arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

“Penganiayaan, penyanderaan, pembunuhan, pencurian. Aku berharap setelah ini tidak ada lagi kasus di daerah itu.” Bripka Faisal terlihat kesal. “Mana ke sekolah itu lagi.”

“Jika kamu tidak ingin ikut kali ini, tidak apa.” Aipda Firdaus memberi solusi. “Lagipula, nanti aku akan langsung mencari Haris dan melihat kemampuannya. Jika dia memang hebat, dia akan mengetahui siapa pelakunya.”


Pembicaraan itu terjadi di ruang guru. “Jadi, sebagaimana yang telah kami laporkan sebelumnya, semua komputer kami yang berada di kedua ruang komputer menghilang. Guru yang menjaga ruang multimedia juga mengaku kehilangan komputer yang digunakan di sana. Kami ingin Anda menyelidiki hal ini dan menyelesaikannya segera karena kami akan menggunakannya untuk UN yang dilaksanakan dalam hitungan hari.”

“Kami akan usahakan. Mohon arahkan kami ke ruangan yang dimaksud.” Aipda Firdaus hanya berdiri.

“Kalian datang tepat di tengah rapat kami yang belum ditutup. Pembahasan kami belum selesai, jadi saya akan menyerahkan denah sekolah ini saja. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.”

Aipda Firdaus tersenyum kecil sambil menerima denah itu. Dia pun keluar dari sana dan terkejut melihat seseorang menahan tangannya. Remaja itu meletakkan telunjuknya di depan mulut.

“Haris, kenapa kamu mengintip?” tanya Aipda Firdaus dengan suara pelan, seolah memahami maksudnya.

“Dari mana aku harus menceritakannya? Tapi jangan di sini.” Haris terlihat ketakutan dengan sambil melihat sekitar.

“Kenapa memangnya?” tanya Aipda Firdaus sambil menjauh dari pandangan.

“Seharusnya sekarang pelajaran Bahasa Inggris yang diajarkan Bapak Firman. Beliau pun melarang siswa di kelasnya keluar. Tapi aku sangat penasaran apa yang terjadi karena tidak biasanya rapat secara tiba-tiba.” Mereka terus berjalan. “Ketika mendengar komputer mereka dicuri, aku langsung memeriksanya dan menemukan ini.” Haris menyerahkan dua lembar kertas yang robek. Dia berhenti di depan sebuah tiang dan menyatukan keduanya. Kertas itu menunjukkan tulisan “Hentikan semuanya!” Mereka saling memandang.

“Kamu mengenal tulisan ini?”

Pada waktu yang bertepatan, seseorang melihat Haris. “Haris, apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. Dia menunduk kepada Aipda Firdaus.

“Dian!” Haris mengenalnya. “Kamu tahu ini tulisan siapa?”

“Sepertinya Said, tapi aku tidak yakin. Coba lihat suratnya di atas meja ruang kelas.” Dian terlihat tergesa-gesa. “Aku harus segera ke kamar mandi.”

“Terima kasih atas bantuannya.” Dia menunduk sekali lagi kepada Aipda Firdaus dan langsung masuk ke kamar mandi.

“Surat?” tanya Aipda Firdaus bingung.

“Said libur hari ini. Rumahnya dekat dengan Dian jadi mungkin dia menitipkannya.”

“Bandingkan dengan surat itu, sementara aku akan melihat TKP terlebih dahulu.” Aipda Firdaus kemudian berjalan mengarah ke ruang komputer.


Aipda Firdaus tidak percaya apa yang dia lihat di ruang komputer itu. Kabel-kabel sangat berantakan. Dari monitor, papan ketik dan CPU, semuanya ludes tercuri. Dia pun melapor untuk meminta bantuan dari laboratorium forensik maupun INAFIS untuk memeriksa apakah ada sidik jari yang tertinggal di sana.

Saat keluar dari ruangan komputer, dia dikejutkan oleh Haris yang sudah menunggu. “Itu bukan tulisan Said. Said benar-benar sakit saat Dian bercerita menjenguknya, dan ibunyalah yang menitipkan surat. Berdasar cerita Dian, itu tulisan ibunya Said jadi aku tidak bisa membuktikan.”

Haris mengintip ke dalam. “Anda sendirian? Mana teman Anda?”

“Dia tidak ikut hari ini namun aku sudah meminta bantuan untuk menyelidiki ruangan ini.” Aipda Firdaus membawa garis polisi saat itu dan membentangkannya di pintu ruangan.

