arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Saat itu jam tiga dini hari, maka hari sudah berubah menjadi Selasa, 24 Desember. Aku dibangunkan oleh teriakan seorang wanita. “Seperti suara Irma,” ucapku sambil bangun perlahan.

Aku melihat ke sampingku, sepertinya Firdaus tidak tidur. Aku menanyakan hal itu, dia menjawab bahwa dia hanya bangun sedikit lebih awal dariku.

“Apakah kamu langsung menuju ke sumber suara itu?”

“Sumber suara apa?” tanya Firdaus sambil mengusap wajah.

“Aku kira kamu bangun karena mendengar teriakan sepertiku.”

“Tidak, mimpiku barusan kurang enak.” Dia menjelaskan bahwa entah kenapa mimpi itu memberi sebuah pesan namun dia tidak bisa memecahkannya.

Aku pergi ke wastafel yang terdapat di dalam kamar kami, mencuci tangan dan wajahku. Aku sempat merencanakan untuk mandi namun teriakan tadi mengurungkan niatku.

“Kamu mau ikut?” tanyaku kepada Firdaus.

“Tidak, kurasa aku akan tidur lagi.”

“Baiklah, semoga lebih nyenyak.”

Aku pergi ke arah lobi karena merasa di sana asal teriakan itu. Ruangan dimana kami berkumpul kemarin. Belum sampai ke sana, aku berpapasan dengan Mbak Irma.

“Ah, kebetulan banget!”

“Ada apa?” tanyaku kebingungan.

“Sini, aku mengantarkan sebentar. Kamu tidak akan percaya apa yang aku lihat.”

Kami hanya berjalan karena Mbak Irma yang membimbingku karena aku tidak tahu kemana arah yang dia tuju. Dia mengantarku ke ruang pak Amir.

Pintu ruangan beliau sudah terbuka dan beliau tergeletak di belakang pintu. Aku memeriksa keadaan beliau, dan beliau sudah tiada. Aku melihat tubuh beliau, tusukan yang sama dengan pembunuhan kemarin. Aku sontak melihat ke arah pisau terdahulu, pisau itu masih ada di tempat yang sama.

“Bagaimana ceritanya?”

“Ayahku baru saja menelponku dan menyuruhku pulang sesegera mungkin, aku pun ingin lapor kepada bos. Ketika kubuka pintu, anehnya langsung terbuka, dan aku dikejutkan oleh bos yang sudah meninggal.”

“Terima kasih atas ceritanya. Aku nanti akan bertanya dengan yang lain, tapi kuamanahkan satu hal. Jangan bercerita ke yang lain terlebih dahulu.”

“Baiklah, kuusahakan.” Irma berjalan menuju –sepertinya– kamarnya. Dia mengusahakan ceritanya tidak tersebar.

Aku kembali ke kamar, membuka pintu. “Ada apa? Wajahmu nampaknya sangat bingung?” sambut Firdaus.

“Kamu baru saja menambah kebingunganku dengan dirimu yang tidak tidur.”

“Aku putuskan untuk tidak tidur, karena aku tidak bisa lagi. Jadi, apa yang terjadi?”

“Pak Amir dibunuh.”

Firdaus mengatakan secara halus bahwa dia sudah menduga itu akan terjadi. Ketika si bendahara dibunuh, tempat kejadian berdekatan dengan kantor Amir sehingga Firdaus beranggapan bahwa sebenarnya pelakunya ingin membunuh Amir namun salah.

Namun aku juga menyalahkan diriku, yang membiarkan pisau tergeletak di lantai. Firdaus memarahiku saat itu, menyuruhku agar tetap tenang. “Kamu tidak salah, hanya saja pelaku memanfaatkan hal itu.”

Aku mulai menenangkan diri. “Sekarang, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Firdaus.

“Aku akan menanyai para pegawai dan Alif.”

Ketika aku ingin berdiri, Firdaus menahanku. Dia sangat ingin menceritakan apa yang dia lihat dalam mimpi. Dia bercerita bahwa di dalam kegelapan ada warna yang baru bisa dilihat kalau ada cahaya. Aku sama sekali tidak memahami makna mimpinya. Hanya saja, ada sebuah asumsi yang muncul dari sana.

Aku kembali berdiri dan Firdaus ikut denganku. Kami berjalan ke arah lorong para pegawai. Dari lobi ini, kami bisa melihat bahwa hotel ini bukanlah hotel 24 jam. Karena nampaknya resepsionis juga tidur.

Kami cukup ditakjubkan, karena secara kebetulan hanya tiga pegawai yang nampaknya bekerja di bulan Desember ini. Hal ini kami ketahui dari papan nama yang terletak di depan pintu.

Kami pergi ke ruangan Tirto. Tertulis dengan jelas “Tirto Mangunkusumo, Pelayan”. Aku pun mengetuk pintunya. Cukup lama untuk menunggu beliau keluar dari kamar.

“Ada apa? Pagi-pagi sekali….” gumam Mas Tirto.

“Kami hanya ingin bertanya,” jawabku.

“Oh, silahkan.”

Aku menanyakan “Apakah Anda sempat keluar kamar sebelum kami ke sini?” Beliau menjawab tidak karena tidur sangat nyenyak sampai kami membangunkan. Aku meminta maaf atas hal itu.

Kami berjalan ke ruangan di sebelahnya. “Nadia Karima, Resepsionis,” gumamku membaca papan nama.

Kami melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, namun tanggapannya sama. Hanya saja, kami menambah satu pertanyaan. “Dimana kamar Alif?”

“Alif? Siapa?” Nadia nampaknya kebingungan.

“Pria dengan baju corak hijau yang mengenakan tas dan kacamata hitam itu.” Firdaus mendeskripsikan.

“Tidak ada yang namanya Alif datang ke hotel ini selama hari ini.”

Nampaknya beliau mengambilkan buku tanda tangan tamu yang beliau jaga di kamar. “Nah, lihatlah sendiri,” ucap beliau sambil menyerahkan buku itu.

Ada satu nama yang menarik perhatian kami, yakni Zain.

“Mungkin saja bukan dia kan?” tanya Firdaus.

Aku teringat sesuatu, meminta Firdaus tetap di sana sementara aku kembali ke kamar kami dan mengambil sesuatu. Aku membandingkan buku di tanganku ketika aku kembali. Buku itu adalah buku petunjuk saat Matsama, salah satu halaman berisi daftar anggota OSIS beserta tanda tangannya.

“Hm…. Kurasa itu memang dia,” jawabku. “Apakah dia masih di sini?”

“Tidak, aku melihat dia pergi setelah masuk ke lobi.” Nadia menutup pintu kamarnya.

“Kira-kira kemana perginya?”

“Tenda itu!” Firdaus mengucapkannya dengan cukup keras. Nampaknya dia teringat tentang itu.

“Tenda apa? Firdaus, kamu sendiri sudah tahu terjadi badai di pantai ini dari teleponanmu dengan polisi itu. Mana mungkin tenda bisa bertahan?” Aku berusaha menyadarkan Firdaus. “Sudah jelas ada yang berbohong di antara mereka. Terutama Alif alias Zain ini.”

“Ya, tidak kusangka dia ada di sini. Tapi, apakah mungkin dia yang melakukannya?”

“Mari kita kumpulkan saja semuanya setelah Subuh nanti.”

Komentar