Hari pertama bertugas, Aipda Firdaus dipasangkan dengan Bripka Faisal. Mereka dipanggil oleh salah satu anggota Satuan Lalu Lintas. “Lihatlah ini,” tunjuknya ke sebuah layar. Dia adalah Ajun Inspektur Polisi Satu Kurniawan, dulunya anggota Satuan Samapta Bhayangkara—sama seperti Aipda Firdaus dan Bripka Faisal—yang sekarang menjadi anggota Satuan Lalu Lintas. Dia sempat mengaku tidak bisa melupakan tugasnya dulu sehingga masih terbawa.
“Apa itu?” tanya Bripka Faisal. Aiptu Kurniawan memundurkan rekamannya dan menunjukkan ulang apa yang terjadi.
Aipda Firdaus terlihat bingung kemudian berucap dengan suara pelan, “Dulu rasanya tidak secepat itu….”
“Apa maksudmu?” Rupanya Bripka Faisal mendengarnya.
“Bukan apa-apa,” sahut Firdaus.
“Pikiran positif saja. Teknologi terus berkembang sehingga hal itu dapat dilakukan dalam waktu yang lebih cepat,” sahut Bripka Faisal.
“Lihatlah ini.” Aiptu Kurniawan menunjuk layar. “Sepertinya siswa ini melakukan penganiayaan terhadap orang dewasa yang akan menyeberang.”
“Hanya wajah sang siswa yang terlihat dengan jelas namun pencarian di basis data tidak membuahkan hasil. Belum ada juga laporan mengenai korban.” Aiptu Kurniawan memperbesar gambar wajah siswa itu. “Berdasarkan pakaian yang dia kenakan dan lokasi kejadian, aku menebak dia adalah siswa SMP Pelita. Berarti kita akan melakukan pembinaan terhadap anak ini nanti.”
“Jadi, Firdaus dan Faisal. Aku ingin kalian mencari siswa ini dan menanyakan apa yang terjadi.” Aiptu Kurniawan mencetak gambar yang diperbesar itu dan Bripka Faisal menyambutnya. “Pergilah sekarang ke sana.”
Aipda Firdaus dan Bripka Faisal telah tiba di SMP Pelita setelah berkendara dalam mobil. Tujuan pertama seharusnya adalah Bagian Kesiswaan, namun mereka diarahkan menuju Ruang Kepala Sekolah yang satu ruangan dengan Ruang Guru.
“Vincent, Kepala SMP Pelita.” Vincent menjulurkan tangan dan Bripka Faisal menyambutnya. “Ada apa sehingga kalian ke mari?”
“Kami ingin mengetahui, apakah benar ini siswa Anda?” tanya Bripka Faisal menyerahkan gambar itu. Seorang guru perempuan mendekat melihatnya.
“Itu Haris, dia berada di kelas Sembilan A.”
“Mohon maaf, namun siapa Anda?” tanya Aipda Firdaus.
“Ardila, Guru Bahasa Indonesia yang mengajar di kelasnya.” Ardila menunduk sedikit. “Apa yang telah dia lakukan?”
“Berdasarkan rekaman CCTV yang didapatkan rekan kami di Satlantas, dia terlihat melakukan penganiayaan.”
“Bisakah Anda memanggilkan dia ke sini?”
“Bagaimana kalau Anda yang ke sana? Bukankah lebih baik jika membawanya langsung ke kantor?” Aipda Firdaus heran mendengar balasan Ardila.
Tanpa memandang rekannya, Bripka Faisal menjawab, “Baiklah.” Dia meminta izin untuk keluar kemudian Aipda Firdaus yang masih heran mengikuti. Mereka pun berjalan menuju kelas yang telah disebutkan sebelumnya.
Di lorong, mereka berdebat siapa yang memanggil Haris. Bripka Faisal terus menunjuk Aipda Firdaus sedangkan dia tidak menginginkannya. Pada akhirnya, Aipda Firdaus mengalah kemudian masuk ke kelas sembilan A. “Apakah di sini ada yang namanya Haris?” tanyanya.
Murid-murid di sana kebingungan namun salah satu siswa berdiri. Teman di dekatnya sempat berbicara namun tidak bisa didengar oleh Aipda Firdaus. Dia kemudian berjalan mendekati Aipda Firdaus. “Nampaknya kamu lebih baik membawa tasmu. Aku tidak bisa menjamin jika kamu meninggalkannya.” Siswa itu mengambil tasnya dan mereka keluar kelas bersama.
Ponsel Aipda Firdaus berdering. Itu panggilan dari Aiptu Kurniawan yang kemudian dijawab.
“Apakah kalian sudah menangkapnya?” tanya Aiptu Kurniawan. “Jika ya, bawa dia ke kantor.”
