arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Haris diundang oleh Akbar untuk mendatangi sebuah hotel dengan biaya ditanggung olehnya. “Hotel ini begitu megah, ya?” ucap Haris. Dia tidak percaya bahwa Akbar akan membayar semua ini.

“Iya, sepertinya bakalan betah disini,” sahut Akbar.

Tiba-tiba, terdengar teriakan.

“Hah?! Suara apa itu?” tanya Akbar kepada Haris dengan agak ketakutan.

“Lebih baik kita ke sumber suara itu,” jawab Haris dengan percaya diri.

Mereka sangat kaget saat tiba disana. Sudah ada mayat tergeletak bersimbah darah, di sampingnya ada seorang wanita menutup mulutnya tanda ketakutan, dan ada seorang pria bertubuh kecil.

“Gini aja, pelakunya hanya ada di antara mereka berdua. Kamu nanya yang cewek, aku nanya dia,” kata Haris kepada Akbar sambil menengok pria bertubuh kecil itu.

“Tapi aku udah punya pacar, Ris. Pengawasannya ketat lagi, kayak security mall. Jadi kita bertukar aja,” sahut Akbar dengan cemasnya yang bertambah walau sedikit bercanda.

“Pertiwi?” Akbar hanya tersipu malu ketika Haris berhasil menebak nama pacarnya. “Baiklah,” kata Haris dengan agak kesal.

Wanita itu tidak mau menjawab pertanyaan Haris sedikit pun, sementara Akbar hanya menanyakan hal-hal yang tidak jelas kepada Amin. Haris semakin kesal atas hal itu sehingga berpindah kepada Amin sementara Akbar mundur.

“Kamu mengenal wanita itu?” tanya Haris.

“Dia seorang pekerja hotel, sama sepertiku.”

“Kecil-kecil jadi pegawai hotel.”

Plak! Amin menampar Haris.

“Kamu kira itu hal yang tidak pantas?”

Amin nampaknya sangat marah kepada Haris dan mulai mundur sampai berbelok ke arah koridor lain. Bahu kirinya tidak sengaja menabrak dinding ketika berlari atas kemarahannya. Haris berpaling untuk melihat Akbar dan ternyata dia menghilang bersama wanita itu.

Haris kemudian berjalan untuk mencari Akbar dan wanita itu namun tidak dapat menemukannya. Dia memilih untuk kembali dan mencari Amin karena sudah tahu ke koridor mana mengarah.

Dia menemukan Amin memegang sesuatu di tangannya. “Maafkan atas hal tadi.

“Ya, tidak apa-apa. Seandainya kamu tidak melakukannya aku akan mengatakannya langsung di hadapan temanmu itu.”

“Mengatakan apa?”

“Wanita itu adalah pacarnya dan ekspresi terkejutnya ketika melihat mayat itu hanya dibuat-buat.”

Haris tidak menyangka atas hal itu. “Hm, kamu baru saja memberitahuku siapa pelakunya.”


“Terima kasih telah berkumpul di ruangan ini. Telah terjadi pembunuhan di koridor sebelah kanan,” ucap Haris. Pengunjung lain nampak terkejut atas hal ini.

“Korban adalah pegawai hotel senior disini, dan pelakunya ada di antara kita.” Pengunjung semakin terkejut dan beberapa dari mereka mulai ketakutan.

“Salah satu orang yang kucurigai malah memberitahukannya. Dia adalah Amin.”

“Kok Amin? Bagaimana orang sekecil itu bisa membunuh orang?” Para pegawai hotel nampak terkejut atas hal itu.

“Sekarang, orang yang seperti ini harus dimusnahkan.”

Di tangan Haris, terdapat sebuah pistol dan tanpa ragu dia menembakkannya kepada Amin. Amin jatuh dan darah mulai mengalir.

“Hore!” teriak seorang wanita. Wanita itu adalah pegawai hotel yang ada di TKP.

“Amin hanyalah tersangka, namun pelakunya adalah kau, Pacar Akbar!”

“Apa? Bagaimana mungkin pacarku membunuh pegawai hotel disini.” Rupanya Akbar juga ada di sana.

“Reaksi dia sudah menjelaskan semua. Bagaimana bisa dia berteriak hore setelah pembunuhan seseorang?” Haris sangat serius saat itu. “Sebagai tambahan, di TKP, hanya ada dua orang di sana. Amin dan dia. Amin sudah bersumpah bahwa tidak melakukannya, berarti hanya ada satu orang pelaku.” Haris melempar pistol ke arah Amin.

Wanita itu mengakui perbuatannya dan polisi tiba di waktu yang tepat sehingga dia diborgol dan dibawa ke dalam mobil. Pengunjung yang berkumpul mulai bubar sementara Akbar menghilang entah kemana.

