arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Masyarakat cukup terkejut. Mereka memandang ke tenda ini namun syukurlah mereka hanya melihat, tidak mengganggu kami. Nampaknya, mereka juga ketakutan untuk melihat.

Firdaus bersiap untuk memaparkan kali ini. Aku mengambil waktu istirahat dan membiarkannya. “Apa alasanmu menuduh Nina sebagai pelakunya?” tanyaku. Sekarang giliranku bertanya kepadanya.

“Untuk pembunuhan Febri, memang belum ada bukti. Tetapi, orang yang memutus tali yang digunakan Septi untuk bungee jumping adalah kau!”

“Tunggu dulu, saat di atas jembatan itu dia tidak sendirian ‘kan?” Aku masih ingat hal itu. Orang yang kuduga sebagai panitia. Aku sedikit menyesal tidak mendengarkan Firdaus.

Di tengah keheningan, terdengar suara samar-samar dari seorang wanita, “Kenapa cuma ngasih segini?”

Kemudian aku mendengar sahutan dari seorang pria, “Memang begitu kemampuanku.”

Suara wanita itu semakin mendekat, “Nina, ayo kita pulang!”

“Dia dibantu oleh dua orang ini,” ucap Firdaus.

Ternyata suara itu adalah Selvi dan Agus. Firdaus nampaknya sudah mengetahui mereka akan tiba di sini.

“Apa kaitan Agus dengan kasus ini?” tanyaku.

“Dia yang merancang semua ini, kemudian membayar Nina sebagai pembunuh dan Selvi sebagai pembantunya.”

“Izinkan aku memaparkan hal ini.” Firdaus memandangku. Aku menjawabnya dengan senyuman.

“Pertama, aku yakin pembunuhan Aprillia dan Febri dilakukan oleh Nina. Menurutku, mawar di tangan Aprillia hanyalah keisengan Selvi. Pembunuhan dilakukan dengan memakai gunting yang kemudian dipakai untuk memutus tali yang digunakan Septi dalam bungee jumping.”

“Tenggelamnya Juliet adalah sebuah kecelakaan yang disengaja. Perahu mereka dilubangi, sedangkan mereka tidak sadar. Juliet memang disediakan sebagai pengganti Aprillia.”

Firdaus sambil mengeluarkan kertas dari sakunya. “Ini adalah rencana tim sekaligus rancangan yang kuyakini ditulis oleh Agus. Tulisan ini kukenali dari tanda tangannya di daftar peserta.”

“Agus sebagai dalang dari semua ini, ditegaskan ketika dia berenang ingin menyelamatkan Juliet, seolah dia tidak berhasil. Dia sebenarnya membiarkan Juliet tenggelam, dibutakan oleh rasa kesalnya. Padahal tim penyelamat berhasil menemukan jasadnya, sedangkan dia berhasil menyelamatkan Aprillia.”

“Sementara pembunuhan Febri, tujuan utama Nina sebenarnya mencelakai tim Rembulan dengan menebang pinang itu. Ternyata baru sedikit, Febri menghampirinya. Karena takut ketahuan, dia langsung ‘menebang’ kepala Febri dengan kapak yang sama.”

“Lalu, apa tugas Selvi?” tanyaku.

“Selvi hanya menemani Nina agar tidak dicurigai.” Aku mengangguk seraya memahami pemaparan Firdaus.

“Apakah yang kupaparkan itu benar, Nina?”

“Ya, itu benar.”

Rupanya masyarakat masih mendengar pembicaraan kami dan terkejut atas hal itu. Mereka seolah tidak menyangka orang ini pelakunya.

“Terima kasih telah mengaku.”

Firdaus mengambil ponsel dari saku celananya. Tak lama setelah itu, datanglah beberapa orang dari kepolisian. Firdaus berbicara sebentar dengan Brigadir Polisi Kurniawan yang memborgol tangan Agus, Selvi dan Nina. Brigadir Polisi Satu Kuncoro mengambil barang bukti dari tenda ini.

Masyarakat pun mulai berjauhan. Lomba balap karung dibatalkan.

“Aku tidak menyangka Agus dibalik semua ini,” ucap Desi.

“Aprillia adalah orang yang menghianatinya dulu. Aku sebagai warga asli Sukamawar, sering melihat mereka bersama sejak 10 tahun yang lalu. Ternyata, baru-baru ini dia selingkuh dan mengambil pacar Nina. Agus pun menghasud Nina untuk membunuh Aprillia sebagai orang yang sama-sama dikhianati, namun dia tidak ingin gratis. Nina pun dibantu temannya, Selvi. Ternyata Selvi lebih materialistis daripada dia.”

“Tahukah kamu, Desi. Mia itu ‘kan teman kalian? Dia kebetulan juga panitia? Dia sudah mengetahui bahwa perahu itu dilubangi, dia juga tahu Juliet yang menggantikan Aprillia itu tidak bisa berenang. Sebenarnya, dia ingin memberitahukan hal itu.”

“Lalu, kenapa dia tidak memberitahukannya?” tanya Desi kepada Firdaus.

“Karena adabmu sendiri terhadapnya.”

Desi terdiam, menunduk, tersadar atas perbuatannya. “Aku hanya kesal kenapa dia begitu lama meninggalkan kami.”

“Karena aku ingin hidup sendiri,” sahut Mia yang menurutku mendengarkan sejak kami di dalam tenda ini namun baru menunjukkan dirinya.

“Maafkan aku, Mia. Seandainya saja … mungkin Juliet tidak mati.”

Kemudian perhatian kami dialihkan oleh mobil pick-up yang dinaiki Mahmud sang wali kota berhenti di tengah lapangan. Dia kemudian memegang mikrofon pengeras suara, seraya mengatakan “Lomba 17 Agustus Kota Sukamawar, ditutup!”

Mobil itu pun pergi, kami memilih minta izin untuk pulang duluan mengingat hari sudah cukup sore.

Firdaus singgah sebentar, kemudian membuang kertas ke “Bak Sampah Anorganik.”

“Idris, aku tidak tahan lagi setelah semua kejadian ini dan meminta polisi untuk menanganinya karena keterlambatan panitia. Selain itu, sebenarnya kertas yang ditunjukkan tadi kutemukan di ‘Bak Sampah Organik’ namun kuambil. Ternyata isinya adalah rancangan Agus.”

“Baguslah. Paling tidak, sesuatu yang tidak begitu diinginkan masyarakat ini berakhir. Oh ya, kapan kau tahu itu tulisan Agus?”

“Ketika aku duluan ke lapangan. Aku bertanya ke Mia karena dia benar-benar panitia. Aku sekadar melihat daftar peserta dari Tim Rembulan yang pasti ditulis tangan oleh masing-masing peserta karena harus menyertakan tanda tangan.”

“Pasti?”

“Ya! Karena aku selalu mengikuti Lomba 17 Agustus dan baru tahun ini terjadi hal seperti ini.” Firdaus terlihat begitu bangga dan itu membuatku tersenyum.

“Mari kita berharap semoga hal ini tidak terjadi lagi.” Kami bersiap untuk pulang.

Komentar