arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Rabu, 4 September - Pada sore di hari itu, pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Aku yang sedang membaca buku di ruanganku, meletakkannya ke atas meja dan pergi membukakan pintu. Ternyata itu Firdaus yang berkunjung.

Aku kemudian mempersilakan dia duduk di ruang tamu, kemudian aku pergi ke dapur untuk mengambil camilan dan air minum.

“Gak usah repot-repot,” ucap Firdaus sambil mengambil koran untuk membacanya.

“Ah, ini bukan apa-apa. Lagipula, aku jarang kedatangan tamu,” sahutku.

“Pembunuhan di Perbatasan,” kata Firdaus membaca salah satu judul berita. Dia pun membaca berita tersebut secara keseluruhan.

Setelah selesai membaca, dia bertanya kepadaku, “Benarkah ini, Idris?”

“Ya, bahkan aku melihat dengan mata sendiri.”

“Coba ceritakan kepadaku!”

Aku menghela napas sebentar, kemudian berdiri mendekat kepada jendela rumahku.

“Kurasa sudah diberitakan di sana bahwa kejadiannya sore Ahad tanggal 25 Agustus. Saat itu, aku ingin menutup tirai jendela. Namun perhatianku teralihkan oleh seorang pria berpakaian jas membawa buket bunga mendekat ke tembok besar pembatas ini. Aku heran dan bertanya akan siapa yang dia tunggu di sini. Beberapa menit kemudian, seorang wanita datang. Terjadilah sebuah pembicaraan yang cukup alot dan berubah menjadi perdebatan. Kemudian, pria itu seolah berubah karakter, dia mengeluarkan pedang dari buket bunga yang dia bawa dan menusuk wanita itu serta meninggalkannya begitu saja.”

“Kalau kamu melihatnya, kenapa kamu tidak melaporkannya kepada polisi?” tanya Firdaus memandangku kemudian minum seteguk air.

“Aku ketakutan saat itu. Setelah membunuh wanita itu, dia seperti sadar dengan keberadaanku. Dia memandangku. Aku terkejut dengan hal itu dan langsung menutup tirai jendela.”

“Bagaimana dengan pria itu?”

“Beberapa hari ini, aku belum melihatnya. Tapi aku belum merasa aman, karena tidak hanya hari itu terjadinya. Beberapa pekan ini sudah terjadi pembunuhan lainnya sebelum ini, kurasa dilakukan oleh orang yang sama. Namun, pekan ini belum terjadi. Aku hanya takut dia beraksi lagi.”

Setelah mendengar ceritaku tadi, Firdaus mulai mengurungkan niatnya untuk pergi ke Kebun Melati. Aku menanyakan kembali tujuannya, dan dia menjawab ingin melihat kota ini. Dengan tujuan yang sudah jelas, aku mengajukan diri sebagai pembimbing jalan.

“Memangnya tidak apa-apa?” tanya Firdaus.

“Tentu! Walikota kami memperbolehkan siapa saja masuk ke kota kami, namun setahuku walikota Sukamawar –yang dulu– sebaliknya, beliaulah yang membuat tembok besar ini. Sungguh, aku kurang nyaman rumahku seolah terpotong dua seperti ini.”

Firdaus hanya terdiam, aku mengambil topi bundarku yang menggantung di dinding seraya berjalan menuju pintu belakang rumahku. Dia mengikutiku. Ketika aku membuka pintu, terciumlah semerbak bunga melati yang sudah tidak asing bagiku, namun dia batuk-batuk.

Aku menanyakan apakah dia alergi dengan bunga melati, dia menjawab bahwa dia hanya kurang tahan aroma tersebut karena sudah lama tidak menciumnya. Aku bertanya kembali tentang keyakinannya datang ke sini, nampaknya rasa penasaran akan menutupi hal itu.

