arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Senin, 16 Juni 2020 – Tali kuning bertuliskan dilarang melintas garis polisi dibentangkan untuk mencegah masyarakat mengerumuni sebuah mayat yang ditemukan tergeletak di depan bangunan tua berlantai dua puluh itu. Pagi itu menjadi menggemparkan.

Inspektur Polisi Dua Marwan, seorang perwira baru yang tergabung dengan Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar ditugaskan untuk melakukan investigasi. Dia hanya sendirian hari ini untuk mengurus olah tempat kejadian perkara, bersiap dengan mengenakan sarung tangan putih.

Korban adalah seorang wanita dewasa bernama Sarah dengan usia 39 tahun berdasarkan KTP yang Ipda Marwan dapat dari dalam tas kecil milik wanita itu. Selain KTP, hanya berbagai macam penghias wajah.

Pemeriksaan di tempat oleh Ipda Marwan beranjak ke bagian atas. Marwan menemukan fakta bahwa korban mengalami luka parah di bagian kepala. “Kemungkinan dia jatuh dari ketinggian,” pikir Ipda Marwan memandang bangunan.

Lantai tertinggi bangunan itu sendiri terdapat balkon yang menjorok ke arah barat. Ipda Marwan berpikir untuk menuju ke sana namun kilatan cahaya kamera mengejutkannya.

“Mohon maaf Mbak, bisa dihapus foto barusan?” tanya Ipda Marwan mendekati seorang wanita yang memotret.

“Emang kenapa? Saya wartawan lo!” Wanita itu menunjukkan kartu identitas yang dikalungkannya dengan tangan kiri. Tertera nama dan pekerjaannya di sana, Lina, Wartawan Koran Harian Sukamawar.

Ipda Marwan memperhatikan Lina. “Wartawan tapi pakai sarung tangan putih sepertiku? Rambutnya pun acak-acakan,” pikir Ipda Marwan.

“Hanya saja mayatnya belum ditutup, Mbak. Entar saya dapat masalah dari atasan karena mengizinkan warga sipil memotret.”

“Tapi ini perlu untuk dijadikan berita, Pak! Apakah Anda akan sama seperti orang lainnya yang berusaha menutup-nutupi kejadian sebesar ini?” tanya Lina. “Dia salah satu orang terkaya di Sukamawar lo! Bahkan bangunan ini dia yang bangun!”

Ipda Marwan sempat terdiam. “Baiklah, dengan syarat Anda menyensor wajah korban.”

Tim forensik tiba dan mengurus jenazah sementara Ipda Marwan memasuki bangunan itu, menuju lantai dua puluh.

Di lantai dua puluh melalui dalam bangunan, sebuah pintu kamar terbuka sehingga memancing Ipda Marwan untuk masuk. Sesampainya di sana, Ipda Marwan dikejutkan oleh seorang remaja yang berdiri di balkon, memandang ke bawah. “Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa ada di sini? Sejak kapan? Kamar ini kamu rusak?”

Remaja itu berpaling. “Ahmad Firdaus, siswa MA Sukamawar. Saya di sini dari tiga puluh menit sebelum Anda datang, olahraga berupa lari pagi saya berhenti setelah melihat korban tergeletak. Banyak kasus yang telah dihadapi, tidak pernah merusak TKP.”

“TKP?” tanya Ipda Marwan kebingungan. Ipda Marwan mendekat sambil melihat kamar yang rapi itu. Dia berdiri di samping Firdaus. Firdaus memandang seragam polisi yang dipakainya dalam waktu yang cukup lama selama Ipda Marwan memandang kamar itu merasakan sesuatu yang aneh.

Firdaus kembali memandang ke bawah. “Tim forensik nampaknya sudah selesai mengambil jasad wanita itu.” Ucapannya membuat Ipda Marwan ingin turut memandang ke bawah namun hal itu membuatnya menelan ludah dan berjalan mundur.

“Pak Inspektur, apakah korban mungkin sempat melakukan salto?”

Ipda Marwan kebingungan mendengar pertanyaan Firdaus. “Inspektur? Maksudmu saya?”

“Tentu saja Anda, Inspektur Polisi Dua Marwan.” Firdaus memandangnya. Hal itu malah membuat Ipda Marwan semakin ketakutan.

“Bagaimana kamu tahu? Kamu cenayang ya?”

