arrow_back

86: The Drama

arrow_forward

Masyarakat Kota Sukamawar gempar ketika menemukan potongan tangan kiri dengan darah yang segar di dalam garasi seorang warga yang sudah lama tidak dipakai. Bobby, 32 tahun adalah pemilik rumah dengan garasi tersebut.

“Malam tadi saya agak mendengar pintu garasi terbuka—sayup-sayup di tengah kesunyian malam—sedangkan saya berada di kamar tidur. Jarak antar ruangan cukup jauh. Ketika mendengar suara itu, saya terbangun dan dapat memastikan semua anggota keluarga berada di kamar yang sama.”

Komisaris Polisi Yudi, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar diketahui memimpin penyelidikan akan kasus ini. Banyak media yang meliput kejadian itu.

“Kami menduga ini sebuah pembunuhan. Pertama, kami akan tanyakan kepada warga sekitar terlebih dahulu apakah kehilangan anggota keluarga untuk menyelidiki identitas korban.” Demikian apa yang disampaikan oleh Kompol Yudi.

Potongan tangan kiri itu sendiri dibawa ke Rumah Sakit Unit Daerah Sukamawar untuk kepentingan penyelidikan.


Sekelompok anak kecil asik bermain sepak bola di sebuah lapangan. Kecil dan terletak di samping persawahan.

“Bersiaplah!” ucap seorang anak sebelum menendang. Dia pun menendang dengan keras sampai bola itu melayang dan mendarat di persawahan.

“Ambil!” suruh anak yang menjadi kiper.

“Kamu saja.” Sang kiper kecil itu nampak kesal karena itu bukan kesalahannya namun malah dia yang disuruh untuk mengambil. Dia pun melepas sandalnya dan mulai pergi ke sawah. Dia menemukan sesuatu yang bulat di sawah itu dan langsung mengambilnya.

“Bersihkan dulu.” Dia pun membantingnya dengan niat menghilangkan kotoran. “Kenapa tidak memantul?”

Anak itu membersihkannya dengan tangan dan terkejut ketika mengetahui bahwa yang dia ambil ternyata sebuah kepala manusia. Mereka ketakutan dan berlari sambil berteriak.

Brigadir Polisi Satu Kuncoro, anggota Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Sukamawar adalah warga desa itu yang kebetulan tidak bertugas hari itu. Dia heran ketika mendengar anak-anak berteriak. “Ada apa?” tanya Briptu Kuncoro. Mereka hanya menunjuk sembari terus berlari. “Di sawah.”

Briptu Kuncoro mengambil sarung tangan dan pistolnya kemudian berlari ke sawah, bersiap untuk hal yang tidak diinginkan. Di sawah, dia melihat seorang anak kecil yang terlihat mencari sesuatu. Dia pun menyembunyikan pistolnya.

“Apa yang kamu cari?” Tepat di saat dia mengangkat benda bulat. Dia memantulkannya.

“Seharusnya ini yang saya temukan,” jawab anak itu. “Bola yang kami mainkan, bukan ini,” tunjuknya kepada sebuah benda bulat yang lain.

Briptu Kuncoro mengenakan sarung tangannya dan cukup terkejut ketika mengetahui bahwa itu adalah kepala manusia. Dia pun teringat dengan penemuan tangan kiri itu dan menduga kepala itu satu kesatuan dengannya.

“Anda tidak akan menghukum saya, kan?” tanya anak itu.

“Tentu saja tidak,” jawab Briptu Kuncoro tersenyum. “Tapi, di mana kamu menemukannya?”

“Di sana,” tunjuk anak itu.

“Terus, bola itu punya siapa?”

“Punyaku,” jawabnya singkat.

“Boleh gak, kamu taruh dulu di sana, terus besok baru diambil.”

“Oke, asal jangan hukum saya, ya….” Briptu Kuncoro hanya tersenyum.


Malik, seorang petugas kebersihan sedang berada di tempat pembuangan akhir. Biasanya, dia memilih barang yang bisa didaur ulang. Sampai dia menemukan sesuatu yang mencurigakan. Sebuah karung yang menyucurkan darah. Ketika dibuka, ternyata berisikan sepasang kaki dan tangan kanan manusia. Hal itu pun dilaporkan kepada polisi.

Polisi merasa bagian tubuh itu berhubungan dengan tangan kiri dan kepala yang ditemukan sebelumnya sehingga membawanya ke RSUD Sukamawar untuk keperluan penyelidikan.


Sore yang damai di Markas Klub Menembak Sukamawar. Maneken bagian badan yang dibuat oleh Rumah Maneken Lilin sering digunakan di sini. Kepuasan menembak badan itu sampai pecah adalah yang mereka tunggu.

Namun tidak kali ini, salah satu maneken malah menyucurkan darah. Hal yang mencurigakan sehingga melapor kepada polisi.

Peter sang penembak mengaku hanya menembak dua kali dengan senapan anginnya. “Sisanya bukan punya saya,” pungkasnya.


Setelah semua bagian dari anggota tubuh terkumpul, tindakan autopsi pun dilakukan. Hasilnya, secara garis besar mengarah kepada satu korban, Dilan, anggota Klub Menembak Sukamawar.

