arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Senin, 30 September. 16:30. Kami tiba di markas Pemadam Kebakaran Sukamawar, namun Idris nampaknya kelelahan. Dia mengaku tidak apa-apa, namun aku tidak percaya.

“Aku tidak yakin dengan jawabanmu,” ucapku.

Aku mulai mendekatinya yang baru saja duduk. Aku menyentuh dahinya. Terasa hangat, ciri-ciri bahwa dia sedang demam.

Aku ingin membawanya ke rumah sakit tapi dia menolak. Aku memaksa dengan mengambil ponsel dari saku dan nampaknya dia marah. Akhirnya aku memilih untuk menelepon ayahku saja.

“Ayah, bisakah ayah pergi ke markas pemadam sekarang? Bawa Idris pulang!”

“Baiklah, ayah segera ke sana.”

Aku mengembalikan ponsel ke sakuku. Idris menanyakan rencana kami. Aku memintanya untuk beristirahat. Sekarang saat yang untuk membalas kebaikannya. Aku meyakinkan bahwa urusan ini akan segera selesai.

“Pak Ibrahim, jagakan dia sebentar ya. Aku akan ke sekolah, melihat mereka.”

“Ya. Bapak akan diam di sini. Bapak juga menunggu mereka sebenarnya, tapi baiklah.”

Aku berlari kecil menuju ke sekolah. Setibanya di sana, aku melihat mobil pemadam kebakaran itu berhenti di depan pagar. Nampaknya menunggu kesempatan yang pas untuk menyeberang. Aku berlari semakin cepat sebelum mobil itu berangkat.

“Ada apa nak?” tanya pak Taufiq membukakan jendela mobil.

“Dimana mayat pagi tadi?” tanyaku langsung.

“Mayat itu? Setelah kami bersihkan, kami serahkan ke pihak rumah sakit.”

“Lalu, apa yang kalian lakukan di sekolah ini?”

“Kami hanya berurusan sebentar dengan polisi. Setelah polisinya pulang, kami juga membersihkan sumur itu.”

Mobil itu pun menyeberang jalan dan menuju markasnya. Sementara aku langsung pulang saja. Bersamaan dengan pulangnya ayahku.

“Bagaimana keadaan Idris tadi?”

“Dia baik-baik saja. Masih bisa berjalan sendiri ke rumahnya. Memang dia yang meminta untuk tidak diikuti.”

“Baguslah kalau dia baik-baik saja.”


Selasa, 1 Oktober. Pagi ini biasanya aku pergi bersama dengan Idris, namun sampai sekarang dia belum ada. Sudah beberapa menit aku menunggunya di pagar ini.

Tiba-tiba datanglah sebuah mobil. Seorang pria keluar dari mobil itu. Itu pak Mahmud, walikota sekaligus kepala sekolah baru kami.

Beliau menanyakan mengapa aku berada di sini, kujawab “Menunggu teman.” Sekarang beliau bertanya apa alasanku.

“Kemarin dia sakit, dan aku belum menjenguknya. Jadi, aku masih belum tau dia akan ada atau tidak.”

Beliau mendoakan agar Idris cepat sembuh. Dia menanyakan dimana rumahnya sehingga kami dapat menjenguk ke sana.

“Jika ada orang yang bertanya rumahku dimana, jangan kasih tau! Cukup aku aja!” Tiba-tiba aku terngiang ucapan Idris saat aku berkunjung ke rumahnya beberapa hari yang lalu.

“Ya, cukup jauh.” Hanya itu jawabanku, menjaga kepercayaan Idris meski dia tidak bersamaku. Aku kemudian diminta untuk masuk kelas.

Selama pelajaran pertama itu, aku gelisah dan guru yang sedang mengajar bertanya padaku kenapa. Aku tidak menjawabnya dan hanya meminta izin untuk keluar. Aku juga tidak menjelaskan tujuanku yakni ke kelas Idris.

Tok tok tok. Aku mengetuk pintu kelas itu yang tertutup. Berselang beberapa saat, pintu itu dibukakan oleh guru yang mengajar di kelas itu.

