arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

“Astaga, baunya tidak enak sekali,” keluh salah satu siswa.

“Tetap tahan! Sampai mereka benar-benar keluar!”

“Ibrahim! Sambut mayat itu!”

“Siap pak!”

Pak Ibrahim melepas pegangannya. Dia mendekati Pak Siswondo dan menyambut mayat itu. Dia mengamankan mayat itu, kemudian membantu Pak Siswondo naik.

“Tugas kita sudah selesai! Silahkan melepas pegangan kalian!”

Tambang itu dilepas dari pegangan kami. Kemudian Pak Ibrahim mendekat dan Pak Siswondo menjauh dari sumur itu.

“Sepertinya kita harus membersihkan mayat ini untuk diidentifikasi,” kata Pak Ibrahim.

“Hm, saran yang bagus. Siswondo!”

“Siap pak!”

“Angkat mayat itu, bawa ke mobil kita dahulu!”

Pak Siswondo pun mengangkat mayat itu. Dan pergi lewat samping kami. Aku berusaha keras mengenali mayat itu, namun aku tidak bisa. Mayat itu terlalu kotor.

“Baiklah anak-anak, terima kasih telah berjuang bersama kami! Sampai jumpa!” ucap Pak Ibrahim sambil melambaikan tangan.

“Karena tugas kita sudah selesai, berarti saatnya kita ke kelas,” ucapku.

“Ayo, kita sama-sama.”

Aku tiba di kelasku. Aku mengetuk pintu dan masuk dengan mengucapkan salam terlebih dahulu. Guru yang sedang mengajar saat itu menanyakan kenapa aku terlambat dengan suara agak nyaring. Nampaknya beliau marah. Aku kemudian menjelaskan bahwa aku membantu mengevakuasi seorang mayat dari dalam sumur itu. Salah satu temanku membenarkan hal itu dan aku dapat duduk ke kursi.


“Idris!” Panggilan itu menghentikan jalan pulangku yang sudah sampai pagar sekolah.

“Oh, Firdaus. Ada apa?” tanyaku melihatnya berlari.

“Menurutmu mayat tadi itu siapa?” tanya Firdaus.

“Entahlah, aku tidak mengenalinya.”

Firdaus menyarankan untuk pergi ke markas pemadam Sukamawar untuk menanyakan hal itu. Dia mengaku sangat penasaran karena seperti mengenali mayat itu. Masalahnya, aku sampai saat itu tidak mengetahui Sukamawar secara sepenuhnya.

Firdaus menjamin akan membimbing jalanku, sebagai balasan ketika di Kebun Melati. Setelah mengetahui hal itu, sebenarnya aku ingin pergi tetapi harus meletakkan tas ke rumah dahulu sedangkan rumahku jauh. Masih banyak hal lain juga yang perlu kulakukan.

Firdaus menyuruhku untuk masuk ke rumahnya. Kami akan makan siang bersama di rumahnya. Aku sangat ingin menolaknya, tapi sedang dilema. Akhirnya aku memilih untuk mendengarkan suruhannya.

Aku masuk ke rumah itu setelah melepas sepatu dan kaos kakiku. “Firdaus, sudah pulang ya. Siapa dia?” sambut seorang pria.

“Oh dia? Dia temanku Yah, namanya Idris.” Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

“Hai Idris, silahkan duduk di sofa kami dulu.” Suruhan duduk dari beliau adalah sebuah izin bagiku. Aku melepas tasku dan memasukkan peciku ke dalamnya.

Aku memperhatikan sekitar. Terlihat foto keluarga mereka yang sepertinya baru saja dibuat. Aku teringat ucapan Firdaus yang kehilangan ibu dan kakaknya.

Sementara itu ayah Firdaus meminta izin untuk ke dapur dan menyiapkan makanan. Aku berniat ingin membantu saat itu, tapi Firdaus melarangku. Dia menyuruhku untuk tetap diam di sofa ini selama dia pergi sebentar.


“Firdaus! Mari makan!”

“Baiklah Yah,” sahut Firdaus yang sudah ganti baju.

Firdaus mengajakku makan, aku sempat menolaknya dengan alasan sebelum pulang tadi aku sudah makan. Tapi ayahnya juga ikutan mengajakku dan ada rasa canggung dariku. Aku ikut makan bersama mereka.

