arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

“Iptu Nara.” Kombes Pol Ahmad Isa memanggil. Wajahnya terlihat sedih. “Divisi Provos menyatakan kamu telah menyalahgunakan posisi sebagai Kepala Unit Penyelidikan Satuan Reserse Narkoba. Dengan bukti yang cukup dan setelah pertimbangan, kamu dikembalikan ke Polresta Sukamawar dan diturunkan menjadi anggota biasa.”

“Segeralah berkemas karena tugasmu di sana akan dimulai kembali hari ini.” Brigadir Polisi Kurniawan tersenyum kecil melihat hal itu.


Kepala SMP Pelita terlihat marah atas hal itu. Aipda Firdaus masih memandangnya. Dia memasuki mobilnya dan pergi. Aipda Firdaus tersenyum menyeringai.

“Aku akan membantumu membersihkan ini.”

“Tidak usah. Lagipula aku akan pergi ke Sukamawar setelah UN nanti. Jadi, aku akan menyingkirkannya saja agar tidak menyusahkan jalanku di rumah.”

“Tunggu, kenapa Sukamawar?”

“Ibuku selalu berbicara tentang Kota Sukamawar. Jadi aku yakin, dia pasti pergi ke sana.” Haris memandang Aipda Firdaus. “Saya sangat berterima kasih atas bantuannya. Saya berharap apa yang terjadi di SMP tidak membuat saya ditolak di MA Sukamawar nanti.”

“Di akhir pekan, aku berencana pergi ke sana. Paling tidak sampai perbatasan itu, karena berdasar pencarian sebelumnya, aku harus melalui Kota Harapan dan Kota Dingin terlebih dahulu.”

Ponsel Aipda Firdaus tiba-tiba berdering namun itu hanya pesan. Dia membacanya sebentar dan berpamitan dengan Haris karena dia akan kembal ke kantor.


“Aiptu Kurniawan.” Dia terkejut mendengar namanya. “Kontrakmu dengan Dinas Perhubungan atas penyelidikan lalu lintas telah berakhir.” Dia terlihat lega sejenak.

“Saatnya kamu untuk pindah jabatan, dan kembali ke Sukamawar sebagai anggota Satuan Samapta Bhayangkara sebagaimana dulu.” Aiptu Kurniawan terkejut dan berdiri karena tidak terima.

“Anda tidak bisa memindahkan saya begitu saja.”

“Itu bukan keinginanku, tapi langsung dari Polresta Sukamawar.” Kombes Pol Ahmad Isa memandang serius. Wibawanya sangat terasa sehingga membuat kantor menjadi sunyi. “Bahkan seseorang akan menjemputmu nanti.”

“Tapi bersyukurlah, itu bukan hari ini, tapi tiga hari lagi. Tunaikan tugas terakhirmu dengan baik di sini. Bantu Ipda Marwan menyelidiki mobil bak terbuka yang membawa komputer di Jalan Sukaramah itu.” Aiptu Kurniawan sangat terkejut atas hal itu.

“Ada apa? Bukankah kamu seharusnya di ruanganmu dan melihat kejadian itu? Ke mana memangnya kamu?” Kombes Pol Ahmad Isa berjalan mendekat. “Nampaknya mobil bak terbuka itu milik seseorang yang kukenal.” Aiptu Kurniawan terlihat gemetar dan duduk perlahan. Kombes Pol Ahmad Isa hanya tersenyum kecil dan berjalan kembali ke ruangannya.


“Ada apa?” tanya Aipda Firdaus.

“Divisi Provos mengetahui bahwa kamu akhir-akhir ini menghabiskan waktu dengan Haris yang sempat menjadi tersangka pada beberapa kasus.”

“Aku menghukummu dengan diskors selama sepekan.” Aipda Firdaus kebingungan dan agak marah. Dia berjalan menuju Kombes Pol Ahmad Isa dengan mengepal tangannya.

Bripka Faisal menyadari hal itu dan menahannya. “Biarkan aku bicara dengan beliau.” Aipda Firdaus dibiarkan memasuki ruangan itu dan dia menutup pintunya. Pembicaraan itu hanya berlangsung lima menit.

Aipda Firdaus kemudian pergi. “Sampai jumpa semuanya.”

Bripka Faisal merasa ada hal yang janggal. Dia pun turut masuk ruangan untuk berbicara. “Aku meminta izin Anda untuk memantau Firdaus. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.” Kombes Pol Ahmad Isa tersenyum kecil kemudian mengangguk.


“Ada hal yang perlu diselesaikan lagi?” sambut Irsyad ketika Firdaus tiba di rumah.

“Tidak. Aku diskors selama sepekan.” Irsyad terlihat turut bersedih atas hal itu. Dia kemudian menyiapkan makanan.

“Duduklah.” Irsyad kemudian akan pergi.

“Ayah.”

Irsyad menghentikan jalannya. “Ya?”

“Jadi selama ini, ayah bekerja di Kota Cahaya? Dan berkenalan dengan seorang wanita.”

