“Jangan bubar!” Seorang pria yang menurutku menjadi pembawa acara langsung mengambil mikrofon. “Tidakkah kalian mengetahui bahwa perlombaan ini dilakukan secara swadaya? Lagipula, memangnya besok masih tanggal 17? Kami tidak ingin membuang uang dan tenaga setelah menyiapkan semua!”
Tim keamanan mulai terlihat dan menghalangi masyarakat bubar. “Tim kami akan menyelesaikan semua! Tetaplah bersama kami sampai acara selesai karena perlombaan baru saja akan dimulai!”
Aku dan Firdaus benar-benar tidak percaya karena mereka–dengan tekad yang kuat–ingin melanjutkan acara meski hal yang baru saja terjadi.
Maria terlihat masih tidak percaya atas apa yang dilihatnya, kemudian berucap, “D-di-Bukankah dia akan tampil setelah ini?”
Agus sempat terdiam. Dia menjawab dengan suara murung, “Diskusi kemarin menyatakan seharusnya memang begitu, Maria. Namun apa daya, kematiannya ini mengejutkan.”
“Bagaimana jika mereka menarik biaya lagi untuk seseorang yang tidak tampil? Siapa yang akan menggantikannya?”
“Entahlah Desi, kita akan menunggu saja mereka tampil di sini.” Agus terlihat menahan sedihnya.
“Apakah mereka seperti ini setiap tahun?” Pertanyaanku tidak terjawab–dan menurutku malah tidak terdengar oleh Firdaus–karena pembawa acara memulai acara begitu saja.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudari! Lomba pertama akan segera dimulai! Lomba ini kita sebut dengan balap dayung, mempertandingkan dua tim terkuat. Tim Rembulan dan Tim Matahari!”
Masyarakat tidak begitu terlihat tertarik untuk menyambut hal tersebut setelah melihat mayat itu, begitu pula aku. Tapi, karena belum pernah merasakan pengalaman 17 Agustus, aku memutuskan untuk mencari bangku dan duduk di sana bersama Firdaus yang mengikuti. Kami hanya melihat dari sini, meski kurang nyaman untuk memandang.
“Dari mana saja kalian?” tanya seorang pria.
“Febri, Septiana,” jawab Agus.
“Oh ya? Kami mencari-cari kalian.”
“Dan juga Aprillia,” sahut seorang wanita.
Aku kembali mencoba untuk mengenali mereka karena menyebut nama masing-masing. Desi masih terlihat sedih dan menunjuk mayat. Mereka yang baru datang itu sangat terkejut.
“Aprillia!” jerit Septiana sambil mengguncang badan Aprillia seakan tidak merelakan kematiannya. Tak selang berapa saat, tim medis dari pihak panitia datang membawa tandu dan mengangkat Aprillia ke tandu tersebut kemudian membawanya ke ambulans.
“Benar ‘kan firasatku, Idris?” tanya Firdaus kepadaku.
“Tidak, itu hanya kebetulan.” Aku mencegah berpikiran negatif.
“Kalian sudah siap?” Pembawa acara itu mendekati kelompok Juna.
“Belum,” sahut Juna yang agak kesal. Dia menghela napas sejenak, nampak memikirkan biaya yang harus dikeluarkan jika tidak dilanjutkan. “Si-siapa yang akan menggantikannya?” tanya Juna.
“Aku,” sahut seorang wanita yang datang tiba-tiba.
“Mia?” Desi mendekati wanita bernama Mia itu dan menamparnya.
Agus kemudian menahannya seraya berkata, “Tenanglah Desi.”
Mia hanya memegang pipi yang baru saja ditampar itu, dan dia malah tersenyum menyeringai.
“Dari mana saja kau?” tanya Juna. Mia hanya diam.
“Maukah kamu menggantikan Aprillia?” tanya Noval. Dia terlihat sangat berharap.
“Kalian baru saja memperlakukanku seperti itu, kemudian memintaku untuk ikut kalian? Cih!” Mia kemudian menjauh entah kemana.
“Kalau begitu, aku saja,” jawab Juliet yang baru datang. Dia bersama Okta dan Januar.
“Juliet? Kamu juga?”
“Kami tidak dianggap?” tanya Okta mewakili Januar.
“Tenanglah kalian, kita harus menang dalam lomba ini!” Noval mulai bertekad. Mereka berusaha semangat untuk memulai kembali meski baru saja kehilangan satu anggota. “Baiklah, sesuai rencana B kita, lomba dayung ini akan diikuti aku, Febri dan Septi. Aprillia bilang dia ingin ikut, tapi setelah kematiannya, aku memilih Juliet karena dia mengajukan diri.” kata Noval.
“Aprillia mati?” tanya Juliet. Dia terkejut atas hal itu. Aku berpikir seandainya dia tiba lebih awal di sini, mungkin akan melihat mayatnya sendiri.
