Sabtu, 3 Agustus – Sepulang sekolah mengingat akhir pekan, aku dan Firdaus merencanakan jalan-jalan sehingga aku menunggu di depan rumahnya. Dia menunjukkan rumahnya sepulang sekolah pada Senin tanggal 15 Juli yang lalu, mengingat kami kebetulan pulang bersamaan sejak hari itu.
Setelah menunggu cukup lama, Firdaus keluar dari rumahnya. Dia memakai kemeja lengan pendek berwarna biru dengan garis-garis putih. Dia meminta maaf karena aku menunggu lama, padahal tidak apa-apa bagiku. Dia kemudian menanyakan ke mana tujuan pergi, padahal dia yang mengajakku.
“Bagaimana kalau ke Rumah Maneken Lilin? Katanya tempat itu sangat terkenal.”
“Ide bagus! Aku belum pernah ke sana juga sebelumnya.”
“Nah, berarti kita menemukan tujuannya.”
“Ayo kita ke sana!” kata Firdaus dengan semangat sambil ingin berlari, tapi aku menarik lengannya.
“Eits, tunggu dulu. Katanya jalan-jalan, tapi kok lari?” kataku sambil tersenyum.
“Baiklah,” katanya seolah kecewa.
Saat itu kami berbicara tentang pakaian yang kami kenakan. Dia memuji pakaianku. Aku saat itu memakai baju kaos putih namun dengan jubah, serta topi bundar coklat di kepalaku. Gaya yang menurutku sederhana ini sangat kusukai untuk dibawa jalan-jalan.
Aku mengatakan bahwa pakaian ini pemberian orang. Sampai saat itu, belum tahu siapa yang memberi.
“Benarkah? Andai aku punya seperti itu.”
“Masih banyak yang seperti ini di rumahku. Jika kau mau, aku bisa memberikannya.”
“Ah, tidak perlu. Kurasa yang kupakai sekarang adalah pakaian kesukaanku.”
“Dan itu bagus,” ucapku sambil tersenyum.
Sejak saat itu, kami hanya diam, seakan kehabisan topik pembicaraan sampai kami tiba di tujuan. Firdaus dengan begitu percaya dirinya menanyakan satpam di sana, “Pak? Ini Rumah Maneken Lilin kan?” Satpam itu hanya mengangguk sambil menghirup kopi.
“Kamu kenal beliau?” tanyaku.
“Kalau gak salah nama beliau Wawan. Beliau katanya dulu pernah menjadi satpam di sekolahan kita.”
Aku mengangguk, dan kami pun memasuki gerbang yang dihiasi mawar itu. Sesampainya di depan pintu, kami disambut oleh seorang wanita.
“Halo Idris dan Firdaus, namaku Rina dan selamat datang di Rumah Maneken Lilin!” sambutnya.
“Bagaimana Anda bisa tahu nama kami?” tanyaku.
“Sebentar lagi kalian akan mengetahuinya, jadi silakan masuk.”
Kami pun masuk, dikagumkan oleh banyak maneken lilin. Beberapa di antaranya ada yang kukenal seperti walikota Sukamawar ini, dan–
“Kakakku….” kata Firdaus memegang wajah maneken lilin itu.
“Dia kakakmu kan Firdaus? Aku turut berduka cita atas meninggalnya, dia sangat berjasa dalam mengharumkan Sukamawar.”
“Membuatkan gerbang Anda?” tanyaku kemudian tertawa kecil. Aku baru sadar bahwa ini adalah lelucon yang sangat buruk.
“Bukan itu maksudnya Idris, dia dulu memenangkan olimpiade di Jepang. Iya kan Firdaus?” katanya. Firdaus yang masih terkagum hanya mengangguk.
“Karena kalian sepertinya baru berkunjung ke sini, sebaiknya kuperlihatkan proses pembuatannya,” katanya.
“Benarkah?” tanya Firdaus.
“Tentu, mari ikuti aku!”
“Oh ya, bukankah Anda mau memberitahu kenapa Anda tahu nama kami?” tanyaku.
“Astaga, aku lupa.” Kami terus berjalan dan sampai di ruang pembuatan itu.
“Tapi sebelum itu, perkenalkan dulu. Ini anak-anakku, yang ini namanya Manunggal,” katanya sambil menunjuk anak yang tertinggi.
“Yang ini namanya Dwi,” sambil menunjuk remaja berkacamata.
“Dan yang ini namanya Tri,” sambil menunjuk satu-satunya gadis di sana.
“Kami bisa mengenal kalian karena kami bekerja sama dengan wali kota meneliti dengan detail setiap warga kota Sukamawar ini, sehingga kami dapat membuatnya secara persis.”
“Ooh,” ucapku dan Firdaus bersamaan.
“Nah, sekarang kebetulan kami memproses maneken kalian. Kalau mau kami juga akan membuatkan maneken duplikat, siapa tahu kalian ingin meletakkannya di depan rumah kalian,” kata Mbak Rina.
“Tidak perlu, taman mawar di depan rumah kami sudah cukup bagus,” kataku. Seharusnya aku menerimanya saja.
“Kamu Tri, kamu sedang membuat apa? Kok berbeda dari yang lain?” tanya Mbak Rina pada Tri.
“Ini? Ini namanya Thyrsos,” jawabnya polos.
“Apa itu Thyrsos? Semacam dinosaurus kah?” kata Dwi. Kemudian Dwi dan Manunggal menertawakannya.
“Ini tongkat bodoh!” jawab Tri kesal sambil membanting buatannya. Tri kemudian pergi, sepertinya dia merajuk. Aku merasakan sesuatu kejanggalan, namun tidak tahu itu apa.
“Kalian sih….” kata Mbak Rina.
Mbak Rina kemudian pergi menemui Tri. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Tri sepertinya menolak ajakan Mbak Rina, dia mulai menjauh sampai tak terlihat olehku.
“Tunggu dulu, di mana pisauku yang satunya?” tanya Dwi sambil mencari-cari sampai ke bawah meja.
“Yang kecil itu ‘kan? Mungkin di kamarmu? Aku tadi melihatmu membuat-buat sesuatu,” jawab Manunggal sambil mengukir maneken yang sepertinya itu aku.
“Oh iya juga, kalau begitu aku ke sana dulu,” kata Dwi meninggalkan pekerjaannya.
“Maafkan yang barusan, Tri memang sensitif,” kata Mbak Rina.
“Tidak apa, tapi aku juga penasaran gimana hasil dari manekenku,” jawab Firdaus.
Mbak Rina langsung menjawab perkataan Firdaus dengan dia yang mengerjakannya. Firdaus sempat tidak percaya, namun Mbak Rina menegaskan bahwa sebagai pemilik rumah tidak mungkin tidak bisa. Sampai kami dikagumkan oleh kinerja beliau yang begitu cepat.
“Nah, sudah jadi” kata Mbak Rina dan Manunggal bersamaan.
Firdaus terlihat kagum. Dia memegang maneken itu. Memang belum jadi sepenuhnya karena bisa saja dicat nanti, tapi hasil yang ada ini saja sudah menakjubkan kami.
Namun, aku menyadari sesuatu hal. “Kenapa Dwi lama sekali?” Firdaus nampaknya menyadari hal itu juga.
Dan tiba-tiba kami mendengar suarateriakan, sepertinya suara Tri. Mbak Rina kemudian berlari menuju sumber suara, aku dengan sontak mengikuti beliau. Sehingga sampailah kami di sebuah kamar, Tri yang duduk di lantai dengan muka yang pucat menunjuk ke dalam pintu yang sudah terbuka.