“Aku sebenarnya tidak ingin berpikiran seperti ini, namun Said bisa saja tidak benar-benar sakit. Tapi, bagaimana dia melakukannya, dan kapan? Seandainya memang dia, dimana dia menyembunyikan?” Haris terlihat kebingungan kali ini.

“Apakah ada motif tertentu jika memang dia pelakunya?”

“UN secara daring akan dilaksanakan lusa. Aku mendengar dia selalu mengeluh untuk tidak ingin mengikutinya. Bisa saja dia ingin menghentikan semua dengan cara itu. Tapi itu terdengar tidak mungkin.”

Tepat di saat tim INAFIS datang ke SMP Pelita, Aipda Firdaus mendapat panggilan di telepon. Haris terlihat penasaran namun Aipda Firdaus tidak mengizinkan dia mendengarnya. Aipda Firdaus terlihat terkejut dan langsung pergi ke mobilnya. Haris yang kebingungan mengikutinya.

“Jangan ikut!” perintah Aipda Firdaus sambil menjauhkan telepon dari telinganya.

Dia menyalakan mobilnya dan bergegas keluar sekolah. Tujuannya adalah jalan raya. Kecepatan yang agak tinggi menuju sebuah rumah. Rumah yang bersebelahan dengan TKP pembunuhan beberapa hari lalu.

“Berhenti!” teriak Aipda Firdaus sambil menodongkan pistolnya ke arah rumah itu dari seberang.


“Firdaus. Ada sebuah mobil bak terbuka singgah di depan sebuah rumah.” Itu dari Kombes Pol Ahmad Isa. Dia kemudian menyebutkan alamatnya. Aipda Firdaus terkejut ketika ingat bahwa itu adalah rumah Haris. “Oh ya, aku tidak tahu apa tujuanmu menanyakan keluarga Kurniawan kemarin, tapi dia tidak ada di ruangan ini.”

“Kenapa kamu tidak bilang juga menyelidiki orang ini? Kami sudah delapan tahun menyelidiki siapa oknum yang menjadi rumor di Polresta Sukamawar, dan ternyata masih bersama kami di Polresta Cahaya.”

Aipda Firdaus kebingungan. “Dialah orangnya.”


Para pelaku berbaju hitam itu malah menutup pintu dan kabur entah kemana setelah mengangkut sesuatu ke dalam rumah Haris. Aipda Firdaus kemudian menyeberang setelah jalanan agak sepi. Dia pun turun dari mobilnya.

Pintu rumah Haris terlihat telah didobrak paksa oleh mereka. Saat Aipda Firdaus masuk, dia terkejut melihat monitor-monitor itu dilempar begitu saja ke dalam rumah Haris. Kaca untuk layarnya retak. Begitu pula papan ketik yang tombolnya berhamburan. CPU nampaknya terlalu berat sehingga hanya mereka rebahkan.

Aipda Firdaus memotret hal itu dan mengirimkannya kepada Kombes Pol dan memberi pesan, “Maaf atas keterlambatannya.”

“Rumahku….” Haris mengejutkan Aipda Firdaus. Dia kebingungan setelah melihat barang-barang itu.

“Kenapa kamu pulang?” tanya Aipda Firdaus.

“Mereka memutuskan memulangkan saja para siswanya dan meminta kami yang berada di kelas sembilan untuk belajar.” Dia kembali memandang rumahnya. “Apakah aku akan dijebak lagi?”

Kepala SMP Pelita tiba di depan rumah Haris. “Haris!” Dia kemudian keluar dari mobilnya yang parkir di belakang mobil Aipda Firdaus.

“Aku mendapat laporan bahwa komputer itu ada di sini.” Kepala SMP Pelita melihat isi rumah Haris dan sangat terkejut. “Dan ternyata itu benar. Apakah kamu bekerja sama dengan oknum polisi ini untuk melakukan tindakan ini. Kamu harus ganti rugi karena barang bukti ditemukan di rumahmu.”

“Sudah kuduga,” ucap Haris kesal. Dia hanya tersenyum menyeringai.

Aipda Firdaus terlihat lebih kesal lagi. “Oknum….” Dia tiba-tiba muncul ide.

“Dari mana Anda tahu saya oknum?” Haris memandang Aipda Firdaus terkejut. Kepala SMP Pelita terdiam.

“Biar saya tebak. Kurniawan? Anggota kepolisian yang pangkatnya Brigadir Polisi?”Aipda Firdaus mendekati Kepala SMP Pelita dan memandangnya serius. “Saya berjanji, dialah yang akan mengganti rugi semua ini, tepat setelah kematiannya nanti.”

Komentar