Aku tidak bisa membiarkan hal seperti ini. Aku pergi ke ruanganku sebentar, mencoba mencari masker yang biasanya menyaring udara. Aku menemukannya dalam lemariku dan membersihkannya. Aku dulu memakainya ketika berjalan melalui asap pembakaran yang cukup tebal.

“Firdaus, apakah ini masih baik?” Aku menyerahkan masker itu kepadanya.

Terdengar tarikan napas Firdaus. Aku mencoba mengambilkan beberapa melati dan menaruh tepat di depan wajahnya. Dia agak gemetar namun menjelaskan bahwa aromanya tercium lebih tenang.


“Kemana kamu akan membawaku?” tanya Firdaus dengan suara yang kurang jelas karena tertutup masker ditambah dengan bisingnya berbagai proyek yang dibuat di samping jalan raya ini.

“Aku ingin membawamu ke tempat aku sekolah dulu, sebelum masuk ke MA Sukamawar. Aku sudah lama juga tidak ke sana.”

Firdaus bertanya alasanku membawanya ke sana. Aku menjawab bahwa aku hanya ingin memperkenalkan kepadanya. Aku memperingatkan dengan janji kami, mengenal satu sama lain lebih lanjut.

Tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh yang mengguncang tanah. Terdengarlah keributan di salah satu proyek yang dikerjakan, yakni renovasi restoran yang akan dibuat bertingkat.

Aku singgah sebentar, Firdaus keheranan. Aku melihat kerumunan manusia, kemudian beberapa orang dari mereka mengangkut seorang pria yang tertindih beton berbentuk tabung raksasa. Aku ingin menyebutnya gorong-gorong tetapi terlihat tidak seperti itu. Bentuknya lebih kecil sehingga aku menyebutnya “Tabung beton”.

“Oh, hanya kecelakaan kerja,” ucap Firdaus.

Aku memandang ke atas, mencoba berpikir dari mana jatuhnya. Aku kemudian mencurigai sebuah ekskavator yang berada di tempat kejadian. Aku mencoba mendekat tapi mandor yang ada di sana melarangku masuk, jadi keinginanku terbatalkan.

“Baiklah, mari kita lanjut saja,” ucapku kecewa.


Kami terus berjalan, dan akhirnya sampai ke sekolahku dulu. Sekolah ini unik, dan cukup terkenal juga karena banyak siswa bersekolah di sini. Hal itu dibuktikan dengan gedung bertingkat sepuluh lantai ini dipenuhi dengan siswa. Ada juga dari luar daerah.

“Indah sekali!” kata Firdaus kagum.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Firdaus tersebut. Aku kemudian membawanya berjalan mengelilingi bangunan tersebut. Aku menghela napas mengingat kenanganku selama berada di sekolah ini.

Firdaus tiba-tiba menanyakan keadaanku selama belajar di sini. Dia mencurigai bahwa aku dulu tidak pernah berteman dengan seorang pun sehingga ketika dia memperkenalkan diri kepadaku, aku langsung dekat dengannya sebagai teman.

Aku hanya tersenyum. Jauh di lubuk hatiku, aku bertanya-tanya dari mana dia bisa mengetahui hal itu. Aku menyangka dia bisa membaca pikiran, karena terbukti saat 17 Agustus kemarin dimana keadaanku kurang sehat dan dia menyadarinya.

“Firdaus, apakah kamu ini bisa membaca pikiran?”

“Aku rasa tidak. Tapi setelah kematian kakak dan ibuku itu, aku berusaha mempelajari dan mengenal psikologi orang dengan bantuan internet dari ponselku. Aku tidak mau lagi dibohongi orang.”

Ucapannya itu mengurungkan niatku untuk mengucapkan sebuah kebohongan yang sudah kurancang sebelumnya untuk menjawab pertanyaan sejenis dengannya.

“Baiklah, kalau kau menanyakan hal itu. Aku dulu lebih suka menyendiri, karena beberapa kali aku mengalami perundungan kecil. Tapi sekarang, aku baik-baik saja.” Aku tersenyum kepadanya.

Komentar