Aku sempat berpikiran negatif dan ternyata Darto hanya menagih bayaran. Kami terkejut atas harganya yang sepuluh ribu.
Firdaus mencoba menentang namun kutegur. Setelah membayar, kami langsung pergi keluar restoran dengan aku yang menarik tangan Firdaus. Firdaus terlihat kesal.
“Ada apa denganmu hari-hari ini? Kamu selalu saja menegurku!” ucap Firdaus ketika kami tiba di luar restoran tersebut.
“Tenanglah Firdaus, aku hanya ingin menjagamu. Mendapat teman sepertimu adalah hal langka bagiku.” Perkataan itu tiba-tiba saja terucap dari mulutku.
Firdaus memandangku. Aku belum mau hal sepribadi ini terungkap begitu saja. Aku memandang ke atas, mengalihkan perhatiannya dengan menunjuk tabung beton itu. Aku tidak menyangka dugaanku benar.
“Firdaus, aku sebenarnya tidak ingin berpikir negatif, tapi sepertinya Darto ingin meracuni kita. Aku meyakini bahwa racun itu terletak pada es batu yang kalau meleleh nanti bereaksi kepada tehnya, seolah kita harus menghabiskannya langsung.” Aku masih mencoba mengalihkan pembicaraanku.
“Maafkan aku, ternyata kamu benar-benar ingin menjagaku.” Akhirnya aku berhasil mengarahkan pemikiran Firdaus kali ini.
“Ah, itu tidak apa-apa. Lebih baik kita kembali ke rumahku saja.”
Setibanya di rumah, aku meminta Firdaus untuk duduk di ruang tamu kemudian aku pergi ke dapur untuk membuatkan es teh sebagai ganti karena dia tidak sempat meminumnya.
Firdaus berkata bahwa dia menyesal pergi ke restoran itu. Dia merasa dia membuat uangku dihabiskan secara sia-sia. Aku menenangkannya dengan mengatakan itu hal biasa.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Sementara dia meminum es teh buatanku itu seteguk demi seteguk sampai habis. “Mau lagi?” tanyaku menawari.
“Sudah cukup, hausku sudah hilang.”
Aku mengambil gelas kaca yang Firdaus taruh di atas meja, aku ingin mencucinya di wastafel dan meletakkannya kembali di dapur. Ketika aku kembali, aku duduk di samping Firdaus.
“Idris, sekarang aku tersadar bahwa rumahmu ini bagaikan lorong. Semua orang yang merasa terhalang tembok besar ini dengan mudahnya bisa lewat rumahmu,” katanya.
Aku juga memikirkan hal itu. Apalagi teringat dengan suara langkah kaki di malam hari dan pintuku yang digedor. Aku tetap berharap itu hanya halusinasi.
Firdaus tertawa kecil kemudian bertanya, “Benarkah? Aku malah selalu merasa sepi kalau malam hari saat aku pengen tidur.”
Aku menawarinya untuk tinggal di sini malam ini, namun dia menolak dengan memberitahukan bahwa ayahnya pulang sore ini. Aku tersenyum mendengar perkataannya.
Kring~ kring~
Aku pergi ke ruanganku untuk mengangkat telepon tersebut. Firdaus hanya memandangiku dari tempat duduknya, kemudian dia membuka stoples camilan yang berada di atas meja kaca itu.
“Kumakan ya, camilannya!”
“Ya!” jawabku tanpa melihatnya.
Pembicaraan dalam telepon itu berlangsung lama. Intinya adalah polisi Kebun Melati mengetahui apa yang kami lakukan 17 Agustus lalu –yakni memecahkan kasus– dan mereka ingin bekerja sama dengan kami. Aku juga melaporkan tentang kejadian di restoran tadi dan kebetulan sekali mereka sudah menangkap Darto. Aku menceritakannya kepada Firdaus.
Firdaus mendengarkan sambil melihat jam dinding, kemudian membandingkan dengan jam tangannya. Dia mengatakan bahwa sekarang jam sebelas dan dia harus pulang. Aku kembali mengantar sampai ke depan pintuku dan baru kembali masuk saat dia menghilang dari pandanganku.
Setelah dia tidak terlihat lagi, aku kembali ke ruanganku. Aku duduk di kursi putar itu dan bersandar padanya. Aku mulai memikirkan apa yang sudah kami lakukan saat di sini.
“Tenanglah Firdaus, aku hanya ingin menjagamu. Mendapat teman sepertimu adalah hal langka bagiku.” Aku teringat ucapanku.
Aku meletakkan kedua tanganku di pipi, dan menaruh siku ke meja dihadapanku, kemudian bergumam, “Kenapa aku tiba-tiba mengucapkan hal itu? Aku sudah lama menyembunyikannya dari orang lain, dan kenapa terucap dengan sendirinya?!”
Aku sangat bersyukur saat itu berhasil mengubah pemikirannya sehingga dia menduga yang lain. Aku mengusap wajah dan kembali bersandar kepada kursi ini.
“Aku mendapat kabar ayahku bakalan pulang sore ini.” Sekarang, aku teringat ucapan Firdaus.
Aku pun bertanya pada diriku sendiri, “Kapan orang tuaku akan pulang?” Aku hanya menyeringai dengan pertanyaanku sendiri.