arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Namun tak berapa lama, Septi muncul ke permukaan air. Dia berenang ke tepi sungai. Aku melihat ekspresinya takut namun disertai lega. Dia kembali ke siring.

“Dan pemenangnya adalah Nina!” kata sang pembawa acara.

Noval bangkit dari tempat duduknya, dan mulai memarahi sang pembawa acara. “Bukankah tadi jelas-jelas Septi yang duluan?!”

“Itu tidak dihitung, karena dia lepas dari tali sehingga dia didiskualifikasi.”

“Talinya putus, bodoh!! Itu salah kalian!”

Perdebatan itu semakin menjadi. Kebencian Noval pun membutakannya. Dia mendorong sang pembawa acara dari panggung kecilnya, dan menjatuhkannya ke tepi sungai. Kepalanya terbentur dengan batuan sehingga membuat seketika.

Tim keamanan kali ini segera bertindak dengan langsung menangkap Noval dan membawanya pergi. Tanpa kusadari, Firdaus menghilang dari sampingku.


“Lomba ketiga yang ketiga adalah panjat pinang. Bertempat di Lapangan Sukamawar.” Aku membaca pamflet yang sangat memberi informasi bagiku. Aku yang duduk saat membacanya, kembali berdiri secara perlahan mengingat keadaanku yang tidak begitu sehat hari itu. Tapi, aku masih ingin menonton perlombaan ini dan mulai berjalan ke Lapangan Sukamawar.

Sesampainya di sana, suasana ricuh. Mereka memandang ke arah yang sama, puncak sebuah batang pinang yang ditancapkan tepat di tengah lapangan.

Ketika aku memandang ke arah tersebut, ternyata sebuah kepala menggantung di puncak pinang tersebut. Sepertinya itu kepala Febri.

Masyarakat meributkan dimana panitia, apakah kepala itu memang sebagai hadiah panjat pinang. Kemudian beberapa orang, sepertinya dari panitia, mengambil tangga dan meletakkannya di batang pinang itu, dan mengambil kepala Febri.

Aku mendengar pembicaraan yang suaranya seperti kukenal. Mereka gelisah, seolah tidak menginginkan acara ini berlanjut tapi aku menduga panitia benar-benar akan menarik uang lebih jika dihentikan.

“Kenapa harus Febri? Padahal dia salah satu yang ikut lomba ini kan?” tanya Septi.

“Tenang masih ada aku,” ucap Okta tiba-tiba muncul. Dia diiringi Juliet dan Januar.

“Mari kita tentukan orang-orangnya,” kata Septi. Dia mengucapkannya dengan tidak tulus.

Mereka hening sebelum berunding sebentar. Kemudian ada beberapa orang memisahkan diri, yaitu Agus, Januar, Juna dan Okta. Aku yakin mereka yang mewakili lomba panjat pinang itu.

Okta mengambil nomor undian, karena batang pinang hanya satu sehingga tidak mungkin dipakai oleh banyak tim secara bersamaan. Pemenang dinilai dari kecepatan waktu mencapai puncak. Aku mendengar bahwa mereka mendapat urutan terakhir.

Rasa malasku muncul, aku memilih berjalan sambil mencari di mana Firdaus.

Aku kembali ke siring itu. Andainya aku bisa melihat lagi perahu itu, apakah memang bocor atau tidak, tapi perahu itu sudah tenggelam. Aku memandang ke puncak jembatan.

Aku langsung menuju jembatan itu, berusaha memanjat untuk menuju puncaknya. Memaksakan diriku naik untuk melihat tali yang digunakan untuk bungee jumping itu.

Aku sampai, dari sini aku mulai bisa melihat segalanya. Tali milik Septi memang sengaja diputus, karena aku melihat bekas potongan di sisa tali itu. Seandainya tali itu putus, mungkin ujung tali tidak serapi itu. Apalagi ada sedikit darah di tali itu.

Aku melihat ke arah hulu, ternyata sungai ini juga melintasi belakang lapangan Sukamawar. Aku memiliki pendapat bahwa Aprillia dibunuh di lapangan itu, ketika semua orang pergi dari sana.

Aku dapat melihat batang pinang itu, ternyata sudah sampai giliran tim yang terdiri atas Agus, Januar, Okta dan Juni. Postur tubuh mereka yang tinggi sangat membantu sehingga mereka cukup membutuhkan empat orang untuk memanjat pinang itu.