Beliau bertanya tujuanku. Pertama, aku mencari Idris apakah ada di kelas dan beliau menjawab tidak ada. Ketika beliau menanyakan kemana perginya, saat itulah aku menjawab bahwa kesehatannya melemah dan jatuh sakit.

Pada awalnya beliau agak skeptis, apalagi tidak ada surat sebagai bukti. Aku berusaha keras meyakinkan beliau dan beliau mengancamku apabila aku berbohong. Kuterima ancaman itu, tidak apa-apa bagiku asal Idris tidak dianggap alfa hari itu. Aku kembali ke kelasku, paling tidak lebih tenang daripada tadi.

Waktu berlalu dan tibalah saat pulang. Aku datang ke rumah disambut ayah dan beliau menyadari wajahku muram.

“Pasti gara-gara gak ada Idris kan?”

Aku hanya tersenyum dan bersiap untuk mandi. Setelah ganti baju baru aku makan. Aku berdiskusi sebentar dengan ayahku tentang tujuanku setelah makan ini.

Aku berpikir apakah pergi langsung ke rumah sakit, atau bertanya melalui telepon saja. Maksud pembicaraan itu adalah nama mayat yang ditemukan di sumur sekolah. Ayahku tahu tentang evakuasi mayat itu namun tidak tahu siapa namanya.

“Nah, itu yang ingin aku tahu. Aku sudah ada janji dengan Firdaus bahwa kami akan mengetahui nama mayat itu. Eh ternyata dia sakit.”

“Lebih baik kamu jenguk dia dulu, kalau dia sehat, ajak dia lagi. Kalau kamu pengen, ayah bakal nganterin.” Pada akhirnya aku dan ayahku pergi bersama ke rumah Idris.

Tok tok tok. Aku yakin itu ketukan pintu dari Firdaus, sudah menjadi ciri khasnya setiap kali datang ke rumahku. Aku pun membukakan pintu.

“Ada apa?” tanyaku.

“Udah baikan?” tanyanya balik.

“Alhamdulillah, mulai membaik. Aku sudah mulai bisa beraktivitas dan mungkin besok aku sudah bisa kembali ke sekolah.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Silahkan masuk. Kamu bersama ayahmu?” tanyaku sambil menengok ke belakangnya.

Aku meminta agar ayahnya masuk ke rumah juga. Firdaus mengingatkan agar stang motor dikunci. Kemudian mereka masuk dan aku menyuruh duduk di ruang tamuku.

Sementara itu aku pergi ke dapur sebentar dan kembali dengan dua gelas es teh. Aku menjamin tidak akan terulang lagi kejadian di restoran. Aku juga menyadari Firdaus mulai terbiasa dengan aroma melati, karena sekarang tercium di ruangan ini.

“Jadi, apa tujuan kalian ke sini?” tanyaku sambil duduk.

“Aku mendapat informasi bahwa mayat kemarin sudah dipindahtangankan dari pihak pemadam kebakaran ke pihak rumah sakit. Nah, kan kemarin kita sudah berjanji bahwa kita akan mengetahui siapa mayat itu. Sekarang aku bingung, apakah kita datang ke sana atau cukup di telepon saja perawat yang kita temui di Rumah Maneken Lilin dulu?”

“Telepon saja, kalau dia tidak mengangkat dan tidak menjawab, maka baru kita ke sana.”

“Baiklah. Aku akan menelponnya,” ucap Firdaus sambil mengambil ponsel di sakunya.

Dia sepertinya mengeraskan suara ponselnya, sementara ayahnya menghirup seteguk teh.

“Anda menghubungi salah satu perawat di Rumah Sakit Sukamawar. Ada apa pak/bu?” jawab perawat itu dengan cepat.

“Saya hanya ingin mengetahui, apakah ada mayat yang beberapa hari ini dibawa ke rumah sakit, hasil dari evakuasi dari Madrasah ‘Aliyah?”

“Izinkan kami mengecek informasinya sebentar. Boleh kami tahu nama bapak?”

“Bapak?” ejek ayahnya sambil tertawa kecil.

“Saya Firdaus. Orang yang meminta nomor Anda saat mgantar mayat di Rumah Maneken Lilin.”

