arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

“Sudah tiga kasus termasuk yang satu ini di Jalan Sukaramah itu.” Aipda Firdaus terlihat mulai kesal.

“Penganiayaan, penyanderaan, dan sekarang pembunuhan,” sahut Bripka Faisal. Dia hanya memandang keluar jendela. Sesekali dia juga memandang Aipda Firdaus dan jendela di sampingnya.

“Di dekat sini, ada toko alat-alat elektronik,” ucap Bripka Faisal seolah menunjuk dengan matanya. “Toko itu katanya selalu buka dan hanya tutup jika pemiliknya pergi.”

“Aku penasaran apakah mereka menjual AC atau kipas angin. Di kantor agak panas dan aku bersyukur bisa keluar bersamamu.” Aipda Firdaus akhirnya tersenyum kecil mendengarnya.


“Nampaknya kita lebih dulu dari ambulans.” Bripka Faisal mengucapkannya saat keluar dari mobil dan menutup pintu. Seorang pria dewasa yang terlihat menunggu mereka pergi ke belakang rumah. “Ini kan alamatnya?” tanya Bripka Faisal memastikan.

Aipda Firdaus yang melihat dari tadi langsung masuk pintu depan yang tidak terkunci. Kesan pertama yang mereka dapat adalah rumah itu terasa sangat panas. Dia memandang ke sekitar dan menyadari rumah ini sangat minim ventilasi. Mereka terkejut setelah melihat seorang remaja berdiri dekat mayat yang tertindih oleh kipas angin.

“Haris, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Bripka Faisal.

“Aku ingin mengunjungi temanku ini, Riza karena telah berjanji di sekolah.” Haris kemudian teringat sesuatu. “Ingatkah masih kalian dengan teman yang sempat berbicara denganku? Itu Riza.” Aipda Firdaus mengangguk karena dialah yang melihat.

“Pagi tadi di sekolah, aku memberitahu Riza bahwa akan mengunjungi rumahnya untuk membicarakan UN yang akan kami hadapi. Ketika kubuka pintu depan, itu terkunci, tapi pintu belakang tidak jadi aku jalan sana. Posisi Riza sama sekali tidak berubah sejak aku tiba di sini dan baru saja, jika kalian terlambat sedikit, aku akan mengangkat kipas angin yang menimpanya ini dan mengembalikannya ke atas.”

“Tunggu, terkunci? Kenapa kami baru saja bisa masuk?” Aipda Firdaus bertanya.

“Tentu saja bisa. Aku yang membukakan untuk kalian setelah memaksa ayah Riza untuk menelepon, sebelum fokus memeriksa Riza.” Haris menoleh ke jendela sebentar. “Entah kenapa ayah Riza masuk dan keluar melalui pintu belakang,” ucap Haris dengan suara pelan.

“Oh ya, dimana orang tuanya?” tanya Bripka Faisal lagi.

“Orang tua? Ibunya sudah lama meninggal dan sepertinya ayahnya masih berada di luar setelah kupaksa untuk menelepon kalian.” Haris memandang ke luar jendela dari tempatnya berdiri. “Sebagai anak yang terlahir dari ibu yang tunanetra, Riza menurutku adalah orang yang paling beruntung, berprestasi dan memiliki sikap baik lainnya yang bisa dibanggakan.”

Tepat di saat itu, ayah Riza memasuki rumah dari pintu belakang. “Ke mana saja Anda sebelum saya berada di sini?” Pertanyaan yang mengejutkan itu diucapkan oleh Haris. Aipda Firdaus kebingungan mendengarnya.

“Anda tidak ada di rumah saat saya menemukan Riza, berarti pembunuhan dilakukan saat Anda pergi.” Haris terlihat begitu serius. “Hm, saya curiga dengan Mbak Yuli.”

“Bisakah Anda memanggilkan Mbak Yuli? Suruh beliau untuk ke sini.” Haris memandang Bripka Faisal. “Rumah beliau di sebelah sini kok, yang beton itu,” tunjuk Haris.

“Sambil ke sana, melaporlah. Kita perlu unit tambahan,” ucap Aipda Firdaus.


“Nampaknya Anda lama karena baru mandi kan?” sambut Haris kepada Yuli yang baru datang. “Ada dua alasan Anda mandi. Satu, Anda berada di rumah yang panas ini lebih lama dari yang Anda duga. Dua, darah Riza terciprat ke tubuh Anda.”

“Hal itu terjadi ketika Anda sangat berkeringat dan jatuh ke tubuh Riza. Anda yang tadinya berhati-hati membunuhnya, kemudian muncul kekhawatiran berlebih takut tim forensik bisa mengetahui. Anda mencoba menyalakan kipas angin itu.”

“Untuk membuktikannya,” Haris kemudian memandang Aipda Firdaus dan Bripka Faisal, “bisakah salah satu dari kalian menjauhkan Riza sebentar dari sini? Satunya lagi memasang kembali kipas angin ini.”

Bripka Faisal yang posturnya lebih tinggi memasangkan kipas angin setelah memasang sarung tangan. Hal itu membuat tugas Aipda Firdaus jelas, menjauhkan Riza sebentar. Kipas angin itu terlihat begitu mudah untuk dipasang.

