arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Senin, 30 September – Pihak Komite Madrasah telah menyelesaikan pembangunan ulang gudang dan perpustakaan yang hancur beberapa bulan yang baru, namun ada kabar yang mengejutkan hari ini. Walikota Sukamawar, bapak Mahmud diumumkan menjadi kepala sekolah MA Sukamawar sementara untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut sementara mulai hari itu karena tidak ada yang menggantikan kepala sekolah terdahulu.

Selayaknya Senin pertama di awal tahun, upacara bendera kembali dilaksanakan, kali ini pembina upacaranya tentu saja Bapak Mahmud sebagai kepala sekolah baru. Beliau sungguh berbeda dari walikota Sukamawar terdahulu, yang dipecat gubernur empat tahun yang lalu dikarenakan kinerja beliau yang rasis, memisahkan Sukamawar dan Kebun Melati yang seharusnya selalu bersaudara. Dan akhirnya, kedua kota itu bermusuhan sampai sekarang. Aku dan Firdaus mewakili orang yang tidak terpengaruh oleh hal tersebut.

Singkat cerita, kami belajar pada hari itu sesuai dengan jadwal yang diberikan pada 15 Juli yang lalu. Dan ketika sampai waktu istirahat untuk salat Zuhur berjamaah, kami lagi-lagi digegerkan oleh sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan. Air dari sumur untuk berwudu tercemar oleh darah. Kami terpaksa mencari musala terdekat untuk menumpang wudu dan salat di sana.

Setelah selesai, aku pun berinisiatif untuk memeriksa lebih jauh tentang penyebab pencemaran air sumur itu. Ketika aku memeriksa sumur itu, tali timba terputus dari katrolnya.

Firdaus mendekatiku, dia pun bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku merasa ada yang aneh di sini,” jawabku.

“Hm, aku juga merasakannya.”

“Tapi kita tidak bisa melihat ke dalam sumur ini. Airnya terlalu tercemar.”

“Seharusnya kita mencari bantuan. Tapi, siapa yang akan membantu kita?”

Tiba-tiba datanglah kepala sekolah yang baru bersama beberapa anggota pemadam kebakaran Sukamawar dan siswa yang mengarahkan.

“Di sini ‘kan anak-anak?” tanya Pak Mahmud.

“Ya!” seru beberapa siswa yang mengikuti.

“Silahkan bertugas, sementara saya ada sesuatu yang harus dikerjakan,” ucap kepala sekolah seraya meninggalkan kami.

“Kita lihat dulu bagaimana keadaan sumurnya!” perintah salah satu anggota pemadam kebakaran. Terlihat namanya yang tercantum di pakaiannya, Taufiq. Kurasa dia adalah ‘kapten tim’ pemadam kebakaran ini.

Aku pun menjauh sambil menarik tangan Firdaus. “Di sini saja, takutnya mengganggu,” ucapku.

“Tali timbanya sudah putus, bagaimana cara kita melihat yang di dalam?” tanya anggota pemadam kebakaran lainnya. Kulihat namanya adalah Ibrahim, tercantum di pakaiannya juga.

“Ada yang mengajukan diri untuk masuk ke dalam sana?” tanya Pak Taufiq.

“Saya saja,” ucap anggota pemadam kebakaran yang satunya lagi. Terlihat namanya adalah Siswondo.

“Terima kasih. Tambangnya sudah disiapkan? Kalau belum, ambil tabung oksigennya juga,” perintah Pak Taufiq.

Pak Ibrahim pergi kembali, sepertinya mengambil tambang dan tabung oksigen itu. Kurasa mereka benar-benar akan melakukannya, kusebut saja sebagai evakuasi, karena aku yakin ada sesuatu di dalam sana, sepertinya hanya hewan yang dibuang ke situ.

“Ini pak,” ucap Pak Ibrahim menyerahkan tambang dan tabung oksigen itu.

“Cepat juga mereka,” komentarku.

“Iya dong! Mereka sebagai pemadam kebakaran harus sigap, aku yakin beliau sudah sering membawa benda yang berat sambil berlari,” balas Firdaus membanggakan hal itu.

Sementara Pak Taufiq memeriksa tambang dan melapisinya dengan sesuatu, pak Ibrahim memasangkan tabung oksigen ke badan Pak Siswondo.

“Sudah siap, Siswondo?” tanya Pak Taufiq sambil memasangkan tambang itu ke badan Pak Siswondo, mengaturnya agar tidak menyusahkan pergerakan tabung oksigen itu.

Pak Siswondo hanya mengangguk, beliau pun berdoa sebentar dan menyelam ke dalam sumur itu. Beliau sepertinya turun dengan perlahan sementara Pak Taufiq dan Pak Ibrahim memegangi tambang itu dengan bantuan para siswa yang membantu.

“Ulur perlahan!” perintah Pak Taufiq.

Tali pun diulur secara perlahan.

“Ada yang tahu kedalaman sumur ini?” tanya Pak Taufiq.

“Tidak!” jawab para siswa yang membantu serentak.

“Kita segera mengetahuinya. Ulur lagi!”

Tali terus diulur, aku pun menyadari sesuatu yang dilapiskan kepada tambang itu mengurangi gesekan dengan batu yang menemboki sumur ini.

Beberapa menit berlalu, belum ada tanda-tanda dari Pak Siswondo sementara Pak Taufiq dan kawan-kawan terus memegangi tambang itu sambil mengulurnya di saat-saat tertentu.

“Dalam juga sumur ini,” komentarku.

Firdaus menghilang, aku cukup gelabakan mencarinya sampai melihatnya di barisan pemegang tambang. Aku hanya tersenyum dan mulai duduk karena lelah berdiri. Aku sadar bahwa diriku ini lemah. Niatku membantu, takutnya malah menyusahkan.


Waktu menunjukkan pukul 13.14, kulihat dari jam tangan bekas ayahku yang kugunakan sekarang ini. Menghitung waktu, sudah lebih dari setengah jam mereka melakukannya.

Akhirnya, aku melihat sebuah tarikan dari dalam sumur. Aku kembali berdiri.

“Tarik sekarang! Apapun yang terjadi, tetap tahan!” perintah Pak Taufiq.

Nampaknya mereka lebih kesusahan kali ini, sampai banyak siswa kelas 12 berdatangan untuk membantu. Pada akhirnya, aku memilih untuk ikut membantu.

Hanya beberapa menit kami menarik tambang ini, sampai Pak Siswondo naik dengan membawa seorang mayat di pundaknya.

Komentar