dia punya keluarga baru.”
“Baguslah.”
“Aku akan berpamitan untuk terakhir kalinya dan mengambil papan tulis ibuku itu. Aku akan meletakkannya di tempat kesukaanmu itu dan menggunakannya suatu hari nanti.”
“Oh ya, satu lagi. Jika apa yang dikatakan Dokter Ika Pratiwi benar, kamu punya satu barang yang sangat membantu.” Firdaus mengeluarkan buku kecil dari sakunya. “Buku harian kita.”