Mbak Rina dan aku melihat ke dalam, dan ruang itu terbakar. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dwi tergantung dengan dada tertusuk pisau oleh tangannya, dan dia memasang sayap.
Mbak Rina terpaku diam sejenak melihat hal itu. Dia melihat ke arah yang tidak menentu, seolah ingin meminta bantuan. Kemudian datanglah Firdaus dan Manunggal yang berlari juga. Tak lama setelah itu, datanglah Pak Wawan dengan membawa handuk basah.
Tak lama kemudian, api berhasil dipadamkan. Setelah itu, Pak Wawan memberi isyarat kepada Manunggal untuk melepas tali yang menjerat leher Dwi. Manunggal yang sepertinya paham, mengangguk kemudian mendekati Dwi.
Tap!
Manunggal dengan refleksnya mengangkat kaki, dan dia memandangi Dwi. Kuperhatikan sayap itu, sepertinya terbuat dari lilin. Ruangan yang panas itu nampak membuatnya meleleh.
Manunggal mengambil kursi, menaikinya dan melepaskan sayap yang dipasang Dwi dahulu. Pak Wawan menyambutnya perlahan karena terlihat masih panas kemudian pergi ke ruang pembuatan.
Sementara itu, Manunggal berhasil menurunkan Dwi dengan bantuan Mbak Rina. Setelah berhasil diturunkan, Manunggal mencabut tusukan pisau itu.
“Ya, ini pisau yang dia cari tadi,” katanya sambil menunjukkan pisau itu kepada kami. Sementara itu Mbak Rina masih tidak bisa berkata-kata dan terus membangunkan Dwi, berharap dia masih hidup. “Mungkin ia merasa bersalah melukai perasaanmu, Tri, sehingga membunuh dirinya,” lanjut Manunggal.
Mbak Rina langsung memalingkan wajahnya ke arah Manunggal. Dia terlihat kesal setelah mendengar ucapan tersebut.
“Seharusnya hal itu tidak perlu, aku sudah memaafkannya,” jawab Tri.
Firdaus bertanya kepadaku dengan bisikan. “Seandainya dia bunuh diri, kenapa harus seribet ini?”
“Aku akan menelepon polisi!” ucap Mbak Rina tegas. Beliau nampaknya ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Manunggal. Aku menduga beliau tidak ingin berpikir bahwa Dwi bunuh diri.
Pak Wawan sontak memberi isyarat ‘jangan’. Kepala beliau yang menggeleng berkali-kali dan tangan yang melambai. Aku sangat heran dengan beliau.
Firdaus kemudian menyarankan untuk menelepon ambulans saja, agar jasad Dwi dapat diautopsi. Mbak Rina kagum dengan ide tersebut. Beliau bergegas pergi menuju telepon di ruang utama.
Aku salut dengan sarannya. Kami bisa mengetahui apakah dia memang bunuh diri atau dibunuh dengan hal tersebut.
Berselang beberapa menit, datanglah ambulans. Pak Wawan dan Manunggal mengangkat Dwi, aku dan Firdaus mengikuti mereka sampai di depan pintu. Para perawat membukakan pintu sementara Pak Wawan dan Manunggal memasukkan Dwi ke dalam.
Manunggal nampak kelelahan, dan dia langsung mencari ibunya. Dia menanyakannya kepada kami. “Beliau masih di ruang utama,” jawab Firdaus.
“Oh ya? Kalau begitu, aku mencarinya dulu.” Manunggal masuk lagi ke rumah, diikuti pak Wawan.
Aku mendekati para perawat yang berada di ambulans. Firdaus hanya mengikutiku. “Saya meminta orang ini diautopsi secepatnya, karena saya ingin tahu penyebab kematiannya,” kataku.
“Kami usahakan, tapi kemana kami akan menyatakan hasil autopsi?” jawab salah satu perawat.
“Kalian bisa meneleponku di nomor ini,” kata Firdaus sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Dia akan menyebutkan nomornya. Perawat itu meminjam ponsel sang supir sementara menyimpan nomor yang disebutkan Firdaus.
Urusan kami sudah selesai. Pintu ambulans ditutup dan pergi. Aku menanyakan kepada Firdaus, “Kamu bawa ponsel?” tanyaku.
“Tentu, aku selalu membawanya bersamaku. Ada apa memangnya?” jawab Firdaus.
“Tidak apa-apa, hanya bertanya.”
Kami berdiskusi sebentar. Aku menanyakan apakah kami akan pulang, apalagi setelah orang-orang di rumah ini berada di dalam. Namun Firdaus sepertinya masih ingin melihat-lihat.
“Baiklah, kalau begitu kita masuk lagi.”
Kami mulai berjalan di rumah ini. Firdaus terlihat masih semangat, dengan berjalan lebih dahulu dariku.
Aku mulai memerhatikan secara perlahan, ternyata mereka membuat ruang-ruang khusus untuk sebuah rekayasa adegan, seperti pidato pertama walikota, pembangunan taman-taman mawar. Ada juga ruangan yang berisi patung Zeus dan Daedalus.