“Iya,” jawab Juna.
“Baguslah! Sudah lama aku menunggu kematiannya!” sahut Juliet. Aku cukup terkejut mendengar hal itu.
“Hei, Juliet. Bukankah sudah kubilang kamu jangan begitu?” Januar mengingatkan.
“Perlombaan akan dimulai, harap kepada peserta agar bersiap-siap!” kata sang pembawa acara.
Mereka pun bersiap-siap ke tempatnya meski masih agak murung, sementara kami kembali berdiri untuk mendekat ke siring sungai itu.
PRIT!
Aku sebelumnya berpikir masyarakat akan berteriak menyemangati para peserta lomba namun setelah beberapa hal yang terjadi, harus merelakan tidak mendengar hal itu.
Tiupan peluit yang dilakukan oleh sang pembawa acara menandakan lomba dayung dimulai. Aku melihat dua perahu, satu berwarna biru dan satu berwarna kuning. Perahu yang berwarna birulah yang dinaiki oleh Noval, Febri, Septi dan Juliet.
“Perahu berwarna kuning sepertinya melaju mendahului perahu berwarna biru,” komentar sang pembawa acara.
Aku melihat mereka gelabakan di perahu itu, kuperhatikan dengan teliti, ternyata perahu mereka bocor. Mereka sepertinya tidak tahu cara menghentikan air yang masuk ke dalam perahu itu.
Perahu itu mulai tenggelam secara perlahan. Aku melihat sebuah masalah, Juliet tidak bisa berenang. Sementara teman-temannya lebih dulu menyelamatkan diri.
Agus mengorbankan dirinya lagi, dan kembali terjun. Ketika Agus sampai di tengah sungai, tiba-tiba Juliet menghilang dari pandangan mata. Kami sangat terkejut melihat hal tersebut.
Agus mulai menyelam, dia berada di dalam air selama lima menit dalam usahanya menemukan Juliet, tapi hasilnya nihil. Agus kembali ke tepi sungai, mengeringkan badannya dan kembali naik ke siring. Ketika dia berjalan dekat kami, aku dapat mendengar napasnya yang ngos-ngosan.
Datanglah tim penyelamat yang masih dari pihak panitia, mereka terjun ke sungai dan membawa Juliet ke tepi. Aku melihat mereka memeriksa keadaannya, kemudian salah satu dari mereka memberi isyarat “X” dengan tangannya. Setelah itu mereka mengangkatnya ke siring dan pembawa tandu sudah menunggu mereka. Juliet pun dibawa ke dalam ambulans.
Aku teringat ucapan pembawa acara sebelumnya dan menyadari lomba masih berjalan. Mereka yang menaiki perahu kuning berhasil memenangkan lomba dayung ini.
“Dan pemenangnya adalah Tim Matahari!” ucap pembawa acara. Dari sini aku baru tahu bahwa perahu biru milik Tim Rembulan dan perahu kuning milik Tim Matahari.
“Lomba yang kedua adalah bungee jumping, menurut jadwal,” kataku membaca pamflet yang dibagikan saat di lapangan setelah kepulangan para peserta upacara. Dari desainnya, aku dapat mengetahui bahwa mereka menghabiskan banyak uang untuk perlombaan ini.
“Apakah di sana?” tunjuk Firdaus ke puncak jembatan. Jembatan itu bagian dari Kalimawar.
“Apakah tidak ketinggian?” tanyaku.
“Iya juga ya. Pasti sakit kalau jatuh,” jawabnya.
“Lomba kedua, bungee jumping akan segera dimulai, harap peserta bersiap-siap di posisi,” ucap sang pembawa acara.
“Apa yang dilakukan dua wanita itu di sana?” tanya Firdaus sambil menengok puncak jembatan.
“Mungkin mereka panitia,” jawabku malas.
“Bukan, itu Selvi dan Nina.” Mungkin mereka yang berbicara nyaring di taman itu dan sepertinya Firdaus memperhatikannya.
“Itu buktinya, mereka turun. Mungkin mereka hanya mengecek talinya.” Firdaus nampaknya sangat mencurigai mereka.
Kemudian setelah hal itu, para peserta menaiki jembatan dengan memanjat. Salah satu mereka adalah Septi.
“Tunggu, bukankah dia dilarang ikut bungee jumping?” tanya Firdaus.
Kemudian sang pembawa acara menjelaskan peraturan selama peserta bersiap-siap, kulihat Septi tidak sesuai dengan kriteria lomba. Tapi hal itu seharusnya memudahkan dia untuk memenangkan lomba ini.
PRIT!
Tiupan peluit dari sang pembawa acara menghentikan lamunanku secara mengejutkan. Mereka mulai terjun.
C’TAK!
Salah satu tali putus, dan itu adalah tali Septi. Ketika lawannya memantul saat ingin menyentuh sungai, maka Septi jatuh secara keras.