Namun ketika Okta hampir meraih puncak pinang itu, pinang itu roboh dan menimpa mereka, aku yang melihat kejadian itu ingin rasanya melihat dari dekat.

Aku turun secara perlahan. Ketika sampai, ternyata Firdaus sudah menungguku di bawah.

“Kamu kalau sakit, jangan memaksakan dirimu.”

Aku tidak bisa berbohong lagi. “Dari mana kamu tahu aku sakit?”

“Tidak biasanya kamu semalas ini.”

Aku tersenyum kemudian berkata, “Oh ya, dari mana saja kamu?”

“Aku tadi duluan ke lapangan, ternyata aku menemukan ini,” jawabnya menunjukkan sebuah gunting. Ada bekas darah di ujung gunting itu.

“Aku juga sempat melihat Selvi dan Nina menghitung uang, aku curiga kepada mereka entah kenapa. Serta beberapa hal lain yang kuketahui.” Kami memiliki kecurigaan yang sama. Aku mengajaknya untuk pergi ke lapangan dan kali ini, memaparkan bersama.

Sesampainya di lapangan, aku melihat Agus, Januar, Okta dan Juna baik-baik saja, mungkin hanya sedikit lecet. Maria, Septi dan Desi membujuk mereka. Mereka kecewa atas tindakan panitia.

“Kira-kira, apa sebab pinang itu roboh?” tanyaku.

Firdaus langsung mendekati batang pinang itu, kemudian kembali kepadaku.

“Sepertinya bekas tebangan, tapi hanya sedikit.”

“Berarti karena banyak tekanan, pinang itu semakin retak dan akhirnya roboh?

“Bisa jadi. Kita sama-sama tidak melihat kejadiannya langsung.”

Terlihat para panitia membersihkan tempat. Aku pun teringat sesuatu. Aku kemudian mendekati mereka.

“Anu, pak! Dimana Anda menaruh kepala tadi?”

“Kepala orang di puncak pinang tadi? Di tenda biru itu.”

Aku langsung pergi ke tenda biru yang dimaksud, mereka menaruhnya di atas meja. Firdaus mengikutiku dan melihatnya juga.

Dia saat itu berani untuk melihat secara dekat, kemudian dia bertanya “Ini kepala Febri ‘kan? Aku sempat melihatnya,” sambil memandangku.

Aku hanya mengangguk, dan dia seperti menemukan sesuatu di leher Febri. Dia pun mengambilnya dan menunjukkannya padaku.

“Apa ini? Serpihan kayu?”

“Berarti ketika pelaku menebang pinang, Febri melihatnya dan pelaku langsung ‘menebang’ kepala Febri juga?” tanyaku.

“Bagaimana dengan kapak ini? Apakah ini yang digunakan si pembunuh?”

“Bisa jadi. Kita belum tahu.”


Aku merogoh sakuku, membuka lipatan pamflet yang hampir kumuh. “Lomba berikutnya adalah—”

“Hai, guys. Namaku Mia! Maaf atas keterlambatannya tapi kali ini aku menggantikan pembawa acara kita, dan kita akan memulai lomba berikutnya, balap karung! Yey!”

“Kurasa aku tidak perlu membacanya lagi, haha. Paling tidak, dia sadar atas keterlambatannya.” Aku hanya menggumam sehingga suaraku tidak begitu terdengar.

“Balap karung ‘kan? Tapi kok itu karungnya ada isinya ya?” tanya Firdaus sambil menunjuk salah satu karung yang tersandar.

Kami pun membuka karung tersebut dan mengeluarkan isinya, ternyata di dalam karung itulah tersimpan tubuh Febri.

Kemudian Nina masuk. Ketika melihat badan itu, dia sontak berteriak. Masyarakat pun mendekat ke tenda ini, suasana menjadi ricuh.

“Tenanglah! “ teriakku tegas. Energiku yang tersisa dihabiskan hanya untuk itu. Aku memegang bahu Firdaus untuk membantuku berdiri.

Setelah mendengar perkataanku, mereka semua diam. Tapi tidak dengan Nina.

“Febri … siapa yang melakukan ini padamu?” ucapnya sambil memegang kepala kemudian badan Febri.

Firdaus sontak berteriak, “KAULAH PELAKUNYA!!”

Komentar