“Masuklah Haris.” Aipda Firdaus terdengar murung ketika membuka pintu mobil. “Aku juga tidak menginginkan hal ini terjadi dan merasa ada sesuatu yang janggal.”
“Apa yang janggal bagimu, Firdaus?” tanya Bripka Faisal sambil memasuki mobil.
“Aku tidak tahu. Pertama, aku seperti pernah bertemu Aiptu Kurniawan sebelumnya tapi lupa kapan dan di mana. Kedua, bagaimana bisa dia dan Ardila merekomendasikan Haris langsung ke kantor? Padahal bisa saja berurusan dengan bagian kesiswaan terlebih dahulu dan dibicarakan secara baik-baik.”
Aipda Firdaus menyalakan mobil kemudian memandang Haris yang duduk di belakang. “Haris, aku yakin kamu tidak bersalah dan kasus ini akan cepat selesai. Jadi, bisakah kamu menjelaskan apa yang terjadi?”
“Aku bahkan tidak tahu,” jawab Haris.
“Apa yang kamu lakukan pagi tadi, sebelum pergi ke sekolah? Saat di perjalanan tepatnya,” tanya Bripka Faisal.
“Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya berjalan ke sekolah sebagaimana biasa.” Haris menjawabnya dengan suara pelan. “Tapi—” Bripka Faisal memalingkan wajah untuk mendengarnya. “Ada seseorang mendekatiku kemudian mendekap. Aku sangat terkejut dan membela diriku dengan cara melawan. Apa sebutannya? Refleks?”
Aipda Firdaus tersadar akan sesuatu. “Faisal, bisakah kamu yang menyetir?”
“Tidak,” jawab Bripka Faisal singkat.
“Kalau begitu, bisakah kamu melakukan sesuatu untukku?”
“Apa itu?”
“Apakah kamu mengetahui situs resmi Pemerintah Kota Cahaya?”
“Tidak juga.”
“Aku mengetahuinya,” sahut Haris.
“Siapkan ponselmu,” ucap Aipda Firdaus.
“Tapi aku tidak membawa ponsel.”
“Maksudku Faisal.” Bripka Faisal merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. “Haris, sebutkan alamat situsnya dan Faisal, cek adakah halaman untuk streaming CCTV.” Mereka pun melakukan apa yang Aipda Firdaus minta.
“Apa yang ditampilkan di sana?” tanya Aipda Firdaus.
“Siaran langsung tentunya. Sebentar lagi, mobil kita akan melewati penyeberangan zebra sehingga akan tertangkap kamera.” Tanpa sempat menyelesaikan ucapannya, hal itu sudah terjadi. “Ya, itu baru saja. Kamu berkendara dengan kecepatan yang agak susah ditangkap kamera.”
“Jadi, Faisal. Apakah kamu menyadarinya?” Aipda Firdaus tersenyum kecil. “Bagaimana dia atau mereka memiliki akses terhadap rekaman yang baru terjadi?”
“Mereka?” tanya Bripka Faisal.
“Satlantas,” jawab Aipda Firdaus singkat.
“Itu adalah hal yang mungkin mengingat mereka Satuan Lalu Lintas. Mereka bisa memiliki koneksi atau mendapat caranya dari Dinas Perhubungan.” Aipda Firdaus terkejut mendengar ucapan tersebut dari Haris. “Bolehkah aku bertanya?”
Haris mulai memberanikan diri. “Kenapa saya langsung dibawa ke kantor? Bukankah sebagai siswa, apalagi saya masih dibawah umur berdasarkan hukum, sudah seharusnya diurus di BP saja?”
“Apakah kamu memiliki masalah dengan Guru Bahasa Indonesia?” tanya Bripka Faisal. Hal itu juga membuat Aipda Firdaus terkejut. “Aku juga mulai menyadarinya Firdaus.”
“Entahlah. Tapi yang saya dengar dari teman, nilai Bahasa Indonesia saya seharusnya lebih tinggi dari seorang siswi bernama Pertiwi.” Haris melepas tas dari punggung dan meletakkan ke depan dan memeluknya. “Pertiwi itu adalah anak Guru Bahasa Indonesia.” Bripka Faisal mengangguk memandang Haris yang berbicara, seolah tahu apa yang terjadi.
“Sekarang, seandainya Aiptu Kurniawan itu merencanakan semua—”
“Apakah Anda baru saja menyebut nama Kurniawan?”
“Ya, kenapa?”
“Jika apa yang saya dengar dari teman itu benar, dia adalah ayah dari Edi, teman sekelas saya juga.”
“Berarti bisa saja—”
“Faisal,” Aipda Firdaus memotong. “Kita belum bisa menyimpulkan sedini ini.”
“Bukankah kamu bilang dia tidak bersalah? Aku bahkan meyakininya juga!”
“Aku berharap dia memberikan pernyataan yang sama karena kita telah tiba di markas.”