“Saya pernah bermimpi saat liburan di Pantai Pasir Putih, tepatnya di hotel. Saya bermimpi melihat pelaku pembunuhan di sana dan ternyata benar.” Firdaus berlagak kemudian diam sebentar. “Tentu saja tidak. Seragam Anda sudah menunjukkan identitas.”

“Tapi saya bertanya serius lo.” Firdaus menunjukkan keseriusan melalui ekspresinya.

“Kenapa kamu menanyakan itu? Korban sendiri berusia 39 tahun. Terasa tidak mungkin untuk melakukan salto.”

“Posisi kepala korban berada di sebelah barat. Tidak mungkin korban melakukan bunuh diri. Seandainya dia memang bunuh diri, kepala korban pasti berada di sebelah timur juga dalam keadaan tengkurap tidak tergeletak seperti itu.” Firdaus memandang ke bawah sebentar kemudian memandang Ipda Marwan. “Kepala berdarah itu satu-satunya bukti dia jatuh dari ketinggian.”

“Baiklah, aku percaya bahwa kamu telah menghadapi banyak kasus. Siapalah aku yang baru ditugaskan di Satreskrim Sukamawar.” Ipda Marwan menghela napas. “Berarti pikiranku bahwa korban jatuh dari ketinggian itu benar.”

“Aku merasakan ada yang aneh di kamar ini. Mengapa sudah terbuka namun keadaannya masih rapi? Dugaanku bahwa korban bunuh diri dibantah kamu.” Ipda Marwan berpikir dengan menunduk dan memegang dahi dengan tangan kanannya. “Apakah ini sebuah pembunuhan?” tanya Ipda Marwan memandang Firdaus dan melepas tangannya dari dahi.

“Kita belum tahu. Lagipula, itu tugas Anda sebagai seorang perwira yang bekerja di Satreskrim.” Firdaus memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Pertanyaannya tinggal satu, kita bekerja sama atau balapan dalam menemukan kebenarannya?” tanya Firdaus tersenyum.


“Bekerja sama dengan seorang siswa?” Komisaris Polisi Yadi, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar nampak sangat terkejut atas permintaan izin bawahannya. “Kamu serius?”

“Kembalilah ke TKP dan dapatkan informasi semaksimal mungkin. Kamu bahkan tidak membawa saksi ke kantor.”

Ipda Marwan keluar dari ruangan komisaris. “Pilihan yang salah.”


“Jadi, bagaimana ceritanya autopsi korban harus dilakukan di sini, Mbak?” Ipda Marwan tiba di ruang mayat Rumah Sakit Sukamawar.

“Panggil ‘Dok’ aja,” jawab Dokter Ika membuka kain penutup mayat korban. “Mereka berkata tidak memiliki laboratorium forensik namun menyerahkan tugas ini kepada saya. Mentang-mentang paham anatomi manusia.” Dia nampaknya kesal dengan tugas yang diberikan kepolisian.

“Maaf karena menanyakan itu.” Ipda Marwan terdiam sejenak. “Bagaimana keadaan korban?”

“Kepala tidak usah ditanya lagi, begitu juga tulang belikat. Tapi otot kedua lengan atas dekat bahu terasa lebih keras untuk seorang wanita dengan usia setua ini, nampaknya terpelintir.”

Ipda Marwan berpikir dengan pose seperti biasanya. “Ada tanda kekerasan?”

“Tidak ada.”

“Bahkan di bagian leher?” Ipda Marwan memikirkan tas korban yang tergantung di leher.

“Juga tidak ada.”

“Itu semakin membuatku berpikir dia bunuh diri namun terlalu mustahil.” Ipda Marwan terdiam sejenak dan merasa informasi yang didapatkannya cukup. “Terima kasih, Dok.”


“Apa yang aku lupakan di sini?” Ipda Marwan kembali datang ke kamar yang diduga milik korban. Dia mencari-cari barang bukti yang bisa mengarah kepada kasus ini, sampai menemukan sebuah surat. “Akta pindah tangan tanah?” Dia terkejut atas penemuannya.

“Pemilik terdahulu adalah Sarah—sang korban. Pemilik sekarang adalah Yuni. Disahkan oleh Rida, staf khusus wali kota.” Ipda Marwan membaca dokumen itu. “Bukannya seharusnya urusan pertanahan ini diurus Kementerian Agraria dan Tata Ruang?”

Ipda Marwan merasakan sesuatu yang janggal sekaligus menyadari betapa berharganya dokumen itu sehingga terlihat sangat bersyukur karena membuat kemajuan dalam penyelidikannya.


