“Letakkan pisau Anda!” Bripka Faisal menodongkan pistolnya ke arah pelaku yang mengancam membunuh Akbar dengan meletakkan pisau dekat dengan lehernya. Tangan pelaku terlihat agak gemetar setelah mendengar perintah Bripka Faisal. Masyarakat yang mengerumuni, bersiap untuk memukuli pelaku jika dia melepas tangannya dari anak itu.
Namun tindakan Aipda Firdaus berbeda. Dia memecah kerumunan itu dan langsung mendekati pelaku dan duduk di dekatnya. “Bukankah ada yang ingin kamu bicarakan?”
Akbar berhasil dibebaskan. Dia mengaku kepada Bripka Faisal bahwa tiba-tiba disandera saat perjalanan pulang dan sempat berteriak. Saat itulah masyarakat mulai berkumpul.
Pelaku penyanderaan itu berhasil diamankan setelah diajak bicara oleh Aipda Firdaus. Masyarakat dibubarkan saat mereka membawa pelaku ke dalam mobil. Sikap Aipda Firdaus membuatnya lebih tenang.
“Siapa namamu?” tanya Bripka Faisal.
“Andi.” Aipda Firdaus terkejut mendengarnya. Bripka Faisal menyadari hal itu.
“Kenapa kamu terlihat terkejut?”
“Hanya saja … nama itu mirip dengan almarhum kakakku.” Aipda Firdaus terdengar murung mengucapkannya.
Bripka Faisal diam sebentar seraya berpikir. “Andri? Siswa MA Sukamawar yang menjadi pemenang Olimpiade di Jepang itu? Dia kakakmu?” Bripka Faisal terlihat kagum. “Aku mengaguminya. Turut berduka cita atas kepergiannya.”
“Kamu mengetahuinya?”
“Siapa yang tidak mengenal kakakmu di Sukamawar?”
“Kepergiannya maksudku. Kepala Sekolah bahkan tidak menyebutkan kematiannya saat upacara hari pertama sekolah.”
Bripka Faisal terdiam sejenak. “Aku menemukan buku alumni di perpustakaan, saat mencari buku untuk belajar biologi.” Dia mengucapkannya dengan cukup pelan.
“Oh, buku itu?” Aipda Firdaus menyadari maksudnya. “Lebih baik kita tidak melanjutkan pembicaraan itu.” Dia kemudian memandang spion atas mobil. “Orang ini bisa memanfaatkan hal ini dan menggangguku.” Suasana di mobil hening sesaat.
“Dari Kasus Haris, aku menyadari alangkah baiknya kita menanyakan langsung di mobil dibanding ruang interogasi.” Bripka Faisal memulai pembicaraan.
“Kenapa kamu melakukan penyanderaan itu?” Bripka Faisal memandang ke belakang.
“Aku disuruh.”
“Oleh siapa?”
“Aku tidak tahu. Itu hanya surel dan dia menjanjikan hadiah yang cukup besar jika aku berhasil.”
Aipda Firdaus memasuki ruangan Kombes Pol Ahmad Isa. “Ada apa, Firdaus?”
“Sudahkah Anda mengetahui dugaan bahwa Haris membawa narkotika di tasnya?”
“Ya.”
“Menurut Anda, mungkinkah anak seusianya membawa hal yang sama? Lagipula, untuk apa?”
“Aku juga memikirkan hal itu.”
Aipda Firdaus mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan video rekaman CCTV itu. Dia sempat mengunduh dan mentransfernya saat di rumah.
“Lihat tangan orang asing ini.” Aipda Firdaus menunjuknya sebentar. “Dia memasukkan barang itu ke dalam tas Haris.”
“Saat itulah penganiayaan yang menjadi kasus pertama baginya terjadi. Orang inilah yang memulai, Haris hanya membela dirinya. Jadi, bisakah dia dibebaskan?”
Bripka Faisal membawa Andri ke dalam ruang interogasi. Haris memandanginya dan berucap, “Maaf.” Bripka Faisal kebingungan mendengarnya.
“Tidak adakah ruang interogasi lain? Jika saya memang bersalah, bukankah saya seharusnya saya dipindahkan ke sel tahanan saat ini? Mana polisi wanita tadi? Apakah dia sudah menemukan bukti bahwa narkotika itu memang milik saya?” Haris terlihat sangat kesal sampai bertindak demikian.
“Apa yang terjadi?” tanya Aipda Firdaus.
“Mereka membicarakan tentang kasus pertama yang mereka hadapi,” Haris memandang Ipda Marwan yang masih ada di ruang interogasi, “dan dari pembicaraan itu, aku menyadari bahwa polisi wanita itu sering mengurusi narkotika sehingga memintanya untuk memeriksa barang ‘bawaanku’ itu.”