Selesai makan dan istirahat sebentar di kursi itu, aku berdiri dan kembali ke ruang tamu dimana tasku di sana. Firdaus menananyakan aku ingin pergi kemana, dan aku menjawab aku ingin pulang dahulu dan menyebutkan semua yang akan kulakukan apabila sampai di rumah.

Ayah Firdaus menawariku tumpangan. Beliau ingin mengantarku ke rumah. Aku sempat menolaknya, namun Firdaus memberitahukan bahwa rumahku jauh.

“Nah, kamu sudah mendengar apa kata temanmu itu. Terima saja.”

“Baiklah.”

Aku memakai tas dan sepatuku lagi, sementara ayah Firdaus menyiapkan motornya. Setelah aku selesai, aku naik di jok belakang. Beliau menanyakan di rumahku dan aku menjelaskan di perbatasan Sukamawar-Kebun Melati. Beliau pun menghidupkan motor dan pergi menuju rumahku.

Perjalanan tentu saja lebih cepat daripada aku berjalan. Apalagi dalam kecepatan yang cukup kencang. Tanpa terasa, aku sampai ke rumah.

“Baiklah, kita sudah sampai. Inikah rumahmu?”

“Terima kasih. Ya, ini rumah saya.”

Ayah Firdaus menanyakan tentang tembok pembatas itu. Beliau menyangka rumahku terpotong akibat adanya tembok itu. Aku meyakinkan beliau bahwa rumahku baik-baik saja dan nyaman tinggal di sana.

“Bapak sepertinya harus sering-sering ke sini. Tapi bapak pulang dulu ya!”

“Ya. Terima kasih.”

Setelah beliau pergi, aku masuk ke rumah dan melakukan apa yang kurencanakan dari awal. Aku duduk di ruanganku setelah aku mandi dan berganti pakaian. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk besok. Tapi hari ini, aku sudah ada janji dengan Firdaus bahwa kami ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan tadi.

Aku menghela napas. “Ah…. betapa baiknya ayah Firdaus tadi. Pantas saja anaknya juga baik kepadaku.”

Memori masa laluku terulang lagi. “Ah! Biarkan aku melupakannya!” Aku hanya memegangi kepalaku.

“Baiklah, aku akan pergi ke rumah Firdaus sekarang,” ucapku yang sudah menyelesaikan urusanku.

Seperti hari-hari biasa jika aku pergi, aku memasang jubahku dan topi bundarku. Saatnya berjalan ke rumahnya.


Waktu menunjukkan 16:14, berarti perjalananku selama ini menghabiskan belasan menit. Akhirnya aku tahu waktu yang tepat. Sayangnya aku tidak membandingkan dengan kecepatan saat naik motor tadi.

Aku tiba di rumah Firdaus. Kebetulan sekali, dia keluar dari rumahnya. Dia menanyakan kepastian kami pergi ke markas Pemadam Kebakaran Sukamawar, aku menjawabnya dengan mengangguk. Kami memilih berjalan bersama ke tempat itu, agar aku dapat mengenal kota ini.

Perjalanan kami berlangsung cukup lama, dan aku agak kelelahan saat itu. Aku tidak menyangka akan jarak rumah Firdaus dan tempat ini. “Semoga semuanya terbayarkan.”

“Halo! Pak Taufiq!” teriak Firdaus sambil mengetuk pintu markas itu dengan cukup keras.

Setelah menunggu beberapa saat, ternyata pak Ibrahim yang menyambut kami. Tanpa basa-basi, Firdaus menanyakan dimana pak Taufiq kepada beliau karena dia meyakini bahwa penjelasan terlengkap ada di sana.

Aku merasa sial hari ini. Pak Taufiq dikatakan sedang berada di sekolah kami dan aku sangat lelah waktu itu. Aku mengambil waktu istirahat sebentar.

“Ada apa denganmu? Tidak biasanya kamu kelelahan berjalan. Kita sudah cukup sering berjalan, kenapa baru sekarang kamu kelelahan?”

“Bukan apa-apa, hanya saja, tubuhku melemah hari ini.”

“Baiklah, kita istirahat dulu di sini, tapi sebentar lagi, kita lanjutkan perjalanan kita.”

Komentar