Firdaus cukup terkejut. Dia berkata bahwa sudah menduga Pak Wawan pelakunya. Apalagi dengan bukti bahwa Pak Wawan tahu kamar Dwi terbakar entah dari mana dan membunuh Manunggal tepat di depan matanya.
“Sayang sekali, bukan aku,” jawab Pak Wawan.
“Lalu, siapa?”
“Tri,” jawabku. Semua terkejut akan ucapanku.
“Apa alasanmu menuduhku?” ucap Tri.
Dari sinilah dimulai pemaparan–deduksiku. Pertama aku menjelaskan dari hasil autopsi Dwi yang baru saja disampaikan.
“Dwi meninggal karena tusukan pisau tepat mengenai jantungnya. Seandainya dia benar-benar bunuh diri, seharunya menggantung leher sudah cukup. Tidak mungkin seribet itu.”
Tri hanya terdiam, aku melanjutkan pemaparanku. Aku menjelaskan bahwa kecurigaan dimulai saat pembuatan Thyrsos itu. Seharusnya tongkat itu terbuat dari kayu, apalagi ketika kami melihat bahwa podium dari rekayasa adegan pidato pertama wali kota tetap terbuat dari kayu. Aku meyakini bahwa saat itulah Tri mengambil pisau Dwi dan membawa ke kamarnya.
Kebetulan sekali sebelum hal itu terjadi, Dwi mungkin membuat sesuatu di kamarnya dan menggunakan pisau itu. Ketika pisaunya menghilang, dia akan menyangka bahwa masih ada di dalam kamarnya.
“Ketika dia masuk ke kamarnya, dia berhasil menemukan pisaunya. Di saat itulah kamu mencekik lehernya. Dia mencoba melawan dengan pisau itu. Ternyata kamu itu sebenarnya kuat dan mengarahkan pisau itu ke jantung dari Dwi.”
Aku menduga bahwa sesuatu yang sebelumnya dibuat oleh Dwi adalah sayap itu, Tri memintanya untuk membuatkan tanpa memberitahukan apa tujuannya.
“Ketika kamu mengetahui bahwa ternyata sayap itu selesai dibuat, tiba-tiba kamu memiliki ide ingin menjadikan Dwi bunuh diri sebagai Icarus, dewa dalam mitologi yunani. Dia mendapatkan sayap dari lilin, namun semakin tinggi dia terbang, sayapnya meleleh.”
“Kamu tidak tahu cara agar terlihat seperti bunuh diri sekaligus menerbangkannya, maka kamu gantung tali yang terikat di lehernya tadi. Kamu juga tidak tahu cara melelehkan lilin selain membakar ruangan itu.”
Pilihan membakar ruangan itu, aku menduganya entah karena Tri masih iba dengan Dwi atau ingin menyelamatkan sayapnya. Kesalahan cara ini hanya satu, dan dibuktikan dengan hasil autopsi itu.
“Lalu bagaimana dengan pak Wawan, dari mana dia tahu kamar Dwi terbakar?” tanya Firdaus.
“Di pos beliau ada monitor CCTV, beliau walau berdiam di sana tapi selalu memerhatikan semua kamar, kecuali kamar Mbak Rina dan Dwi. Dan anehnya, rekaman kejadian kedua pembunuhan itu tidak tertangkap kamera.”
“Bagaimana dengan Manunggal?! Aku sudah bilang aku di kamarku!” Tri mencoba melawan kali ini.
“Kamu berbohong! Kamulah pembunuhnya!”
Aku kemudian menjelaskan bahwa Manunggal sebenarnya sudah tidak sadarkan diri sebelumnya sehingga dengan mudahnya Tri memasangkan replika kepalanya yang terbuat dari lilin. Aku meyakini bahwa Tri juga memakai maneken lilin pak Wawan untuk menipu kami dalam pembunuhan itu dan menyimpannya di kamar.
“Oleh karena itulah wajahmu lembap, karena kamu memasang bagian kepala itu sudah lama.”
Emosiku memuncak saat itu, namun aku memilih mengakhiri analisaku. “Baiklah, aku rasa itu cukup.
“Benarkah itu Tri?” tanya Mbak Rina. Beliau sedari tadi mendengarkan terlihat tidak percaya dan menginginkan Tri bukan pelakunya.
“Ya, aku pelakunya. Semua yang dia katakan itu benar.”