“Siapa ini?” tanya Haris saat Bripka Faisal membawa Andi mendekat.
“Orang yang menyandera temanmu, Akbar.”
“Oh…. Siapa yang menyuruhmu?” tanya Haris. “Akbar bukanlah orang yang mudah untuk disandera sampai memerlukan orang bayaran untuk melakukannya. Dan itu terbukti sekarang.”
“Aku tidak tahu. Itu hanya surel dan dia menjanjikan hadiah yang cukup besar jika aku berhasil.” Andi mengulang ucapan yang persis sama seperti di dalam mobil.
“Surel? Bisakah aku melihatnya?” Andri pun mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan surel itu.
Haris berdiri untuk melihat kemudian tertawa kecil dan sikapnya berubah menjadi serius. “Meski terlihat aneh seperti ini, kita bisa mengetahui siapa pelakunya, dari nama pengguna yang digunakan untuk mendaftar yakni k21rn91w1n. Angka itu nampaknya mewakili huruf vokal karena yang lain adalah konsonan, maka ubah angka itu jadi huruf vokal. Itu akan menjadi—”
“Kurniawan? Siapa orang ini? Ayahnya Agung?” tanya Haris kembali pada sikapnya sebelumnya. “Akhir-akhir ini, temanku Agung terlihat begitu kesal denganku. Sepertinya juga gara-gara nilai Bahasa Indonesia itu. Aku ingin mengatakan dia seperti memiliki hubungan dengan Pertiwi namun tidak ada bukti yang kuat selain dugaan dan aku tidak ingin meneruskannya.”
“Ayahnya Agung?” tanya Bripka Faisal.
“Budaya memanggil teman dengan nama ayahnya itu tidak akan pernah hilang, bahkan di tahun sekarang.” Haris kembali duduk. “Aku tidak ikut. Hanya mendengarkan.”
“Atau itu polisi—”
Iptu Nara memasuki ruang interogasi. “Kami sudah berkoordinasi dan kamu tidak terbukti memiliki narkotika ini. Meski ditemukan di dalam tasmu, tidak ada sidik jari yang cocok denganmu. Sayangnya, sidik jari yang lain pun tidak ada, tapi aku yakin, orang yang mengganggumu itulah yang memasukkan barang ini ke tas.”
“Akhirnya, ada yang paham juga. Seandainya itu memang milikku, dari mana juga aku membeli? Bukankah situs penjualan barang haram yang sempat heboh beberapa tahun lalu itu sudah tutup?” Haris melipat tangannya di depan dada. Iptu Nara terkejut mendengarnya. “Terlalu banyak hal dari Kota Sukamawar yang kudengar dari ibuku. Termasuk hal itu.”
“Baiklah, kamu bebas sekarang dan boleh pulang.”
“Jalan sendiri? Tidakkah Anda tahu berapa jauhnya menuju Jalan Sukaramah?” Haris terlihat sangat marah saat itu.
Aipda Firdaus hanya tersenyum. “Aku sangat ingin mengantarmu tapi tidak bisa sekarang, jadi aku akan menghubungi taksi saja. Tunggulah di depan kantor dengan Faisal dan naiki itu.” Aipda Firdaus memandang Faisal dan mengangguk.
“Anda terlalu berlebihan. Ojek pun sudah cukup.” Aipda Firdaus hanya tersenyum mendengarnya sementara Bripka Faisal bersiap untuk menemani Haris. Dia pun pergi keluar lebih dahulu dan nampak memasuki ruangan Kombes Pol lagi.
“Aku masih penarasan, kenapa polisi bernama Kurniawan itu begitu tertarik dengan tasku? Seolah-olah dia tahu bahwa ada barang itu di dalam tasku.” Haris hanya berbicara sendiri. Dia pun berdiri dan pergi bersama Bripka Faisal, meninggalkan Ipda Marwan dan Andri di dalam ruang interogasi.
“Satu tugas selesai, disambung dengan yang lain.” Ipda Marwan hanya menggumam sambil memiringkan kepala.
Kombes Pol Ahmad Isa terlihat sedang melakukan panggilan telepon dengan seseorang. Dia melihat kehadiran Aipda Firdaus yang tidak ingin mengganggunya dengan duduk pelan-pelan. Pembicaraan selesai tepat pada saat itu.
“Siapa itu?” tanya Aipda Firdaus penasaran.
“Iptu Kuncoro.” Aipda Firdaus mengangguk. “Penyelidikan yang dia lakukan, bukti yang dikumpulkannya sudah cukup banyak. Itu saja yang dia ceritakan, jika kamu penasaran.”
“Ada apa?”
“Mohon maaf sebelumnya. Apakah Aiptu Kurniawan sudah memiliki anak yang bernama Agung?”