Sabtu, 17 Agustus – Hari kemerdekaan Indonesia. Orang-orang merayakannya dengan meriah, termasuk masyarakat Sukamawar.
Hari ini, MA Sukamawar sebenarnya diliburkan namun beberapa siswa dari kelas X diminta untuk menghadiri upacara, termasuk aku dan Firdaus. Sebagai sekolah swasta, aku sangat bersyukur masih bisa membeli jas almamater ini dan mengenakannya dengan bangga.
Sekarang aku berada di Lapangan Sukamawar, satu-satunya lapangan yang ada di kota kecil ini berdasar pernyataan Firdaus. Pada barisan MA Sukamawar, aku berdiri bersebelahan dengan Firdaus di belakang.
Waktu menunjukan pukul 08:30 saat melihat jam tanganku, dan upacara tepat dimulai sekarang. Berbagai prosesi dilaksanakan, salah satunya masuknya inspektur upacara.
“Itukah wali kota kita?” tanyaku pada Firdaus.
“Ya, setauku nama beliau Mahmud,” jawabnya.
Kemudian salah satu bagian dari prosesi adalah penaikan bendera, aku ditakjubkan dengan pasukan pengibar akan keserasian mereka.
“Kepada Sang Merah Putih, hormat, g’rak!”
Aku langsung menghormati bendera Indonesia, sambil mendengar nyanyian Indonesia Raya sampai selesai.
“Tegak, g’rak!”
Turunlah tangan dari kepalaku. Menandakan Sang Merah Putih telah sampai ke puncak tiang.
Waktu terus berlalu, sampai upacara selesai dan wali kota pulang. Banyak orang juga pulang, namun ada yang tetap berada di lapangan. Firdaus mengatakan bahwa mereka yang tidak pulang akan mengikuti atau menyaksikan lomba tahunan yang akan diadakan. Lomba tersebut bersifat terbuka dan boleh diikuti oleh siapa saja.
Firdaus menanyakan apakah aku ingin ikut, namun aku memilih untuk menonton saja, mengingat kondisiku yang kurang sehat pada hari itu. Kami pun memutuskan untuk tinggal di sana untuk menonton.
“Hei, Juna! Bukankah kamu sudah ditentukan untuk ikut lomba panjat pinang? Kenapa kamu memaksa untuk ikut lomba dayung?”
“Benar kata Aprillia, kalau sudah ditentukan, kamu tidak boleh mengikuti lomba lain. Itu kan sudah peraturan!”
“Kamu, Septiana, kamu juga kalau ikut lomba dayung, jangan ikut bungee jumping!”
“Dimana Febri? Dia seharusnya ke sini?”
“Aku di sini dari tadi, Lia!”
“Kalian, berhentilah berdebat! Aku muak mendengar ini!”
“Diam kamu Noval!”
Perdebatan itu terdengar di belakang kami. Aku hanya memandang mereka dari jauh. Aku mencoba mengenali siapa yang dimaksud mereka.
“Mereka membahas apa?” tanya Firdaus. Sepertinya Firdaus juga penasaran dengan apa yang diperdebatkan mereka.
“Sepertinya pembagian lomba,” jawabku. Aku hanya berasumsi.
“Apakah berarti mereka satu kelompok atau satu tim?”
“Kurasa iya.”
Kami menjauh karena tidak ingin mendengar perdebatan. Firdaus menunjuk ke taman Sukamawar. Kami ke sana, namun lagi-lagi ada saja orang yang berbicara nyaring.
“Oke, Selvi, kamu sudah paham kan?”
“Paham, Kak Nina.”
“Tunggu dulu, kamu Mia kan? Kenapa ke sini?”
“Aku muak bersama mereka, aku memilih ikut kalian saja.”
Aku juga mencoba mengenali mereka saat itu sebelum kami kemudian pergi ke sisi yang lain. Dan tetap saja ada orang yang berdebat. Aku mulai kesal akan ini.
“Dimana Aprillia tadi?”
“Aku juga mencarinya lo, Okta.”
“Tuh anak emang kampret.”
“Ya gak usah gitu lah, Juliet.”
“Sudah lama aku kesal, Januar.”
“Eh, ini sudah jam sepuluh. Kurasa lombanya akan dimulai sesaat lagi,” kataku. Ini hanya alasanku untuk pergi mencari ketenangan.
“Entah kenapa aku ngerasain sesuatu yang buruk akan terjadi lagi hari ini,” kata Firdaus. Firdaus mengatakan bahwa perdebatan ini penyebabnya.
“Semoga saja tidak, aku tidak ingin momen sakral ini dikotori oleh tangan-tangan tak beradab,” jawabku.
Kami pun pergi ke tempat lomba pertama, Kalimawar, sungai terbesar dan terpanjang di kota ini.
“Mana yang lainnya, Gus?”
“Entahlah Maria, kata Aprillia tadi kita harus menunggu di sini.”
“Sudah capek menunggu, Desi?”
“Gak juga.”
“Nah kayaknya sudah mau mulai nih.”
Aku mendengar pembicaraan itu sambil mengenali mereka. Namun mereka yang berbicara pergi entah ke mana. Akhirnya aku bisa tenang.
“Sungai ini indah ya, Firdaus.”
“Indah, apalagi ketika kelopak mawar berguguran kemudian jatuh ke sungai dan hanyut dibawa arus.”
“Kurasa bukan hanya kelopak mawar,” ujarku menunjuk sungai.
Di sungai terlihat ada seorang wanita, mengambang dengan tangan mendekap dada sambil memegang mawar. Suasana ricuh seketika. Orang-orang mulai berlarian menjauh karena ketakutan melihat hal tersebut. Aku kembali mendengar pembicaraan.
“Mau kemana, Gus?” Pandangan wanita itu mengarah kepada pria yang berlari.
“Itu Aprillia, Desi!
“Mana?”
Desi melihat arah Agus berlari. Dia dengan beraninya terjun ke sungai yang lebar itu. Beruntung saat itu arusnya tidak begitu kencang, dia berhasil menyelamatkan Aprillia itu. Dibawanya ke pinggir sungai dan membaringkannya di siring.
Kemudian Maria mencoba memeriksa keadaan Aprillia itu. “Dia sudah mati,” katanya. Desi menutup mulutnya, menahan rasa terkejut dan takut atas apa yang dilihatnya.