arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Senin - 15 Juli, adalah masuknya sekolah secara serentak. Termasuk MA Sukamawar, sekolah baruku.

Aku memasuki sekolah ini karena terkena zonasi, rumahku yang tepat di perbatasan antara Kota Sukamawar dengan Kota Kebun Melati dikatakan lebih dekat ke MA Sukamawar daripada MA Kebun Melati.

Padahal karena aku kelahiran Kebun Melati, tentu saja aku bersekolah di sana. Tapi sistem zonasi yang disepakati oleh kedua wali kota memilihku untuk berada di Sukamawar.

Aku belum mengenal Sukamawar sepenuhnya, kecuali namanya saja. Maka, aku orang baru di sini, dan dipenuhi dengan kebingungan.

Pagi itu, dilaksanakanlah upacara penaikan bendera. Dengan penyampai amanat seorang pria, kutebak itu kepala sekolah, karena beliau menyampaikan selamat datang dan membanggakan unggulnya MA Sukamawar.

Dia mengingat-ingatkan prestasi zaman dulu, salah satu di antaranya adalah seorang siswa yang memenangkan olimpiade di Jepang.

Pembahasan ini sebenarnya menarik, namun aku merasa bosan. Kebosananku membuat aku melalui waktu secara tidak sadar.

Upacara selesai. Kami disuruh menuju ruang multi guna.

Kami dipersilakan duduk. Aku memilih kursi tengah.

“Halo semua!” sapa seorang remaja laki-laki di podium kecil itu.

“Halo!” jawab siswa lainnya.

“Perkenalkan, nama kakak Mustafa. Kakak adalah ketua OSIS di MA Sukamawar ini. Salam kenal ya!” katanya.

“Halo, namaku adalah Zain, aku wakil ketua OSIS. Senang bertemu dengan kalian!” kata seorang remaja laki-laki lainnya yang berada di samping Kakak Mustafa.

“Setiap tahun, sekolah ini mengadakan Masa Ta’aruf Siswa Madrasah, atau yang disingkat Matsama. Acara ini diselenggarakan agar kita bisa mengenal, dari siswa sampai sekolah ini sendiri.”

“Dan tahun ini, kami dipercaya sebagai penyelenggara. Doakan juga acara ini berjalan dengan lancar, semoga.” Begitulah pidato singkat Kakak Mustafa. Dia meninggalkan podium.

“Apa maksudnya barusan?” tanya Kakak Zain dengan suara pelan namun terdengar dari mikrofon.

“Ya, acara pertama kita selesai. Sepertinya kita juga tidak perlu sambutan kepala sekolah mengingat beliau yang menyampaikan amanat tadi. Maka tidak ada acara lagi selain berkenalan. Silahkan mulai dari teman di samping!”

“Kalian diharuskan selalu berjalan beriringan dengan salah satu teman baru kalian, agar lebih mempererat pertemanan kalian.”

“Nanti juga kalian boleh menunjukkan bakat pada besok hari.” Pidato singkat Kakak Zain mengakhiri sambutan.

Timbullah rasa canggungku. Aku belum berani, walaupun sebatas menanyakan nama. Aku hanya menunduk.

“Hai!” sapa orang di sampingku. Dia terlihat seumuran denganku. Belahan rambut di tengah, pupil matanya hijau. Aku sempat menyangkanya orang asing.

“Oh?” jawabku terkejut.

“Namaku Ahmad Firdaus, panggil saja Firdaus. Namamu siapa?” tanyanya. Pertanyaan itu semakin mengejutkanku.

“Namaku Muhammad Idris,” jawabku gugup.

“Baiklah, aku akan memanggilmu Idris. Kamu dari mana?” tanyanya lagi.

“Aku dari Kota Kebun Melati,” jawabku.

“Kalau aku asli dari Sukamawar, senang berkenalan denganmu,” katanya sambil mengulurkan tangan. Kusambut tangannya dengan perlahan karena kegugupanku. Sesingkat itulah perkenalanku, sekaligus pertemuan dengannya. Tapi dari sanalah awal segalanya.


“Sudah waktu istirahat, silakan kalian makan-makan!” kata Zain.