“Apakah benar ini rumah Yuni?” tanya Ipda Marwan berdiri di depan sebuah rumah.

Seorang wanita sebaya dengan Sarah membukakan pagar. “Dengan saya sendiri. Ada apa?”

Wajah Yuni yang terlihat santai malah membuat Ipda Marwan curiga. Setelah duduk di kursi tamu, Ipda Marwan memilih untuk mewawancarai langsung di tempat.

“Bisa ceritakan, apa yang Anda kerjakan mulai dari pagi tadi sampai kemarin?”

“Memangnya kenapa?” tanya Yuni kebingungan.

“Apapun yang Anda ceritakan, sangat membantu kami dalam penyelidikan ini.”

“Baiklah. Saya hanya di rumah dan dapat dibenarkan oleh suami saya. Tapi, untuk penyelidikan apa? Saya tidak tahu sama sekali.”

Ipda Marwan kemudian menunjukkan surat akta pindah tangan tanah yang dibawanya. “Nama Anda tercantum dalam surat ini, sehingga Anda saya jadikan saksi atas kematian Sarah. Dia ditemukan tergeletak di depan sebuah bangunan.” Ipda Marwan kemudian menyebut alamat penemuan korban.

“Tunggu, Sarah mati?” Yuni terlihat sangat terkejut. “Di satu sisi, aku berduka cita atas kepergiannya. Di sisi lainnya, wanita itu pantas untuk mati.”

“Ada apa dengannya?”

“Anda tahu alasan dibalik pengesahan pindah tangan tanah ini hanya melalui staf khusus wali kota, bukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang? Itu karena untuk pencitraan semata, agar orang kaya sepertinya terlihat memberi sedekah dan saya sebagai korban pencitraannya. Dia bahkan tidak menyerahkan tanah itu kepadaku dan tanpa kuketahui dia membangun bangunan untuk dirinya sendiri setelah mendengar alamat yang diberikan Anda.”

Ipda Marwan terdiam sejenak. “Terima kasih untuk informasinya. Tapi untuk sementara, saya tidak membawa Anda ke kantor. Tapi usahakan jangan keluar rumah apalagi keluar daerah.”

“Tentu saja. Siapa yang tinggal di rumah ini jika aku pergi sekarang?” Ipda Marwan sempat terkejut dengan pernyataan itu kemudian meninggalkan rumah Yuni.

“Semua petunjuk mengarah kepada satu tempat!” pikir Ipda Marwan ketika sampai di depan rumah. Dia langsung menuju kantor wali kota untuk bertemu dengan orang yang mensahkan akta itu.


Setibanya di kantor wali kota, Ipda Marwan heran dengan pintu yang terbuka. Dia mendengar suara dari sebuah ruangan.

“Berhenti!” teriak Ipda Marwan memasuki kantor wali kota sambil menodongkan pistol. Dia sangat terkejut melihat Rida, staf khusus wali kota, tewas tersandar di meja wali kota dan Firdaus yang sedang memegang pisau berdarah dengan tangan kanannya. “Firdaus?” Dia kemudian memasukkan pistol kembali ke tempatnya.

“Anda memilih balapan rupanya. Namun Anda terlambat.” Firdaus memalingkan wajahnya. “Seandainya Idris ada di sini, dia pasti melarangku.”

“Kamu ditahan atas tindak pembunuhan. Aku akan membawamu ke kantor.”

“Tapi bukan saya pelakunya!” seru Firdaus.

“Pisau yang di tanganmu itu pasti senjata pembunuhan. Lagipula, bagaimana kamu bisa ada di sini lebih dulu lagi dariku?” Ipda Marwan mendekat kepada mayat Rida. Terlihat satu tusukan di leher bagian depan sebelah kanan.

“Baiklah.” Firdaus menghela napas. “Saya tidak bisa berbohong bahwa pisau ini merupakan senjata pembunuhan.”

“Tapi itu tidak membuktikan bahwa saya pembunuhnya. Semua informasi, saya dapatkan dari pencarian di berbagai media termasuk bertanya langsung kepada wali kota.”

“Kamu tetaplah mencurigakan, selalu berada di TKP lebih dulu dariku. Aku akan tetap membawamu ke kantor.”


“Kenapa kamu tidak bilang kalau dia siswa yang dimaksud?” tanya Kompol Yudi.

