arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

“Haris, apakah kamu memiliki kartu pelajar?” tanya Aipda Firdaus yang menggiringnya.

“Ya, itu di tasku.”

“Ambil dan jangan pernah lepaskan tas dari tubuhmu. Sekali lagi, aku tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu, mengingat kutukan pembawa sial itu bisa saja masih berada pada tubuhku.” Haris tertawa kecil mendengarnya.

“Aku serius,” ucap Aipda Firdaus yang kemudian mengarahkan Haris ke dalam ruang interogasi. Sementara itu, Bripka Faisal menjaganya dari luar. Namun Bripka Faisal sengaja menjauh untuk melihat apa yang terjadi jika dia meninggalkan ruangan.

Tak lama kemudian, Aiptu Kurniawan meninggalkan tempat kerjanya dan memasuki ruang interogasi. “Baiklah, Haris. Serahkan tasmu.”

“Saya sudah menyerahkan kartu pelajar. Seharusnya itu sudah cukup.” Haris memeluk tasnya dengan erat.

“Serahkan atau hal lebih buruk terjadi padamu.”


Aipda Firdaus pergi ke ruangan Kombes Pol Ahmad Isa. “Selamat pagi, Pak.”

“Pagi, Firdaus. Ada apa?”

“Saya izin pulang lebih dulu. Ada urusan yang harus selesaikan di rumah. Tapi saya berjanji segera kembali.”

“Silakan. Aku percaya padamu.”


Sementara itu di ruang interogasi, Haris tetap tidak mau menyerahkan tasnya. Aiptu Kurniawan terus memaksa. Tas itu berhasil direbut oleh Aiptu Kurniawan. Haris hanya pasrah tasnya diambil.


Firdaus tiba di rumahnya. “Kamu sudah pulang?” Sambutan itu diucapkan oleh Irsyad, ayah angkatnya. Sekarang, dia mengambil waktu cuti dari pekerjaannya.

Firdaus mencium tangan ayahnya. “Aku hanya ingin melakukan beberapa hal dan kembali ke Kota Cahaya untuk menyelesaikannya.” Firdaus kemudian mengambil laptop yang dia beli dengan hasil tabungannya. Dia menyalakannya sambil membuka salah satu buku tulis di meja itu. “Buku ini sangat berguna. Dia mengajariku secara tidak langsung.” Mata Firdaus menjadi berair setelah mengucapkan hal itu. Dia mendongak untuk menahannya agar tidak menetes.

Firdaus kemudian mencoba fokus terhadap kerjaannya. Mengingat alamat situs resmi Kota Cahaya dan membukanya. Dia mencari halaman yang menayangkan CCTV itu dan memulai pekerjaannya. Tujuan utamanya adalah mendapatkan rekaman kejadian Haris itu.

Waktu berlalu namun Firdaus mendapatkannya. Dia dapat melihat momen ketika orang yang mendekati Haris itu sempat memasukkan sesuatu ke dalam tasnya dan itu membuatnya kesal. “Oh tidak.” Dia memukul meja kemudian berdiri dan memegang kepala dengan kedua tangannya. “Aku sudah memiliki firasat tentang tas itu! Kenapa kamu tidak memeriksanya, Firdaus?”

Firdaus memandang ponselnya. Gambar dinding yang terpajang kembali membuat matanya berkaca. Itu adalah hasil potretannya ketika berkunjung ke Kebun Melati dan menaiki gedung sekolah di sana. “Saling melengkapi, namun harus berpisah.” Dia menahannya kemudian bersiap untuk kembali ke markas.

Irsyad melihat mata Firdaus sedang berkaca-kaca dan sempat mendengar perkataannya sebelum pergi. “Berpisah memang susah ya, meski itu sudah lama.” Firdaus tersenyum mendengar ucapan ayahnya dan mencium tangan beliau sekali lagi dan berpamitan.


“Di dalam tasmu kami temukan kokaina seberat satu gram dalam bungkusan plastik.” Haris terkejut ketika mendengar dan melihatnya diungkapkan langsung oleh Aiptu Kurniawan. Dia meletakkannya di atas meja.

Aipda Firdaus kembali ke markas. Bripka Faisal yang melihatnya langsung mendekat dan berkata, “Ke mana saja kamu?”

“Aku harus kembali ke Sukamawar karena ada urusan yang harus kuselesaikan lebih dulu di rumah.”

“Itu cukup jauh. Nampaknya kamu berkendara lebih cepat.” Aipda Firdaus menghiraukan ucapan Bripka Faisal dan nampak bergegas menuju tempat kerjanya.

“Kurniawan!” Aiptu Kurniawan terkejut mendapat panggilan itu. Tak disangka Kombes Pol Ahmad Isa memasuki ruangan kerja Aiptu Kurniawan dan menyadarinya menghilang.

