Rabu - 17 Juli. Hari ketiga dan terakhir untuk acara Masa Ta’aruf Siswa Madrasah.
“Halo semua!” ucap Kakak Zain dengan santai. “Ini sudah hari ketiga, berarti semua berakhir di sini.” Suasana menjadi ricuh, seolah para siswa tidak ingin kegembiraan berakhir begitu saja.
“Saya, mewakili OSIS, meminta maaf atas segala kejadian yang terjadi di Matsama ini, dari menghilangnya barang-barang kalian sampai diculiknya aku beberapa hari yang lalu.”
“Kami berjanji, kami akan mengungkap siapa orang yang melakukan hal itu, dengan bantuan teman kita yang bernama Muhammad Idris.”
Ketika namaku dipanggil, aku memberanikan diri untuk berdiri dari tempat duduk dan menuju ke depan. Zain turun dari podium dan menyerahkan mikrofon kepadaku.
“Perkenalkan, namaku Muhammad Idris, panggil saja Idris. Aku di sini ditunjuk untuk memberitahukan kalian siapa pelaku dibalik kejadian-kejadian ini.”
“Tapi aku tidak mau sendirian, aku minta ditemani teman baruku, Ahmad Firdaus.”
Uniknya, sepertinya hanya satu orang bernama itu, hanya dia. Firdaus pun berdiri dan pergi mendampingiku. Dia sempat kebingungan, itu memang salahku karena belum memberitahukan hal ini lebih awal.
Aku mulai memaparkan, atau yang lebih suka kusebut sebagai memberikan deduksi. “Pada intinya, ini semua disengaja.”
“Mari kita mulai dengan barang yang menghilang.”
“Aku mengambil contoh dari tas biru Firdaus. Dia bercerita bahwa dia menaruh tasnya paling belakang, tertutupi oleh tas lainnya. Ketika dia mencarinya, ternyata menghilang.”
“Kami mulai mencari tas itu dan menemukannya di musala, tepat di samping ruangan ini. Di sana juga ada beberapa barang milik kalian yang ditaruh di sana, sepertinya kalian juga sudah mengambilnya. Firdaus menyadari sesuatu yang aneh, hanya barang-barang yang ditaruh paling belakang yang terletak di sana.”
“Aku memiliki teori bahwa sebenarnya barang-barang diambil secara acak namun diletakkan di tempat tertentu. Semakin jauh kalian menaruh barang, semakin dekat untuk ditemukan. Hal ini kusadari setelah mendengar pembicaraan kalian.”
“Lanjut untuk yang kedua, penculikan Kakak Zain. Sama seperti menghilangnya barang itu, hal ini disengaja. Buktinya bahwa kejadian ini didramatisasi, padahal mereka bisa saja menculiknya langsung tanpa mengatur pencahayaannya.”
“Di sini aku memiliki teori yang hampir mirip dengan sebelumnya, tapi sekarang semakin berat suatu barang, semakin dekat dia ditemukan. Lagipula seandainya memang ada penculik, maka ‘kak’ Zain akan lebih susah untuk ditemukan.”
Firdaus berbisik kepadaku. “Lalu bagaimana caranya dia bisa berada di musala?”
“Orang ini menurutku susah dipindahkan oleh hanya satu orang. Orang itu adalah….”
“Kakak Mustafa! Keluarlah!” teriakku sambil menunjuk di belakang panggung. “Saya tahu Anda pelakunya.”
Kakak Mustafa muncul dari belakang panggung itu, dan berkata, “Wah, kamu benar sekali,” sambil bertepuk tangan.
“Apa alasan kakak melakukan ini?” tanya Firdaus. Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya itu.
“Bertahun-tahun, para siswa tidak pernah menghargai kegiatan Matsama ini, saking tidak menghargainya, mereka memanggilku kembali.”
“Aku baru saja lulus dari MA Sukamawar ini, dan mereka masih memerlukanku. Aku merelakan semuanya demi acara ini. Tapi mereka tidak menghargainya!”
“Tidak begitu, aku menyukai acara ini,” kata Firdaus. “Tanpa acara ini, belum tentu aku bertemu dengan teman baruku.”
“Aku yakin, di antara orang-orang di sini, ada orang yang meneruskan ide kreatif Anda. Jika Anda mengarahkannya ke jalan yang benar.”
Aku maju dan menyalami Kakak Mustafa. Dia nampak kelelahan, dan akhirnya pingsan. Aku mencoba menyanggahnya. Kemudian sepertinya tim PMR membantu dalam hal ini. Dia pun dibawa menggunakan tandu keluar dari ruangan.
“Ada apa dengannya?” tanyaku.
“Bukankah dia sudah bilang, dia merelakan segalanya?” Kakak Zain menjawabnya. “Sebenarnya aku juga alumni, dan sejak dulu dia selalu berusaha sampai lupa diri.”
“Apa yang dia katakan itu benar. Selama kami menjabat, acara Matsama tidak pernah dihargai. Sekarang, dia punya ide, bagaimana kalau acaranya dikacaukan saja. Dan kalian malah lebih menghargainya.”
“Aku melihat dengan jelas, ketika Mustafa berpidato, ekspresi kalian menandakan bahwa sebenarnya kalian tidak menginginkannya. Yang kalian inginkan hanya keseruannya.” Jawaban Kakak Zain yang penuh emosi itu, memaparkan apa yang sebenarnya memotivasi Kakak Mustafa untuk melakukan ini.
Kakak Zain kemudian meminta agar mikrofon yang kupegang dari tadi agar dikembalikan. “Ya, demikianlah acara kita, berakhir di sini. Saya mewakili seluruh anggota OSIS mengucapkan maaf atas banyaknya kesalahan dalam acara ini.”
Aku menyalami Kakak Zain, dia menjabat tangan dan memelukku. “Terima kasih, sekarang semua sempurna.” Dia melepas pelukan dan menunjukkan senyuman padaku.
Anggota OSIS pun meninggalkan ruangan setelahnya. Aku hanya tersenyum, sementara Firdaus kebingungan. Para siswa mulai meninggalkan ruangan. Kami mengambil tas kami di tempat penaruhan barang, sembari keluar.
“Apa maksudnya?” tanya Firdaus yang rupanya mendengar ucapan Zain.
“Bukankah kubilang, semuanya sudah dirancang. Aku yakin naskah mereka diperbarui beberapa saat sebelum acara karena aku memberitahu pelakunya. Dan seolah aku yang menyempurnakannya.”
Kami berjalan, sambil mencari kelas kami.
“Oh ya, kamu pilih jurusan apa?” tanya Firdaus.
“Aku jurusan Agama, kamu?”
“Aku jurusan Bahasa, huft.”
“Kenapa?” tanyaku bingung.
“Hanya saja aku berharap kita bisa sekelas dan mengenal lebih lanjut.”
“Kita bisa gunakan waktu istirahat untuk dan mengisinya dengan berbicara nanti.”
“Ya, terkadang hidup kita ini perlu diisi.” Aku masih bingung dengan apa yang Firdaus maksud saat itu.