Aku berpaling dan membisiki Firdaus untuk segera menelpon polisi dengan ponselnya. Aku melarangnya menyuruh resepsionis nanti mereka tahu. Firdaus pun pergi ke luar, menuju pantai.
“Ada apa ini?” Seseorang keluar dari pintu tepat di samping korban.
Ekspresi pelayan pria itu berubah dan aku masih mencurigainya atas gelagatnya. “Anda mohon diam di situ sebentar. Saya akan menanyakan beberapa hal kepada kalian.”
Bel resepsionis berbunyi. Aku berpaling untuk melihatnya sebentar dari kaca pintu ini.
Sepertinya hotel ini kedatangan orang lagi. Orang ini dengan santainya, memakai baju dengan corak hijau, mengenakan tas dan kacamata hitam. Dia berjalan dengan santai sampai resepsionis memintanya menuju ruang tengah, dia nampak kebingungan melihat kami.
“Baiklah, sepertinya baru saja terjadi pembunuhan. Saya akan menanyai kalian beberapa hal.”
“Memangnya siapa kamu?” tanya pelayan pria.
“Saya Muhammad Idris,” jawabku tersenyum.
“Sia-sia saja aku bertanya.”
“Eits! Ingat aturan kita,” ucap orang yang baru keluar dari pintu tadi.
Aku menanyai nama mereka satu per satu. Nama pelayan pria itu Tirto, dia menjawab dengan santai. Pelayan wanita itu Irma, dia menjawab dengan agak gugup. Orang dari dalam ruangan itu Amir, pemilik hotel ini. Beliau menjawab dengan tegas.
Aku bertanya kepada Irma, “Apakah Anda yang berteriak tadi?” Dia membenarkan dan aku bertanya alasannya. Dia menjawab bahwa dia terkejut melihat itu saat menyalakan lampu. Jawabannya itu memberitahuku bahwa pembunuhan terjadi di dalam kegelapan.
“Anda?” Aku menanyai pengunjung itu.
“Namaku Alif,” jawabnya.
Tak lama kemudian, datanglah Firdaus, kemudian membisikku. “Polisi tidak bisa datang sekarang, beberapa hari yang lalu badai menerjang pantai ini dan jalan mereka terhalang oleh pohon kelapa yang roboh.”
“Bagaimana dengan ambulans?” tanyaku.
“Kurasa mereka akan tiba sebentar lagi.”
Alif itu nampaknya kesal dan membalas dengan menanyai siapa yang membisikiku itu. Aku menjawabkan, “Dia Firdaus, temanku.” Aku kemudian menunjuk sebuah arah agar Alif berdiri di sana.
Aku mewawancarai mereka satu per satu. Kumulai dari Irma, aku menanyakan bagaimana dia bisa menemukan mayat itu. Dia menarik napas terlebih dahulu sebelum menjawabnya.
“Sebelumnya aku mengantarkan minuman ke kamar 106, kemudian aku kembali menuju dapur yang terletak di kiri Anda. Ternyata ruangan ini sebelumnya gelap. Aku berusaha menaruh nampan ini di tangan kiriku dan menyalakan lampu dengan tangan kananku. Dan aku dikagetkan dengan melihat mayat ini.”
Aku menanyakan dimana dia tinggal, dan Tirto menjawabkan bahwa mereka –sebagai pelayan– diberi ruangan khusus untuk ditinggali. Dia menunjukkan kemana arahnya, kemudian aku bertanya apa yang dilakukannya saat waktu kejadian.
“Aku sebelumnya mengantarkan seorang pengunjung keluar, dia ingin pulang. Kemudian aku ingin menemui ‘bos’ untuk memberitahukan itu. Dan bersamaan dengan yang diceritakan Irma.”
“Apakah Anda melihat Mbak Irma benar-benar memegang nampan dengan tangan kirinya?”
“Kurasa itu benar, dia memeluknya seperti ini.” Tirto mencontohkan.
Aku kemudian bertanya kepada Amir, sang pemilik hotel. “Mengapa Anda tidak langsung keluar saat Irma berteriak?” Hal itu membuatku sangat mencurigai beliau.
“Aku barusan ada urusan masalah pendanaan, sehingga aku agak tidak peduli dengan teriakan itu. Lagipula Irma ini sering berteriak.” Alasan ini membuatku merasa tidak perlu mewawancarai resepsionis, lagipula aku melihat dia berdiri di tempatnya bahkan sebelum kami masih di depan hotel. Aku merasa dia aman dari kasus ini karena aku yakin pembunuhannya baru saja.
“Baiklah, bagaimana dengan Anda Mas Alif? Apa tujuan Anda ke sini?”
“Saya ingin bertemu dengan pemilik hotel ini sebentar.”
“Sebentar? Memangnya Anda tinggal dimana?”
“Anda melihat tenda di pantai tadi?”
“Ya, aku melihatnya!” jawab Firdaus tiba-tiba. Aku merasa dia seolah menyindirku yang dalam pandangannya tidak memperhatikan tenda itu.
“Aku tinggal di sana sementara. Sudah beberapa hari rasanya aku di sana.”
Terdengar suara sirine dari kejauhan, Firdaus menyambutnya. Aku melihatnya dari pintu ini, karena pandanganku cukup dengan lurus saja. Ternyata itu ambulans, karena ada tim yang membawa tandu.
Salah satu dari mereka mencari pemilik hotel dan Amir mengacungkan tangan. Dia meminta izin kepada beliau untuk menandai bekas jenazah tersebut demi kepentingan polisi nantinya. Beliau membolehkan, “Aku ingin tahu siapa pembunuh bendaharaku ini.”
Kami tiba di kamar kami, di dalamnya ada sebuah televisi, wastafel, dan dua kasur yang terpisah. Aku melepas tasku dan duduk di salah satu kasur.
Kami memulai diskusi tentang siapa pelaku pembunuhan itu. Kecurigaan kuatku berada di Amir sang pemilik hotel. Ekspresi beliau yang santai padahal bendahara.
Firdaus mengatakan bahwa dia juga masih memikirkannya dan menyuruhnya untuk tidur terlebih dahulu, “Mungkin dengan tidur, kita bisa mendapatkan sesuatu.” Aku hanya tertawa ringan, meletakkan kepala di bantal dan mulai memejamkan mata.