“Ke mana kamu?”

“Aku mewawancarai siswa itu atas penganiayaan dan menemukan narkoba di tasnya.”

“Biarkan Sat Reskrim dan Sat Resnarkoba mengerjakannya. Karena ini adalah ruanganmu dan kamu memintanya untuk melakukannya sendiri. Jangan tinggalkan pekerjaanmu lagi. Aku yakin kamu tidak ingin bermasalah dengan Dinas Perhubungan.”

“Marwan, Nara, urus dia.”

Kombes Pol Ahmad Isa, Aiptu Rai, AKP Bramasta, Aiptu Kurniawan, Ipda Marwan dan Iptu Nara, semuanya sebelumnya bekerja untuk Kota Sukamawar. Bahkan Aipda Firdaus dan Bripka Faisal juga warga Sukamawar. Entah bagaimana mereka bisa disatukan di Kota Cahaya.

Ipda Marwan dan Iptu Nara pergi ke ruang interogasi. Iptu Nara terkejut melihat barang di atas meja. “Kokaina satu gram. Mengingatkanku akan kasus pertamaku saat di Kota Sukamawar.” Ipda Marwan hanya tersenyum mendengarnya. Hal itu membuat Ipda Marwan mengenangnya juga.


“Ada apa Pak?” Kombes Pol Ahmad Isa tidak menjawabnya dan hanya berdiri di depan monitor. Aiptu Kurniawan menatapnya juga dan menyadari ada sebuah penyanderaan sedang terjadi di jalan yang sama dengan kejadian Haris pagi tadi. Pelaku menodongkan pisau ke arah korban dan terlihat selalu berteriak, seolah memerintahkan warga yang mencoba menyelamatkan untuk menjauh.

“Kamu bisa melaporkan kejadian ini lebih awal daripada Dinas Perhubungan jika kamu tetap di sini.” Aiptu Kurniawan menunduk sementara Kombes Pol Ahmad Isa keluar dan melihat Aipda Firdaus lewat. “Firdaus!”

Aipda Firdaus pun berhenti, melihat ke arah sumber suara, kemudian mendekati beliau. “Ada apa, Pak?”

“Sebuah penyanderaan terjadi di Jalan Sukaramah. Segeralah ke sana.”

Aipda Firdaus memandang monitor kemudian terpikir sesuatu dan bertanya kepada Bripka Faisal. “Apakah Haris masih di sana?”

Bripka Faisal paham bahwa maksudnya adalah ruang interogasi. “Ya,” jawab Bripka Faisal singkat.

“Bawa dia ke sini. Aku yakin dia mengenal orang ini.”

“Tapi dia akan diurusi oleh Ipda Marwan dan Iptu Nara.” Aipda Firdaus terkejut mendengarnya. “Beritahukan bahwa kita akan membawanya sebentar.” Dia memandang Bripka Faisal belum mengerti apa yang Aipda Firdaus maksud kali ini namun dia membawa Haris keluar dari ruang interogasi.

“Apakah kalian masih mengurusnya?” tanya Bripka Faisal memasuki ruang interogasi.

“Kami bahkan belum melakukannya karena baru tiba,” jawab Iptu Nara.

“Saya ingin membawanya keluar sejenak. Firdaus memintanya.”

“Silakan. Aku yakin dia memiliki rencana yang luar biasa.” Ipda Marwan mengucapkannya dengan percaya diri. Setelah Bripka Faisal menjemput Haris, Ipda Marwan melanjutkan pembicaraannya, “Aku mengetahuinya sejak bertemu dengannya.”

“Itu adalah temanku, Akbar.” Aipda Firdaus mendekat untuk memperhatikan monitor itu hanya untuk memastikan bahwa pelaku penyanderaan itu. Aipda Firdaus berpikir sejenak. “Biarkan Ipda Marwan dan Iptu Nara fokus mengurus hal itu. Pastikan tidak ada orang lain yang masuk selain Bapak Kombes.” Aipda Firdaus memandang Aiptu Kurniawan sinis.

“Faisal, mari kita pergi untuk menyelamatkan Akbar.” Aipda Firdaus bersiap.


“Apa yang terjadi selama aku pergi?” Aipda Firdaus kembali menyetir mobil.

“Aiptu Kurniawan.” Bripka Faisal terdiam setelah mengucapkannya. Aipda Firdaus menghembuskan napas panjang. “Dia sudah mengetahuinya.”

“Dia mengetahui itu Haris tanpa melihat kartu pelajarnya sedangkan dia selalu berada di ruangannya. Dia juga memaksa untuk mengambil tasnya dan menemukan satu gram kokaina di dalamnya.”

“Aku memiliki sesuatu yang dapat membelanya. Namun sebelum itu, kita harus menuntaskan kasus yang satu ini terlebih dahulu dan melanjutkannya nanti.”


Komentar