Aku hanya heran. Setelah menjelaskan hal itu, Firdaus meminta maaf kepadaku karena dia menduga bahwa dia menyakiti perasaanku dengan bertanya hal pribadi. Aku meyakinkan kepadanya bahwa aku tidak apa-apa dan malahan aku senang dengan dia mau mendengarkan.
Firdaus kemudian memandang ke sekitar. “Idris, aku ingin ke atas sana,” ucap Firdaus menunjuk lantai tertinggi gedung sekolah ini.
“Jangan, siswa di sini masih belajar, takutnya kita mengganggu.”
“Ah, gak. Kita cuman naik sebentar, kemudian turun lagi. Bawa aku ke tempat lain setelah ini.”
“Baiklah jika kamu menginginkan itu.”
Kami pun pergi menaiki tangga, langkah demi langkah menuju lantai tertinggi. Para siswa yang belajar kebanyakan menoleh keheranan ke arah kami. Aku yang merasa tidak nyaman, melepas topi bundarku dan menutup wajahku dengannya. Namun aku merasa kalah dari Firdaus, dia dengan percaya dirinya berjalan meski memakai masker yang sebenarnya menurutku aneh itu.
Akhirnya kami tiba di lantai tertinggi. Firdaus melepas maskernya dan seolah bernapas dengan lega. Dia pun menaruh lengannya di balkon beton itu sambil melihat pemandangan, aku membiarkan dia menikmati hal tersebut dengan mundur dan bersandar ke dinding. Tak lama kemudian, dia seperti tersadar sesuatu, dia kemudian merogoh sakunya dan mengambil ponsel. Ternyata dia memotret pemandangan tersebut. Aku pun mulai mendekat.
“Boleh kulihat hasilnya?”
“Tentu.”
Aku kemudian menyadari sesuatu dari foto tersebut dan terkejut. Firdaus mulai bingung dan meneliti foto itu.
“Memangnya ada apa, Idris?”
“Ekskavator itu sudah tidak ada lagi di restoran itu,” jawabku sambil memandang proyek pembangunan restoran itu.
“Siapa tahu sudah selesai proyeknya, mungkin besok pembukaannya.”
“Bisa saja.”
Beberapa saat kemudian, bel istirahat terdengar. Para siswa kemudian keluar kelas, termasuk di lantai ini. Ada seorang siswa yang berani bertanya kepada kami. Aku memerhatikan nama yang tertera di bajunya, Darto.
“Hei, dari mana lu?” Dia menunjuk Firdaus. Tunjukkannya bahkan mengarah kepada masker yang masih menggantung di lehernya. Aku tidak mau Firdaus kenapa-napa, sehingga aku berpura-pura bahwa dia menunjukku. Kami yang berdekatan mendukung hal ini.
“Aku dari Kebun Melati kok,” jawabku.
Sontak Firdaus menolehku, aku hanya tersenyum dan memberi isyarat mata agar dia tetap diam. Darto nampak kecewa dan pergi entah kemana. Aku mengajak Firdaus untuk sesegeranya pulang karena aku takut sesuatu terjadi kepadanya.
Syukurlah, dia memahami keadaan sekarang. Dia memasang kembali maskernya dan kami turun bersama. Aku benar-benar menjaganya kali ini.
“Siapa dia? Memangnya ada apa?” tanya Firdaus. Firdaus nampaknya sedikit kesal dan langsung meluapkannya ketika kami sampai di rumahku.
“Darto tadi? Dia itu lebih tua dari kita. Dia dikenal dengan kenakalannya sehingga selalu tidak naik kelas. Bayangkan seandainya kamu memperkenalkan diri. Dia bisa saja menerormu kapanpun dia mau.” Firdaus terdiam sejenak.
“Meneror? Bagaimana jika dia adalah pembunuh wanita dalam berita yang kau ceritakan itu.”
“Mungkin saja, tetapi kita belum menemukan bukti untuk menuduhnya.”