Irsyad cukup terkejut atas ucapan itu. “Aku setia dengan ib—istriku sampai kematiannya”. Firdaus yakin Irsyad akan mengucapkan kata ‘ibumu’ namun memotongnya karena dia sudah tahu faktanya.

“Tapi wanita itu… Apakah dia ada di rumah?”

Irsyad menghela napas. “Dia akan tiba sebentar lagi.” Dia pun memandang Firdaus yang belum makan namun masih memandang. “Sudah kuduga kamu akan mengetahuinya. Kamu memang anak yang hebat, Firdaus. Tidak salah kami memilihmu untuk menjadi bagian dari keluarga.”

Firdaus hampir tersedak saat mencoba meminum air karena terkejut. “Bukankah aku sudah membawa banyak kesialan?” gumamnya.


“Firdaus, perkenalkan, calon istriku.” Irsyad terlihat malu saat memperkenalkannya. “Namanya Rahmah.”

“Salam kenal Mbak Rahmah. Saya Firdaus.”

“Jadi, ini Firdaus. Di mana Idris?” Firdaus menunduk dan tidak menjawabnya. Tindakan yang sama terus dilakukannya setiap kali orang menanyakan hal tersebut. Pada waktu yang bersamaan, Firdaus melihat seseorang berdiri di depan rumahnya. Dia sontak semangat kemudian berdiri dan menyambutnya.

“Tidak kusangka kamu berhasil sampai ke rumah ini. Tidak hanya di perbatasan sesuai rencanamu.” Haris terlihat terkejut. Rahmah juga terkejut melihatnya.

“Apakah ini anak Anda?” tanya Firdaus memandang Rahmah. Dia hanya mengangguk.

Firdaus kemudian mendekati Irsyad. Dia memegang kedua tangannya. “Ayah sekarang memiliki keluarga baru. Maka, izinkan aku pergi dan tinggal bersama Idris selama sisa hidupku.” Firdaus terlihat akan pergi.

“Tapi, Firdaus—” Irsyad menahannya.

“Kemampuannya juga bagus. Percayalah padaku. Dia sudah memecahkan beberapa kasus dan sempat membantu kami. Buktinya dia bisa menemukan ibunya.” Firdaus tersenyum kecil. Dia bersiap untuk pergi.

“Oh ya. Aku akan mengambil papan tulis milik ibu dan membawanya ke rumah. Idris—kami akan senang jika memilikinya.”

Selama Firdaus dan Irsyad berbicara, Rahmah membisiki Haris. Haris terkejut dan berbicara sambil memandang Firdaus. “Berarti, memang kamu orangnya. Detektif Sekolahan. Kenapa aku tidak sadar?” Haris terlihat kesal dengan dirinya sendiri. “Mana temanmu itu? Aku ingin menemuinya! Haris terlihat bersemangat.

Firdaus berpikir sejenak. “Baiklah, aku akan membawamu ke depan rumahnya.”


“Aku lebih sering berkunjung ke rumahnya setelah mengetahui bahwa dia jurusan Agama.” Firdaus berbicara sambil memandang rumah itu. “Oh ya, bagaimana UN? Apakah baik-baik saja dan tetap dilaksanakan.”

“Mereka mengubah sistemnya sehingga bisa melalui ponsel. Komputer pun tidak digunakan sama sekali.” Haris kemudian tertawa kecil.

“Kenapa tertawa?”

“Aku dipinjamkan ponsel oleh Dian setelah bercerita bahwa aku tidak memilikinya. Aku masih ingat ketika kesusahan belajar.” Haris memandang Firdaus. “Sadarkah Anda saya tidak memiliki ponsel?”

“Tapi bagaimana kamu tahu alamat rumah itu?”

“Dian. Dia membantuku mencarinya.” Firdaus dapat menyadari bahwa Haris sangat dekat dengan Dian sekarang. “Seandainya Riza belum meninggal, mungkin aku tetap minta bantuannya.” Haris pun terlihat murung.

Aiptu Kurniawan datang dengan wajah yang marah. Tangannya menyiapkan pistol untuk ditembakkan. Firdaus menyadari hal itu. “Pulanglah. Ibumu pasti mencarimu.” Firdaus menepuk bahu Haris.

“Bagaimana denganmu?”

“Jangan hiraukan aku.”

Haris terlihat sedih. “Aku hanya berharap kita bisa bertemu lagi.” Haris kemudian berlari dengan hati-hati.

Aiptu Kurniawan membuka. “Firdaus, kamu membiarkan Haris bebas.”

“Dia tidak pernah bersalah!” Firdaus mengucapkannya dengan keras dan mencoba merogoh sakunya. Dia baru ingat bahwa sekarang dia hanyalah warga biasa. Aiptu Kurniawan menodongkan pistol ke arah Firdaus dari kejauhan.

Firdaus terus mundur dan akhirnya terpojok. Dia tidak bisa kabur lagi sehingga hanya memejamkan mata dan berharap yang terbaik. Dor!

Komentar