Cahaya yang telah sirna, tak lagi menerangi bentala. Biru muda berubah menjadi jingga sampai menjadi indigo kelam menghias angkasa. Rerumputan seakan menari tatkala hembusan angin menerpa tubuh mereka. Sinar bulan purnama tidak begitu nyata, ia tertutup oleh awan. Tentu dia tinggi di atas sana.
Jalan tanah setapak kering diinjak oleh langkah kaki pelan. Tercipta atas begitu seringnya dilewati oleh pendaki dan mereka yang mencari penghidupan. Perjalanan ditemani oleh dahan pohon bergoyang karena hewan-hewan malam yang beraktivitas padanya.
Manusia mana yang tidak akan kehilangan arah dalam kondisi seperti itu. Pandangan malam mungkin belum sebagus makhluk yang telah hidup di waktu tersebut. Nokturnal bukan insomnia.
Entah apa alasannya belum terlelap saat itu. Manusia lain telah hanyut dalam bunga tidur mereka, tetapi tidak dengan dirinya. Dia bertualang di dalam rimba dengan ketiadaan sebab yang jelas.
Sesosok binatang dari yang beraktivitas di masa itu hinggap di jemari yang ingin meraih bintang dengan sinar sayup. Sang awan malam terus bergerak ingin menutupi cahaya bintang pula. Makhluk yang beterbangan tidak sendirian, seolah hendak memandu siapa saja yang sedang berjalan di bawah kegelapan.
“Jika tanpamu, aku akan tersesat.” Dia berujar. Seakan kunang-kunanglah yang menjadi pembimbing. Akal sehatnya tidak lagi berjalan sebagaimana semestinya. Memandang langit saja membawanya melayang.
Menjadi petunjuk arah layaknya rasi bintang, mereka bagaikan membawa diri mengambang menuju padang rumput di tengah hutan. Kini awan bergerak, menyingkap sang bulan dengan cahaya menerangi seakan lampu sorot. Bintang-bintang turut bersinar kelap-kelip mewarnai langit. Tanpa tujuan, si manusia terus berkelana menjelajah tanah antah berantah. Atau dalam waktu dekat, benar, segera ia akan menemukan tujuan itu.