Anehnya, dari jauh ada sebuah ruangan, didalamnya maneken seukuran manusia yang begitu mirip dengan Manunggal, duduk di kursi, di dekatnya ada maneken seukuran manusia yang begitu mirip Pak Wawan memegang katana. Firdaus benar-benar memerhatikannya.
Tiba-tiba maneken pak Wawan bergerak, aku tersadar mereka bukanlah maneken. Pak Wawan mulai mengayunkan pedangnya ke belakang. Ayunan itu mengarah tepat kepada Manunggal.
Srak!
Tebasan itu langsung memenggal lehernya, kepalanya terpental ke dinding dengan darah berserakan dimana-mana. Pak Wawan memandangiku, dan melempar katana-nya ke lantai. Aku yang melihat itu agak gemetar, namun Firdaus hanya berdiri di sana, seperti kehilangan pikirannya. Kemudian pak Wawan berlari dan menghilang entah kemana.
“Ada apa?” tanya Mbak Rina yang sekarang berada di ruang tengah ini. Wajah beliau terlihat sedikit lebih tenang dibandingkan dengan saat melihat Dwi tadi.
Mbak Rina sepertinya pergi sebentar setelah menelepon dan kembali. Beliau keheranan dengan kami yang memandang sebuah ruangan. Mbak Rina pun mendekati ruangan itu, dan berteriak terkejut ketika melihat dalamnya. Beliau langsung pingsan dan suara jatuh terdengar cukup keras.
“Apa yang terjadi?” tanya Tri. Dia melihat ibunya pingsan dan berusaha menyadarkan. “Kenapa kalian diam saja? Bantulah aku!”
Firdaus mulai sadar, pandangannya kembali berisi. Setelah melihat Mbak Rina yang pingsan, dia juga membantu menyadarkan. Entah kenapa, aku memerhatikan Tri. Wajahnya seperti … begitu berkeringat.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanyaku.
“Aku memakai pelembap wajah, memangnya kenapa?” jawabnya.
“Tidak apa-apa.”
“Haha, kamu ini aneh.”
Kemudian aku melihat Pak Wawan seperti datang dari kamar mandi, dia berjalan dengan tangan yang basah secara santai menuju posnya. Aku memerhatikannya selama berjalan. Aku kembali merasakan kejanggalan, juga tidak tahu itu apa.
Aku melihat Mbak Rina siuman. Dia langsung bertanya, “Apa yang terjadi di ruangan itu barusan?”
“Aku juga penasaran,” kata Tri.
Aku menceritakan kembali apa yang barusan kulihat. Mbak Rina dan Tri terkejut. Aku meminta Firdaus untuk menghibur mereka karena setelah itu pergi untuk menanyakan Pak Wawan beberapa hal.
“Apa alasan Anda tidak membolehkan kami menelepon polisi saat menemukan jasad Dwi?” Itu saja yang ingin kutanyakan.
Aku juga memerhatikan posnya, seperti ada monitor kecil yang menampilkan rekaman CCTV dari berbagai sudut di rumah ini. Perdebatan keras sempat terjadi, tapi aku memilih mengalah dan hanya meminjam sapu tangan.
Setelahnya aku menyembunyikan sapu tangan itu dan dengan berani masuk ke ruangan pembunuhan sadis tadi. Aku juga meminta Firdaus agar mengalihkan perhatian Mbak Rina dan Tri sementara aku di sana.
Aku menyadari ruangan ini terlihat aneh. Semacam tirai tergantung miring di atap ruangan.
Aku kemudian memeriksa jasad Manunggal. Rupanya kepalanya dipakaikan kepala maneken yang dicat sedemikian rupa sehingga mirip dengan wajahnya. Aku melepas kepala maneken itu dan melap wajah Manunggal. Aku yakin hal sesederhana ini akan membantu dalam kasus ini.
Aku kembali bersama mereka, kemudian menanyakan beberapa hal. Aku memulainya dengan Mbak Rina. Jawaban dari semua pertanyaanku dapat disimpulkan bahwa beliau masuk ke kamar untuk menenangkan diri dan melupakan sejenak apa yang terjadi kepada Dwi. Dia kemudian keluar, melihat ruangan pembunuhan itu dan terkejut melihat Manunggal.
Aku mulai bertanya kepada Tri. Hal pertama yang kutanyakan adalah tentang penemuan Dwi, mengingat dia adalah orang pertama yang menemukannya.
“Aku saat itu ingin mengambil sesuatu dari kamarnya, ternyata pintunya tertutup, padahal biasanya dia membuka pintunya. Ketika kubuka, dia sudah tergantung di sana.”
Aku kemudian menanyakan tentang Manunggal. Ketiadaannya saat kejadian menjadi salah satu hal yang aku curigai.
“Aku di kamarku, tadinya aku ingin menemui seseorang, makanya aku memakai pelembap wajah. Ternyata baru saja selesai, aku mendengar ibu berteriak dan ke sinilah aku.”
“Begitukah? Huft….”
Ponsel Firdaus berdering, dia merogoh sakunya. Dia menjawab telepon itu, dan menyerahkannya padaku.
“Terima kasih,” lanjutku sambil menghentikan panggilan.
“Baiklah, sekarang sudah jelas pelakunya,” ucapku dengan percaya diri.
“Pak Wawan, ke sini!”