Kami pun bergerak menuju tempat penaruhan barang. Firdaus nampak mencari sesuatu. Aku bertanya kepadanya apa yang dicari, dia menjawab tasnya. Dia kemudian menjelaskan bahwa warnanya biru dan menaruhnya di paling belakang.

“Bagaimana bisa hilang? Sedangkan kita saja diam di kursi sejak awal?” tanya Firdaus.

“Berarti itu disengaja,” jawabku sambil tersenyum.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Cobalah cari, mungkin aku bisa menemanimu mencarinya.”

Kami mulai mencari. Kulihat wajah Firdaus begitu gelisah.

Kami menuju sebuah ruangan, sepertinya ini perpustakaan, kami cek dan tidak ada di sana. Kami juga menuju ruang di sampingnya dan saat itu tidak bisa dibuka.

“Mereka tidak akan menaruhnya di sini, kan?” tanyanya.

“Semoga,” jawabku.

Kami terus berjalan, sampailah kami di musala.

“Itu tasku!” serunya sambil berlari menuju tasnya.

Dia langsung membukanya, dan terlihat wajah leganya. Aku melihat juga beberapa barang juga terletak di sini.

“Kurasa kamu benar, ini terlihat disengaja,” kata Firdaus.


Selasa - 16 Juli. Sekarang adalah hari kedua dari acara Masa Ta’aruf Siswa Madrasah, juga sekolahku di tingkat MA.

“Halo semua!” sapa Kakak Zain di podium.

“Halo!” jawab semua.

“Hari ini kita melanjutkan acara kita, dan sesuai janji kakak, kalian boleh menunjukkan bakat kalian.” Semua bertepuk tangan. Seolah bergembira atas apa yang akan mereka tonton sebentar lagi.

“Kamu punya bakat?” tanya Firdaus padaku.

“Kurasa tidak ada,” jawabku.

Lampu padam tiba-tiba. Ruangan menjadi gelap dan suasana ricuh. Kemudian sebuah lampu menyorot podium. Aku melihat dengan jelas, Kakak Zain diseret dengan mulut dan mata ditutup tangan pelakunya. Lampu sorot itu padam.

Beberapa saat kemudian, lampu ruangan menyala lagi dan Kakak Zain menghilang. Anggota OSIS lainnya mulai gelabakan. Naiklah salah seorang dari mereka ke podium, dan menyuruh kami agar tetap tenang dan acara unjuk bakat dibatalkan.

Semua siswa yang berada di ruangan tersebut begitu kecewa dan mulai mengejek acara hari ini. Sementara salah satu anggota OSIS itu turun dari podium dan meninggalkan ruangan bersama yang anggota yang lain.

“Apa tadi barusan?” tanya Firdaus geram.

Aku kembali menjawab bahwa hal itu disengaja oleh mereka. Seandainya mau, Zain bisa saja ‘diculik’ lebih awal daripada ini atau kemarin.

Firdaus terdiam, kemudian dia berkata seraya seperti teringat sesuatu, “Bagaimana kalau kita cari di musala, kemarin kan, kita menemukan tasku di sana?”

“Ide bagus!” sahutku.

Kami pergi ke musala, dan ya, kami menemukan seseorang di sana dengan kepala bertutup kain hitam. Kulepas kain itu, dan ternyata itu memang Kakak Zain. Aku juga melepaskan ikatan tali di kaki, mulut dan tangannya.

“Apa yang terjadi?” tanyanya.

“Kami pun tidak tahu,” jawab Firdaus.

“Tapi terima kasih, kalian menyelamatkanku. Aku hampir saja kehabisan napas gara-gara kain itu,” kata Kakak Zain.

“Tunggu dulu, ada beberapa hal yang ingin kusampaikan,” kataku.

“Silahkan,” jawabnya.

Aku pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan, Firdaus hanya memandangku, sementara Zain saat itu berbaik hati menjawab pertanyaanku.

“Baiklah, sudah jelas pelakunya,” kataku.

“Pelaku dibalik semua ini?” tanya Firdaus.

Kujawab, “Ya, tapi aku menyampaikannya besok, hari ketiga acara kita.”

“Maukah Anda bekerja sama dengan kami?” tanyaku.

“Tentu, aku sendiri tertarik mendengar siapa pelakunya,” jawab Kakak Zain.

Komentar