Dari badan korban yang memiliki luka tembakan, ditemukan beberapa. 5,5mm dua buah menunjukkan kejujuran Peter yang menembak menggunakan senapan angin tersebut. Namun lebih banyak yang berukuran 9mm, seukuran Revolver yang Klub Menembak itu miliki sendiri.

Sebuah petunjuk besar bagi kepolisian. Mereka pun mulai menyelidiki Klub Menembak itu.


“Permisi,” ucap Briptu Kuncoro memasuki Markas Klub Menembak Sukamawar. “Mana pemilik bangunan ini?”

“Saya,” jawab seorang pria.

“Briptu Kuncoro, Satreskrim Polresta Sukamawar, Anda?”

“Jaka. Ada yang bisa saya bantu?”

“Kami ingin mengetahui, siapa saja pengguna Revolver di sini.”

“Revolver ya….” Jaka pergi untuk mengambil bukunya. Sepertinya di sana dia mencatat segalanya. Dia membolak-balik halaman, nampaknya mencari yang diperlukan. Beberapa menit berlalu, dia pun menutup buku dan mengembalikan ke tempatnya.

“Hampir semua anggota kami menggunakan senapan angin, kecuali satu orang.”

“Siapa dia?” tanya Briptu Kuncoro penasaran.

“Ferry.”


Ferry, seorang pria berusia 28 tahun ditangkap di warung kopi oleh pihak Satreskrim Polresta Sukamawar. Semua bukti pembunuhan yang telah ditemukan dan diselidiki oleh aparat mengarah kepadanya. Ferry pun dibawa ke Markas untuk keperluan penyelidikan.

“Apa yang membuatmu membunuh korban, sedangkan dia temanmu sendiri? Kamu bahkan memutilasinya.” Ferry sedang didudukkan di ruang interogasi. Briptu Kuncoro menemaninya di sana dan menanyakannya.

“Aku sudah lama memiliki dendam kepada Dilan. Dia selalu mengejekku ketika menembak, padahal tembakanku lebih akurat darinya.” Wajah jahat Ferry sangat nampak saat itu. “Mengapa aku memutilasi dan membuangnya di tempat berbeda? Aku hanya ingin menyusahkan kalian agar tidak menemukanku namun entah bagaimana caranya, kalian tetap bisa.”

“Kamu mau tahu, bagaimana caranya?” tanya Briptu Kuncoro. “Kamu menggunakan pistol Revolver-mu sendiri untuk membunuh korban. Selongsong peluru yang ada di korban, itu yang membuat kami menemukanmu.” Ferry sangat terkejut mendengar pernyataan itu.

“Aku tidak menyangka di sana kesalahanku.” Kompol Yudi memasuki ruangan interogasi.

“Tahan dia,” perintah Briptu Kuncoro.

Kompol Yudi menepuk bahu Briptu Kuncoro. “Kamu dipanggil Pak Kombes.”

“Ada apa, pak?” tanya Briptu Kuncoro memasuki ruangan Komisaris Besar Polisi Ahmad Isa, Kepala Kepolisian Resor Kota Sukamawar.

“Surat dari Kapolda tiba. Kamu dipindah tugaskan ke Polresta Pasir Putih. Ipda Marwan akan menempati posisimu.” Kombes Pol Ahmad Isa memandang Ipda Marwan yang sedang duduk di kursinya, berurusan dengan berbagai dokumen. Briptu Kuncoro nampak terkejut sekaligus terpukul akan berita itu.

“Kamu masih menyimpan nomorku?” Briptu Kuncoro mengangguk. “Hubungi terus saya di sana.”

“Tapi, saya berpesan satu hal.” Kombes Pol Ahmad Isa mendekat untuk berbisik.

“Selidiki tentang oknum di resor ini.” Briptu Kuncoro terkejut. “Semuanya, termasuk kamu, saya yakin tahu masalah oknum ini dan mulai muak dengannya. Masalahnya, kita tidak bisa melihatnya dari dalam.” Kombes Pol Ahmad Isa memegang bahu Briptu Kuncoro. “Saya sangat ingin, kamu melihatnya dari luar. Saya tahu, pasti ada celah dimana kamu akan mengetahui siapa orangnya. Tapi ketika kamu tahu, berhati-hatilah karena bisa saja, dia tidak akan diam,”


Briptu Kuncoro pergi ke ruangannya untuk mengemasi barang. Ketika di ruang tengah, dia dihadang oleh rekan-rekan. Ipda Marwan berdiri dari kursinya. “Kepada Briptu Kuncoro, hormat, g’rak!” Sesaat setelah Briptu Kuncoro menurunkan tangannya, Ipda Marwan menjulurkan tangannya untuk berjabat. Dia pun menyambutnya dan memeluknya. Rekan-rekan yang lain mengikuti setelahnya.

Hal itu membuat Briptu Kuncoro terharu, sampai menyeka air matanya. Briptu Kuncoro terus berjalan namun di depan pintu, dia melambai kepada semuanya.


Komentar