Kami terdiam sebentar sambil mendengar ketikan di papan tombol komputer. “Kami sudah mengecek data, dan memang ada seorang mayat remaja pria yang diantarkan kemarin ke rumah sakit ini.”

“Anda sudah tahu identitasnya?”

“Kami sudah bekerja sama dengan pihak kepolisian, mayat tersebut teridentifikasi atas nama Mustafa.”

“Mustafa?” Aku dan Firdaus memandang satu sama lain.

Kami meminta identitasnya lebih lanjut seperti apakah dia pernah bersekolah di MA Sukamawar dan fotonya. Data yang kami dapatkan mengarah kepada satu orang, yakni Mustafa sang ketua OSIS itu.

Firdaus menjelaskan siapa Mustafa kepada ayahnya karena menurutnya pernah ke rumah meminta sumbangan. Ucapan istirja keluar dari mulut ayah Firdaus. “Turut berduka cita.”

Beliau menanyakan lebih lanjut tentang penemuan Mustafa itu dan kami menjelaskan bahwa-dugaan sementara-dia dibunuh. Kami berjanji akan mengetahui siapapun pelakunya.

Waktu Asar tiba, Firdaus dan ayahnya pulang. Setelah salat Asar, aku menelpon Kepolisian Kebun Melati dengan telepon yang ada di ruanganku itu. Tujuanku menelepon mereka adalah meminta nomor Kepolisian Sukamawar untuk menanyakan beberapa hal kepada mereka.

Mereka memberikan nomornya sementara aku mencatat. Tujuan utamaku terpenuhi sehingga tanpa menunggu jeda, aku langsung menelpon Kepolisian Sukamawar.

“Halo. Kepolisian Sukamawar. Ada yang bisa kami bantu?”

“Saya Idris dari Perbatasan, bisakah saya mendapatkan informasi tentang mayat yang dievakuasi dari MA Sukamawar?”

“Anda nampaknya tidak menonton konferensi pers kami. Kami akan menjelaskan ulang untuk Anda.” Aku sama sekali tidak mengetahui tentang diadakannya konferensi pers itu.

“Kami masih mengidentikasi hal tersebut. Hanya saja pihak rumah sakit menyatakan hasil pemeriksaan bahwa mayat ditembak di bagian jantung beberapa kali, sepertinya dibiarkan begitu saja, lalu dengan darah yang masih mengalir langsung dimasukkan ke dalam sumur. Itu masih dugaan kami, namun hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa mayat itu sudah berada di dalam sumur selama lima hari sampai penemuan.”

“Terima kasih atas informasinya.” Telepon itu ditutup oleh mereka.


Rabu, 2 Oktober - Aku kembali ke sekolah, aku mengaku bahwa ternyata aku perlu istirahat sebentar.

Aku banyak ditanya pada hari itu, oleh guru, teman sekelasku dan orang lain yang mengenalku. Pertanyaan yang sama, kemana aku kemarin. Aku pun menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku sakit.”

Waktu berlalu, singkat cerita hari itu aku belum bertemu Firdaus, bahkan di musala. Sampai waktu pulang, aku pulang lebih lambat dari orang lain karena ada yang masih kukerjakan. Intinya, aku bertemu dengan Firdaus di depan pagar seperti biasanya.

Kami berbicara sebentar, dan menduga-duga siapa pelakunya. Aku sama sekali tidak menduga siapapun saat itu, namun Firdaus mencurigai Zain. Wakil ketua OSIS yang sepertinya selalu menemaninya.

“Kenapa kamu mencurigainya?”

“Kejadian Matsama itu, ada kejanggalan. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan Zain.”

Setelah mendengar perkataan Firdaus tersebut, aku kembali memikirkan apa yang terjadi saat di Matsama itu. Rasa pesimis muncul, aku takut pemaparanku salah saat itu.

“Kita hanya bisa menunggu konferensi pers lanjutan dari kepolisian tentang masalah ini. Sekarang, secara terpaksa, kita lupakan sejenak kasus ini, tanpa mengetahui siapa pelakunya.”

Komentar