Tersisa Haris dan Amin di lobi. Amin hanya berpura-pura mati, menyiapkan saus tomat yang dijadikan darah palsu kemudian bangun setelah orang lain pergi. “Ada beberapa hal yang harus kamu ketahui, Haris. Korban bukan hanya pegawai hotel, tapi istriku.” Ucapan Amin itu mengejutkan Haris. “Sebenarnya usiaku dua puluh tahun, tubuh dan suaraku sepertinya membuatmu berpikiran bahwa aku lebih muda.”

“Kedua, kemarin istriku curhat kepadaku. Dia berkata bahwa ada yang mengganggu dan mengancamnya. Ternyata itu Pacar Akbar.” Haris hanya terdiam. “Aku benar-benar bingung, apa salah istriku? Dia hanya mencoba baik kepada setiap tamu dan seseorang cemburu buta?”

Haris bersiap untuk pergi, mengurungkan niatnya untuk menginap di hotel itu apalagi setelah melihat Akbar yang pergi entah ke mana. “Mas Amin, semoga kita bisa bertemu lagi.” Haris memandang Amin dengan mata sedih, seolah tidak ingin pergi meninggalkannya namun harus karena tidak ingin mendapat masalah baru.


“Kamu menggunakan sudut pandang ketiga dalam cerita ini. Kenapa tidak sudut pandang pertama saja?”

“Aku ingin memberi kesan bahwa seorang siswa yang menulis ini, seolah dia yang melihat kejadian itu, agar lebih bisa dipercaya. Ternyata itu malah membuat sebaliknya bukan? Rasanya, aku lebih percaya diri menceritakan ini jika menggunakan sudut pandang ketiga.”

Firdaus mengangguk, seolah memahaminya. “Di sini kamu hanya menyebutnya sebagai Pacar Akbar, bukan namanya. Ada apa?”

“Aku tidak ingin menyebut namanya di hari itu karena tidak ingin terlalu melukainya, tapi aku masih ingat Pertiwi terlihat sangat berbeda dengan yang sekarang. Pikiran negatif ini, aku ingin menghilangkannya. Dia seperti tidak ingin dikenal dan benar-benar mengubah sifatnya.”

Firdaus terlihat berpikir. Dia masih tidak percaya Pertiwi pernah melakukan sebuah pembunuhan. “Jika Guru Bahasa Indonesia itu memang ibunya Pertiwi, rasanya wajar beliau tidak percaya bahwa anaknya melakukan pembunuhan dan menganggapmu membuat-buat ini. Karena melibatkan hal pribadi bagi beliau, mungkin kekesalanlah yang membuat nilaimu dikurangi dari seharusnya.”

“Berdasarkan penilaianku, kamu adalah orang yang cerdas, Haris. Tingkah lakumu di ruang interogasi kemarin, kemudian hari ini, kamu nampaknya sangat mengetahui pekerjaan ini. Kamu adalah anak sekolahan, namun juga detektif. Aku akan memanggilmu Detektif Sekolahan.”

“Jangan!” Haris memandang Firdaus serius. “Panggilan itu hanya untuk dua remaja Sukamawar yang diceritakan ibuku. Mereka diceritakan tidak mau mengakuinya, namun pantas mendapatkannya.”

“Panggil aku Haris saja, sebagaimana biasa.” Haris terlihat sangat memohon.

“Kamu sepertinya penggemar berat mereka,” ucap Firdaus tersenyum kecil. Haris tertunduk malu.

Suasana hening sesaat. “Tunggu, jika Pertiwi masih berada di sekolah sekarang, berarti dia tidak dihukum?”

“Sempat berada di DPO namun diputuskan untuk tidak dihukum sama sekali dengan alasan masih di bawah umur. Lagipula, dengan penampilan barunya, tidak banyak yang bisa mengenal dan menduga bahwa dia pernah membunuh.”

Tidak lama kemudian, ponsel Firdaus berdering. Itu dari Kombes Pol Ahmad Isa. Firdaus pun menjawabnya. Beliau memerintahkan Firdaus untuk tidak berlama-lama dan kembali ke kantor segera.

“Siapa itu?” tanya Haris penasaran.

“Atasan. Beliau menyuruhku ke kantor.” Firdaus menghela napas. “Aku rindu menjadi warga biasa, bertemu dengan orang lain dan berkenalan. Terutama bersama—”

“Teman?” Haris memotong.

“Kemampuan induksimu sangat bagus. Semoga kita bisa bertemu lagi, dan bukan kasus tentunya.”


Aipda Firdaus berkendara sendiri dengan mobilnya setelah menyuruh Bripka Faisal untuk membawa dua pelaku pembunuhan sebelumnya ke kantor. Selama perjalanan, dia sempat berpikir, “Apakah itu alasan ayah keluar dari kepolisian? Mencoba untuk menghabiskan waktu dengan kami sebelum kepergiannya yang sesungguhnya?”


Komentar