“Tumben sendirian,” ucap Komisaris Polisi Bramasta, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan.

“Benar juga. Mana temanmu, Muhammad Idris itu?” tanya Ajun Inspektur Polisi Satu Rai, anggota Satuan Intelijen dan Keamanan.

Tiga orang itu terkumpul di lobi kantor Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Ipda Marwan hanya keheranan dan bingung atas ucapan mereka.

Firdaus sebagai orang yang ditujukan pertanyaan hanya diam dan terlihat menahan kesedihannya.

“Saya hanyalah pembawa sial.” Hanya itu yang disahut oleh Firdaus dengan wajah menunduk. Kompol Yudi hanya menertawakan ucapan Firdaus sementara Ipda Marwan merasakan sesuatu yang salah.

“Kenapa dia dibawa ke sini, Marwan?”

“Saya curiga dia pelaku pembunuhan Sarah dan Rida.”

“Bagaimana mungkin remaja seperti dia melakukan pembunuhan?” tanya Kompol Bramasta membela.

“Ayo, Marwan! Jangan sampai dia duluan menyatakan pelakunya.”

“Tunggu, kamu sudah tahu pelakunya?” tanya Ipda Marwan.

“Tidak, tapi semua yang telah saya temukan mengarah kepada satu orang.” Firdaus pun mulai menjelaskan. Fakta bahwa kamar Sarah tidak berantakan menunjukkan korban mengenal pelaku. Luka tusukan di leher Rida menunjukkan pelakunya kidal. “Saya merasa mereka terhubung oleh sesuatu.” Suasana hening sesaat.

“Apakah kamu sendiri mengenal korban?” tanya Ipda Marwan.

“Saya hanya tahu beliau orang kaya di kota ini,” jawab Firdaus.

“Bagaimana dengan bangunan itu? Apakah kamu tahu siapa yang membangunnya?”

“Tidak.”

Ipda Marwan menyadari sesuatu dan mengetahui pelakunya. Dia menyampaikannya kepada tiga rekannya. “Sekarang, bagaimana caranya agar dia datang?”

“Saya punya rencana,” ucap Aiptu Rai.


Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar mengadakan konferensi pers. Firdaus berperan sebagai tersangka, lengkap dengan baju tahanan dan masker untuk menutup identitasnya. Mereka menjelaskan bahwa telah menangkap tersangka atas dua pembunuhan yang terjadi hari ini. Tindakan mereka berhasil memancing pelaku sesungguhnya.

“Tapi pelakunya adalah Anda, Lina,” tunjuk Ipda Marwan. “Tidak banyak yang mengetahui pembangun bangunan itu, namun Anda tidak termasuk bagian dari mereka. Anda dengan percaya dirinya mengatakan bahwa korban adalah orangnya. Anda yang menunjukkan kartu identitas dengan tangan kiri, cocok untuk pelaku pembunuhan Rida. Anda tahu tentang akta pindah tangan tanah itu!”

Lina hanya tersenyum sambil melepas kameranya. “Sudah kuduga, pada akhirnya pasti ketahuan.”

“Mengapa Anda melakukannya?” tanya Ipda Marwan.

“Aku ingin dia mengakui tentang skandal pindah tangan tanah palsu ini untuk membela temanku, Yuni namun dia tidak mau dan menganiaya. Tentu saja aku marah atas tindakannya. Aku menyadari kesempatan karena dia berdiri di balkon. Aku membuatnya agar terlihat seperti dia bunuh diri setelah memukul kepalanya. Namun dengan cerdasnya, dia berpegangan ke pagar balkon itu dan membuatnya terjungkir balik. Setelah melihatnya jatuh sampai ke tanah, aku keluar bangunan secepatnya.”

“Bagaimana dengan Rida, staf khusus wali kota?”

“Sama, aku juga meminta kebenaran darinya atas akta pindah tanah itu. Dia malah mengancamku dengan pisau yang entah didapat dari mana. Aku berhasil merebut pisau itu dan kalian sudah tahu kelanjutannya.” Lina mengakui kejahatannya dan langsung diborgol Kompol Yudi.

“Tugas saya sudah selesai.” Firdaus melepas baju tahanan dan masker yang dikenakan dan mengembalikannya kepada Ipda Marwan.

“Firdaus?” Ipda Marwan berpaling dan menyadari Firdaus telah pergi. Dia hanya tersenyum. “Anak itu berbohong bahwa dia pembawa sial.”


Komentar