Firdaus kemudian memeriksa ponselnya. Dia memberitahukan bahwa sekarang jam sebelas lewat dan saatnya dia untuk pulang. Aku tidak mau menanyakan alasannya sekarang.
Aku mengantarnya ke pintu depan, dan mengawasinya dari jauh sampai menghilang dari pandangan. Aku menutup pintu setelahnya, menaruh kembali topiku ke gantungannya dan pergi ke ruanganku. Aku tersadar dia meninggalkan maskernya di meja ruang tamuku.
Kamis, 5 September – Setelah aku menyelesaikan rutinitas siang, aku mencoba untuk menelepon Firdaus dengan telepon yang berada di ruanganku. Mengingat kami juga berbagi nomor beberapa hari setelah Matsama.
Aku memberitahukan bahwa restoran kemarin sudah jadi sepenuhnya, bahkan langsung beroperasi tadi malam. Firdaus menutup ponselnya duluan, nampaknya dia benar-benar bersemangat mendengarnya sehingga dia melakukan hal tersebut.
Setelah cukup lama menunggu, aku mendengar suara itu. Tok tok tok. Ketukan pintu itu seolah sama dengan kemarin. Aku menyambutnya dengan langsung menyerahkan masker yang dia pakai kemarin.
Seperti biasa, kami hanya berjalan dan berbicara sedikit. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya kami sampai juga. Ternyata, meski baru dibuka, restoran itu sudah dipenuhi oleh pelanggan.
“Seandainya mereka mengetahui kejadian kemarin.” Ucapan sarkas Firdaus itu terdengar di telingaku. Aku hanya menyeringai mendengarnya.
Kami mencari kursi kosong untuk diduduki. Ketika kami duduk, datanglah seorang pria. Itu Darto, aku sangat tidak menyangka dia akan menjadi seorang pelayan di sini.
“Silahkan pesan makanannya,” ucapnya sambil menyodorkan buku menu. Firdaus pun menyambutnya. Selama dia melihat buku menu, pandanganku ‘begitu liar’, aku begitu memerhatikan arsitektur restoran ini. Darto keheranan.
Firdaus memesan sebuah minuman. Darto bertanya kepadaku apa yang kupesan dan aku hanya meminta disamakan. Aku sebenarnya cukup terkejut karena ternyata dia hanya memesan itu.
“Ada apa denganmu, Idris? Dari tadi menoleh sana-sini, gak jelas kamu ini.” Pertanyaan Firdaus itu membuatku tersenyum.
“Aku hanya ingin tahu, kemana mereka meletakkan tabung beton itu. Sampai sekarang, aku belum menemukannya.”
Kami berdebat sedikit tentang di mana mereka meletakkan tabung beton yang sempat jatuh itu. Aku yakin barang itu masih baik-baik saja sehingga mereka masih bisa memakainya. Aku berpendapat bahwa mereka meletakkannya di atas restoran, namun Firdaus berpendapat mereka akan menaruhnya di bawah restoran.
Perdebatan kecil kami dihentikan oleh Darto yang datang membawa pesanan kami. Dua gelas es teh yang menurutku minuman paling sederhana di restoran ini.
“Kamu memesan ini rupanya. Pilihan yang bagus,” ucapku. Aku pun meminumnya seteguk. Bagiku, rasanya cukup enak.
Firdaus melepas maskernya dengan membiarkan tergantung di leher. Lucunya, dia melanjutkan pendapatnya dan mendebatku. Pembicaraan kami berlangsung lama dan berakhir dengan janji bahwa kami akan melihat di luar secara teliti nantinya.
Firdaus mengambil gelas es tehnya. Aku melihat bahwa esnya sudah meleleh sepenuhnya. Dia meminum seteguk dan langsung meludahkannya. Aku heran dengannya.
Aku mencoba meminum tehku dan rasanya berubah. “Ada yang aneh di sini.”
Aku berdiri, menarik tangan Firdaus.”Kita harus pergi dari sini sesegera mungkin, atau kita perlu laporkan ini kepada polisi.” Kami dihalangi oleh Darto, pelayan itu yang nampaknya sudah menunggu kami.