Senin, 23 Desember – Libur telah tiba. Semester pertamaku di MA Sukamawar sudah selesai, dan aku mendapat ranking pertama di kelas Agama dan Firdaus rangking pertama di kelas Bahasa. Ternyata Firdaus memang orang yang cerdas.
Seperti biasa, aku hanya berdiam di ruanganku, sambil membaca buku yang kusukai. Namun pagi itu, pintu rumahku di ketuk.
Aku membuka pintu, itu adalah tukang pos yang mengantarkan surat kepadaku. Aku cukup heran, karena aku ingin menebak bahwa ini dari Firdaus, tetapi dia selalu teleponan denganku saja, berarti bukan darinya. Aku cukup penasaran, siapa yang mengirim ini kepadaku.
“Mohon tanda tangan di sini,” ucap tukang pos itu menyerahkan kertas dan pulpen padaku.
Setelah urusan selesai dan tukang pos itu pergi, aku berjalan kembali ke ruanganku, ingin melihat isi surat ini. Tepat di saat aku duduk, telepon rumahku berdering. Aku mengangkatnya dan ternyata itu Firdaus.
Dia menanyakan “Apakah kamu mendapat surat?”
“Ya, memangnya kenapa?”
“Kamu sudah membukanya?”
“Belum.”
“Buka dulu, baca, apakah sama isinya dengan punyaku atau beda?”
Aku membuka suratnya, membacanya sebentar. Aku memberitahukan bahwa isi surat tersebut adalah pamflet yang menyatakan bahwa aku mendapat paket liburan ke Kota Pasir Putih secara gratisl Firdaus mengatakan bahwa dia mendapatkan surat yang sama.
Aku menanyakan dimana Kota Pasir Putih itu, dia menjawabkan terletak di selatan dari Sukamawar. “Kita ke sana bareng ya! Aku tunggu jam sepuluh di Terminal Sukamawar.” Firdaus sepertinya bersemangat.
“Pasir Putih….” gumamku.
Aku hanya mempersiapkan diri. Meletakkan buku ini kembali, pergi ke kamarku dan memilih pakaian yang lebih bagus meski tetap memakai jubah dan topi bundar.
Aku tidak menyangka bahwa dengan kami sering berjalan bersama di Sukamawar, aku mulai mengenal kota ini perlahan, sehingga aku bisa menemukan terminal. Firdaus sudah menunggu di sana, berdiri di salah satu bus yang nampaknya akan mengantarkan kami.
“Hanya kita berdua kah?” tanyaku pada Firdaus.
“Hm, iya juga ya. Kutanyakan sama supirnya dulu. Kamu duduk aja.”
Aku menaiki bus itu dan duduk di bagian tengah kiri. Dari tempat duduk ini, aku dapat melihat Firdaus berbicara dengan supir di depan sana, kemudian duduk di sampingku.
“Sepertinya ya,” kata Firdaus.
“Padahal aku menduga bahwa semua yang mendapat ranking pertama, mereka yang dapat hadiah.”
“Aku juga menduga demikian.”
Aku melihat jam tanganku, waktu menunjukkan jam sebelas. Aku memberanikan diri untuk bertanya “Ada apa dengan jam sebelas?” kepada Firdaus. Dia menjawab “Banyak hal yang kulakukan saat itu di rumah.”
Dia membalas pertanyaanku. “Apakah kamu sudah minta izin sama orang tuamu?” Aku menjawab bahwa aku sudah diperbolehkan. Di dalam hatiku, aku tidak bisa mengatakan itu sebuah kejujuran namun itu juga bukan kebohongan.
“Kamu membawa surat tadi, Idris?” tanya Firdaus.
“Ya, aku membawanya,” jawabku sambil mengeluarkannya dari saku celana.
“Minjam bentar, aku pengen baca.” Aku pun menyerahkannya kepada Firdaus. Dia membandingkannya dengan suratnya.
Kami mendapat surat yang sama. Pamflet liburan. Firdaus kemudian menjelaskan bahwa tujuan utama kami adalah pantai di sana. Dia menunjukkan salah satu gambar yang ada di pamflet itu.
“Indah…. Kamu pernah ke sana sebelumnya?” tanyaku.
“Belum juga.”
Perjalanan kami menghabiskan tiga jam, cerita Firdaus kepadaku. Meski aku memakai jam tangan, tapi aku jarang memperhatikannya.
Akhirnya kami tiba di dekat Pantai Pasir Putih. Nama yang sesuai. Ketika Firdaus ingin membayar ongkos perjalanan, supir itu menolak dan menjawab bahwa perjalanannya gratis. Kami pun berterima kasih kepada beliau.
Setelah kami turun dari bus, kami dikejutkan oleh pemandangan. Firdaus membandingkannya dengan apa yang di surat.
“Kenapa berbeda jauh….”
Pohon kelapa bertumbangan, sampah-sampah berhamburan. Sungguh jauh jika dibandingkan dengan di pamflet itu. Firdaus kembali membacanya dan menjelaskan bahwa kami disediakan penginapan gratis di Hotel Indah yang terletak dekat dengan pantai ini. Dia menunjukkan foto hotel itu.
“Yang itu kan?” tunjukku.
“Iya,” jawab Firdaus.
Kami ke sana berjalan. Di tengah perjalanan, Firdaus menepuk bahuku. Dia berkata bahwa dia melihat sebuah tenda namun aku malas melihatnya.
“Itu tenda siapa ya?”
“Mungkin punya orang dekat sini.” jawabku malas.
“Kamu bahkan tidak melihatnya!”
“Karena tujuan kita adalah hotel dulu, pantainya nanti.”
Setibanya di hotel, kami berurusan sebentar dengan sang resepsionis. Dia tidak memberitahukan siapa yang membayar semua ini. Kemudian aku dan Firdaus berbincang sebentar dan memutuskan untuk salat Zuhur terlebih dahulu sebelum tibanya salat Asar.
Sesudah Asar, barulah kami melanjutkan perbincangan kami. Kami bertukar cerita mengenai liburan tahun lalu, sebelum kami dikejutkan oleh sebuah teriakan seorang wanita.
Teriakan itu terdengar dari ruang tengah hotel ini. Aku langsung berlari menuju sumber suara.
Kubuka pintu itu, sudah tergeletak seorang pria, tersandar di dinding dekat pintu, dengan pisau berada agak ke tengah dari ruangan itu.
Aku melihat dari pintu ini, pisau itu berdarah. Tangan pria itu menutup dadanya yang sepertinya tikaman mengarah ke sana.
Di dalam ruangan itu, hanya ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Dari pakaian mereka, sepertinya mereka pelayan. Pelayan wanita itu sepertinya masih terkejut dengan pandangan yang ada di depannya. Bahkan dia masih terdiam dengan baki yang ada di tangannya.
Sementara pelayan pria itu, wajahnya agak berkeringat. Ekspresinya beda. Aku agak mencurigainya. Ditambah dengan gelagatnya yang mencoba untuk pergi.
“Jangan bergerak!” teriakku.