Firdaus terkejut, begitu pula Mbak Rina sampai tidak bisa berkata-kata. “Mengapa kamu melakukannya?” tanya Firdaus.
“Mereka tidak pernah menghargaiku! Ketika aku membuat yang kuinginkan, mereka selalu menghinaku!”
“Biarkan aku bercerita. Dulu aku pernah membuat maneken lilin Dionysus–”
“Dewa Anggur?” tanyaku menyela.
“Ya, dan mereka menghancurkannya!”
“Aku mencoba mengenang maneken lilin itu dengan membuat tongkatnya. Dan itu pun tetap dihina mereka.”
Suasana hening sesaat. Dia kemudian berkata bahwa ucapannya ingin bertemu seseorang itu bukanlah kebohongan. Dia akan bertemu polisi dan menyerahkan diri. Aku yang skeptis memilih menelepon polisi menggunakan ponsel Firdaus yang masih di tanganku.
Beberapa menit kemudian datanglah mobil polisi. Kami mengiringi Tri berjalan menuju ke sana. Dia benar-benar menyerahkan diri. Sebelum mereka pergi, aku mereka mengambil barang-barang bukti, dari pisau Dwi yang ternyata masih berada di tangan Manunggal sampai maneken lilin pak Wawan yang dipakai oleh Dwi.
“Anda punya sapu tangan lagi?” tanyaku.
“Ada, kebetulan tak terpakai, untuk apa?”
Aku menjelaskan tentang cara membuktikan secara kuat. Jika cairan di sapu tangan itu bercampur dengan lilin, maka hal yang di wajah Tri sama dengan wajah Manunggal, yang berada di sapu tangan ini. Aku menyerahkannya.
Polisi itu mengeluarkan sapu tangannya, dan menyapukannya ke wajah Tri. Mereka kemudian pergi. Aku melihat wajah Mbak Rina bersedih. Beliau masih tidak bisa berkata-kata.
“Ada apa?” tanyaku.
“Sekarang, aku sendirian di rumah. Suamiku sudah lama meninggalkanku, dan dia belum kembali.” Beliau berusaha melupakan apa yang terjadi dan memikirkan masa depan. “Perlukah kututup rumah ini?”
“Jangan! Anda bisa menjadikannya sebagai museum!” jawab Firdaus.
“Benar juga, museum belum ada di kota Sukamawar ini ‘kan?” sahutku.
Mbak Rina menerima saran kami. Namun beliau tetap memilih menutup sementara, untuk membersihkan ruang pembunuhan Dwi dan Manunggal. Beliau berjanji untuk membuka kembali setelah jenazah Dwi dan Manunggal dimakamkan.
“Kabari kami.” Ucapan Firdaus itu membuat Mbak Rina tersenyum. Beliau menjawabnya dengan anggukan kemudian masuk ke dalam rumah dan meminta pak Wawan membantunya.
Setelah itu, kami sepakat untuk pulang kali ini, daripada mengganggu mereka. Lagipula kami sudah melihat semuanya sehingga Firdaus juga merasa sudah cukup.
Satu pekan setelah kejadian itu, kami kembali karena diundang oleh Mbak Rina. Firdaus memberitahukannya kepadaku. Ketika kami sampai di sana, tempat itu menjadi ramai, mengingat dulu hanya kami berdua yang mengunjungi.
Aku melihat banyak orang berswafoto di sana. Dan yang unik adalah, maneken lilin keluarga Mbak Rina.
“Siapa pria yang diwakili maneken lilin itu?” tanya Firdaus sambil menunjuk.
“Mungkin suami Mbak Rina,” jawabku.
Di tengah keramaian, terlihat seorang pria berjalan melewati rumah itu. Pria itu mirip dengan maneken yang di depan pintu rumah. Mbak Rina kemudian mengejar pria itu. Mereka pun berhadapan.
“Suamiku?” tanya Mbak Rina.
“Rina?” tanyanya.
Mereka langsung berpelukan di sana.
“Dari mana saja dirimu?”
“Ini salahku, aku bekerja di kantor wali kota dan diberhentikan secara hormat hari ini. Aku masih ingat wali kota menyanjung tempat ini selalu, dan aku tahu bahwa pemiliknya adalah kamu.”
Begitulah pendengaranku akan pembicaraan mereka. Kami terenyuh melihat pemandangan itu.