arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Meski pintu yang terbuka lebar, tapi baru sebentar di dalam ruangan itu, keringatku mulai bercucuran. Ruangan ini begitu pengap. Aku pun keluar dan Firdaus mengikuti. Kami memilih taman kecil di sekolah ini untuk tujuan berikutnya.

Aku menunjuk sebuah bangku dan duduk di sana. Menikmati angin sepoi-sepoi kemudian berbicara dengan Firdaus. Pembahasan utamanya adalah tentang meninggalnya kakaknya. Dia sudah bersedia melanjutkan pembicaraan yang kami mulai di perpustakaan.

Aku sangat tidak ingin melukai perasaannya, namun aku mencurigai bahwa kakak Firdaus dibunuh. Firdaus juga memiliki teori yang sama. “Setelah melihat apa yang kita temukan tadi, aku rasa kita menemukan buktinya. Luka di punggungnya, aku tahu sebabnya.”

“Tapi menurutmu, siapa pelakunya?”

Kami berbagi teori tentang siapa pelakunya. Firdaus menduga bahwa Bapak Bambang sang penjaga perpustakaan adalah orangnya. Gelagatnya yang aneh saat kami di sana, membuatnya sangat mencurigai orang itu.

Nyatanya, teoriku berbeda. Aku menduga bahwa Bapak Bagus sang kepala madrasah adalah pelakunya. “Apa alasanmu menganggap beliau pelakunya?” tanya Firdaus.

“Masih ingat ketika kita ke lantai dua tadi?” ucapku sambil memandang ke belakang, tepatnya ke lantai dua.

“Ya, tentu.”

“Jika beliau memperingatkan kita untuk jangan pergi ke ujung, maka beliau akan memastikan agar kita tidak pergi ke sana. Ternyata, malah turun. Seolah ingin membunuh kita. Bagaimana jika hal yang sama terjadi dengan kakakmu?”

Kami terdiam sejenak. Terasa angin bertiup semakin kencang. Menerbangkan kelopak-kelopak mawar yang berguguran. Salah satunya mengenai wajahku. Aku mengambilnya. “Layu.”

“Tunggu, jika kakakku dibunuh oleh Bapak Bagus, kenapa dia membanggakan prestasi olimpiade Jepang itu? Seharusnya apa yang dilakukan kakakku adalah prestasi terhebat yang pernah diraih oleh MA Sukamawar ini.”

“Mungkin mereka menutupi meninggalnya ibuku, yang bisa saja dibunuh di hari yang sama.”

“Meninggalnya ibumu?” tanyaku.

Firdaus hanya diam, namun dia nampak begitu marah dengan kepala madrasah. Tiba-tiba di tengah keheningan, terdengarlah bunyi sirene mobil polisi mengarah ke sekolah kami. Beberapa polisi keluar dari mobil dan mulai berjalan ke arah ruang kepala madrasah.

Kemarahan Firdaus nampak mulai membutakannya. Dia berlari, mengarah ke salah satu polisi, mengambil pistol yang dipegang di tangan kanannya dan menuju ruangan kepala madrasah. Polisi mulai mengejarnya, begitu juga aku.

Dor!

Aku cukup dikejutkan dengan bunyi tembakan itu. Aku merasa pengejaranku gagal total. “Apa yang kau lakukan, ‘dik?” tanya Brigadir Polisi Kurniawan yang diambil pistolnya tadi. Aku mengetahuinya setelah melihat pangkat dan tanda nama pada seragam beliau.

Anehnya, malah Bapak Bagus yang dibawa keluar dengan tangan diborgol. Aku hanya bisa bertanya kepada diri sendiri, “Tunggu, apa yang terjadi barusan?”

Siswa sempat berkumpul dan heboh, namun setelah melihat kejadian barusan, mereka mulai berjauhan dari lorong. Akhirnya, aku dapat dengan mudah masuk ruangan itu dan aku menemukan Firdaus yang berdiri tegak, seolah kehilangan kesadaran. Aku mendekati meja kepala madrasah, terdapat hitungan mundur yang hampir berakhir di komputernya.

Aku sangat terkejut dan panik saat itu. Aku sangat mengenal bahwa yang sedang berjalan di komputer itu adalah hitungan mundur untuk bom waktu. Kepanikanku melupakan apa yang pernah kupelajari selama ini.

“Firdaus!” seruku sambil mengguncang tubuhnya.

Pandangannya mulai berisi. “Peluru kosong….” lirihnya.

“Persetan dengan hal itu! Kita dalam bahaya! Ada bom waktu! Matikan itu!”

“Aku gak bisa! Aku belum pernah belajar!”

“Kalau begitu, kita keluar. Cari guru yang bisa!” ucapku sambil menarik tangan Firdaus.

Kami pergi ke ruang guru. Ternyata ruang guru kosong. Aku mencurigai bahwa rapat itu hanya memberitahu bahwa akan terjadi ledakan itu. Ocehan yang mereka bahas sejak pagi hari.

Tepat mobil polisi meninggalkan madrasah kami, terjadilah ledakan. Dentumannya nyaring. Anehnya, ruangan yang kami datangi tadi yang diledakkan. Namun perpustakaan yang tepat berada di sebelahnya menjadi korban, dindingnya hancur sebagian. Menyisakan api yang belum padam.

Firdaus masih kesal, dia memberitahukan bahwa bisa saja barang-barang yang di dalam ruangan itu menjadi bukti bahwa sekolah ini lebih kelam daripada yang diceritakan masyarakat. Aku berusaha menenangkannya saat itu.

Tak lama kemudian, terdengar lagisuara sirene, namun kali ini pemadam kebakaran. Mereka datang untuk menyiramiruangan yang terbakar itu. Tapi secara tidak langsung, barang—yang bisa saja menjadi bukti kata Firdaus itu—hangus tiada bersisa.

Komentar