“Lihatlah sakelar ini. Jika Anda menyalakan salah satunya,” Haris memandang langit-langit rumah, “itu untuk lampu. Tapi, jika keduanya dinyalakan….” Kipas angin itu menyala namun bergemuruh tidak karuan dan akhirnya jatuh tepat pada posisi Riza ditemukan. “Hal itu karena keduanya tidak bisa menyala bersamaan. Jika tidak, hal ini pasti terjadi.”

“Ya, itu menyebabkan darah Riza terciprat ke arah Mbak Yuli.” Haris memandang Ayah Riza dan Yuli dengan mata yang marah. “Intinya? Ayah Riza, Mbak Yuli. Kalian bersekongkol untuk melakukan pembunuhan ini.”

“Baiklah, aku mengaku melakukannya….” Yuli menunduk mengucapkannya. Ayah Riza turut tunduk. Bripka Faisal agak terkejut namun Haris tersenyum kecil seolah menduganya. Bripka Faisal pun memborgol tangan mereka.

Ambulans datang di saat yang tepat. Karena tubuh Riza yang masih di pangkuan Aipda Firdaus, dialah yang memasukkannya ke mobil. Mobil patroli tiba pada waktu yang sama. Aipda Firdaus selesai menyerahkan mayat Riza dan dapat melihat Haris memandang mereka kemudian pergi menjauh sambil menunduk.

“Faisal,” panggil Aipda Firdaus. Bripka Faisal pun membawa Yuli keluar lebih dahulu.

“Kamu bawa dua orang ini, ikut dengan mereka.”

“Kamu?” tanya Bripka Faisal.

“Aku tinggal di sini. Ada hal lain yang ingin kuurus.” Bripka Faisal kebingungan namun dia memutuskan untuk tinggal di mobil.


“Kira-kira, apa yang membuat Riza dibunuh?”

“Riza memiliki hobi menyanyi. Dia cukup sering menyanyi dan juga terdengar sampai ke rumahku. Sepertinya mereka membenci nyanyiannya padahal menurutku suaranya tidak seburuk itu.”

“Aku bisa melihat wajahmu sangat marah ketika menduga bahwa Riza dibunuh dan ternyata terbukti. Apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan dengan Riza?” tanya Firdaus penasaran.

“Sebagaimana yang telah kusampaikan sebelumnya, aku berencana membicarakan tentang UN. Materi Bahasa Indonesia adalah hal yang paling kukhawatirkan. Aku ingin meminta sarannya sebagai siswa yang terkenal jujur, bagaimana mengerjakannya nanti. Bagaimana jika yang mereka katakan benar? Seandainya nilaiku lebih tinggi dari Pertiwi, apakah nilaiku benar-benar dikurangi?”

“Aku ingin tahu apa yang memulai semua ini.”

“Tugas menulis cerita pendek.”

“Cerita seperti apa yang kau tulis?”

“Itu cerita nyata yang kualami ketika pertama kalinya ke hotel. Akbar yang mengundangku untuk ke hotel itu. Setelah berdiskusi dengannya bahwa aku akan menulis cerita itu, Akbar bahkan setuju tanpa memerlukan perdebatan.”

“Bolehkah aku membacanya?”

Haris pergi menuju meja belajarnya dan mengambil sebuah buku tulis kemudian membukakan pada halaman tertentu. Firdaus pun dipersilahkan duduk kemudian. Dia terus membacanya dan berhenti tiba-tiba. “Tunggu, berarti Akbar—”

“Ya, itu benar. Akbarlah yang sebenarnya memiliki hubungan dengan Pertiwi. Namun aku yakin akibat kejadian itu, Pertiwi meninggalkannya dan mulai dengan Agung.”

“Aku berterima kasih kepada Akbar dan Amin sang pegawai hotel yang sangat baik denganku di hari itu. Tapi berbeda dengan guru Bahasa Indonesia, aku bersikeras itu cerita nyata namun beliau meragukan kebenarannya dan pada akhirnya memberi nilai sesuai yang Anda lihat.”

“Oh ya, karena kamu menyebutkan Agung, seberapa jauh kamu mengenalnya? Seperti, apakah ayahnya seorang aparat polisi?”

“Dia adalah orang yang sangat tertutup. Jadi, tidak ada selain nama ayahnya dari panggilan teman-teman. Aku sama sekali tidak tahu profesi ayahnya.”

Firdaus hanya diam kemudian menutup bukunya dan memandang ke sekitar. “Di mana orang tuamu?”

“Ayahku meninggal beberapa hari sebelum Ibu Riza. Ibuku—” Haris menahan kesedihannya.

“Dia pergi meninggalkanku. Dugaan sementara, gara-gara kasus ini.” Haris memandang Firdaus. “Jika aku menebak, dia pergi ke Kota Sukamawar. Entah di mana letaknya itu, tapi aku yakin berada di daerah yang sama.”

“Kenapa kamu menebak Sukamawar? Kamu benar tentang kota itu berada di daerah yang sama dengan Kota Cahaya, tapi itu cukup jauh.”

“Ibuku tidak pernah berhenti menceritakan Sukamawar kepadaku. Satu hal yang paling kuingat adalah ada dua remaja yang terkenal memecahkan kasus di sana dan ibuku nampaknya akan menikahi ayah dari salah satu mereka. Aku belum tahu siapa nama mereka, tapi aku penasaran bagaimana kabar mereka sekarang.”


Komentar