Senin - 29 Juli. Aku berjalan mengelilingi sekolah baruku ini. Aku melakukannya karena mendengar ocehan para guru, tentang sesuatu yang mereka rahasiakan sejak dahulu. Ada hal besar yang akan terjadi hari ini dan saat itu aku belum mengetahuinya.
Saat aku berada di lorong utama, Firdaus menyapaku dari belakang. Dia menanyakan tujuanku, kujawab hanya sekedar berjalan biasa dan menanya balik kepadanya. Tujuannya adalah mengembalikan kamus ke perpustakaan. Aku menemaninya.
Sesampainya kami di perpustakaan, ternyata penjaganya tidak ada di sana. “Hm, kalau begitu, buku ini kuletakkan di tempat asalnya dulu, nanti saja aku melapor, karena aku bergegas,” ucap Firdaus sambil berjalan ke salah satu rak buku.
“Bergegas kemana?” tanyaku.
“Kemana lagi kalau bukan ke kelas.”
Aku memintanya untuk tinggal sebentar di sini karena ada yang ingin kubicarakan dengannya. Ketiadaan penjaga menjadi sebuah kesempatan yang sangat bagus untuk membahas ini.
Aku menanyakan dia tentang hal yang kudengar dari ocehan para guru itu. Rupanya dia lebih mengetahui dariku. “Ada sebuah ruangan di sekolah ini yang menyembunyikan semua barang-barang penting. Entah apa maksudnya.”
Dia menjelaskan bahwa mendapat informasi itu dari kakaknya yang sudah meninggal. Aku meminta izin kepadanya untuk menanyakan hal itu. Dia bercerita bahwa kakaknya meninggal di sekolah ini sepuluh tahun yang lalu, saat dia masih berusia enam tahun. Dia menjelaskan bahwa ada hal aneh. Punggung kakaknya terluka parah dan ketika jasadnya tiba di rumah, warna kulitnya sudah pucat.
“Aku turut berduka cita,” kataku sambil menunduk.
Saat aku menunduk, aku melihat bayangan berwarna di bawah meja baca Firdaus. Aku langsung tiarap dan berusaha mengambil barang itu. “Buku Alumni MA Sukamawar Tahun Ajaran 2009/2010.”
Di halaman ketiganya bertuliskan “Mengenang Andri, salah satu siswa terbaik kami yang tewas di sekolah ini”. Firdaus melihat halaman itu dan mengatakan bahwa itu kakaknya.
“Tapi, kenapa mereka memilih kata ‘tewas’ daripada ‘meninggal’. Bukannya lebih halus?” tanyaku.
Firdaus menjawab bahwa dia tidak tahu sama sekali tentang hal itu. Tidak lama kemudian, penjaga perpustakaan datang dan berkata, “Hei! Apa yang kamu lakukan dengan buku itu?! Sini serahkan!”
Aku pun sontak berdiri dan menyerahkan buku yang diambil tadi. Firdaus kemudian juga berdiri dan berkata kepada penjaga perpustakaan itu, “Anu, pak! Saya kemarin ‘kan minjam kamus, barusan saya kembalikan, saya juga sudah letakkan di raknya.”
“Atas nama?”Penjaga perpustakaan itu memiliki tanda nama di bajunya yang bertuliskan Bambang.
“Ahmad Firdaus.” Beliau pun membuka buku catatannya dan menuliskan hal tersebut.
“Kalian tahu? Kalian sudah keterlaluan, mengambil buku ini tanpa izin.” Bapak Bambang mengambil buku alumni itu dari tanganku. “Maka oleh karena itu, keluar! Jangan kembali lagi!”
Kami diusir. Aku meminta maaf kepada Firdaus atas kesalahanku. Dia menjawab, “Tidak apa-apa.” Kami hanya berjalan di lorong, dengan keheningan yang terasa.
“Kamu ingin ke kelas kah?” tanya Firdaus.
Aku menjawabnya dengan tidak. Aku mendengar rapat yang akan diadakan nanti berdampak dengan ditiadakannya pelajaran. Mereka katanya akan membahas sebuah hal lebih lanjut.
Firdaus nampak kesal. Aku memahami kekesalannya karena kami hanya sempat belajar di hari Sabtu kemarin dan tidak belajar lagi. Aku berpikiran positif bahwa para guru menyusun ulang jadwal agar tidak tabrakan dengan kelas lain
“Oh ya, bukankah sekolah ini memiliki lantai dua? Pernahkah kamu ke sana?” Firdaus menggeleng tanpa suara. “Kita ke sana yuk!” Aku mengajak Firdaus agar dia tenang. Dia menerima ajakanku. Kami mulai berjalan menuju satu-satunya tangga untuk ke lantai dua.
Sesampainya di lantai dua, ternyata ada bapak kepala madrasah yang berdiri di dekat balkon. Dari tanda nama yang tertera di baju beliau, sekilas terlihat tulisan Bagus.
“Halo pak!” sapa Firdaus.
“Halo nak!” jawab Bapak Bagus sambil memandang kami. “Sedang apa kalian di sini?”
“Kami ingin jalan-jalan,” jawabku.
“Oh, silahkan. Tapi bapak peringatkan jangan pergi ke sana!” ucap Bapak Bagus sambil menunjuk ke suatu arah.
“Siap pak!” kata Firdaus.
“Bapak turun dulu ya, kalian hati-hati,” kata Bapak Bagus sambil berjalan menuju tangga.
“Baik pak!” jawabku. Nyatanya, aku malah penasaran dan tidak bisa menahan untuk mendekat. “Kira-kira apa yang ada di sana ya?”
Firdaus diam, tapi dia mengikutiku. Aku tetap berjalan sampai tak sengaja terinjak sebuah pintu jebakan dan hampir terjatuh. Firdaus berhasil menangkapku. Aku hanya terduduk, rasanya jantungku mau copot.
Cahaya masuk ke ruangan itu dari pintu ini. “Ke mana ini?” tanya Firdaus sambil menengok ke bawah.
Aku teringat kejadian pekan tadi. Kami mencari tas biru Firdaus, ingin membuka sebuah ruangan namun terkunci. Firdaus nampaknya menyadari hal itu juga, mencurigai bahwa ruangan itu adalah ruangan yang terkunci kemarin.
Firdaus menyuruhku menunggu di sini sementara dia turun ke lantai satu. Aku menunggunya sambil melihat ke dalam ruangan itu. Cahaya dari sini tidak cukup menerangi ruangan itu. Aku melihat beberapa barang namun aku tidak tahu itu apa.
Firdaus tiba di ruangan itu, aku bisa melihatnya dari atas sini. Dia membiarkan pintunya terbuka, namun aku memilih untuk menutup pintu jebakan ini. Aku yang sudah bisa menenangkan diri, turun juga dan mencari dimana dia. Aku sangat terkejut karena ternyata benar, itu ruangan yang terkunci kemarin.
Banyak hal menarik yang kami temukandi sana. Mulai dari pecahan kaca, patahan kayu, dan beberapa paku yang dilumuridarah sampai ke beberapa tali yang terlihat seperti senar gitar, biola dandrum. Terlihat juga di ujung ruangan ini, tuts piano yang berhamburan serta recorder yang patah.