Pagi itu ambulans tiba dan mengambil mayat Pak Amir. Setelahnya kami meminta semuanya berkumpul di lobi dan aku berterima kasih atas hal itu.
“Terutama kamu, Alif.” Aku memandangnya dengan pandangan sinis.
Aku menjelaskan bahwa aku akan memberitahukan pelaku pembunuhan bendahara dan pemilik hotel ini. “Mungkin kalian akan terkejut, tapi pelakunya ada di antara kalian.”
Pada awalnya aku menjelaskan cara membunuh terlebih dahulu, dan aku memulainya dengan si bendahara.
“Aku menduga keras bahwa sebenarnya pembunuh ingin membunuh pak Amir. Masalahnya, dia melakukannya dalam kegelapan, secara harfiah.”
“Dia menunggu dari awal di depan pintu ini. Lalu ketika pintu terbuka kemudian tertutup dia langsung membunuh yang ternyata bendahara bukan Pak Amir.”
“Untuk ini, aku sebelumnya mencurigai pak Amir. Bagaimana mungkin dia tidak mengetahui segalanya, wajahnya terlihat biasa saja ketika melihat mayatnya tergeletak. Sepertinya pak Amir juga membencinya. Sampai beliau yang dibunuh.”
Aku menjelaskan bahwa aku dan Firdaus sempat masuk sebentar ke dalam ruangan beliau. Firdaus memberitahukanku bahwa jam tangan beliau hilang dan uang yang diurus itu tidak ada.
“Cara pelaku membunuh kali ini, bahkan dengan pisau yang sama. Masuk dengan mudahnya ke ruangan beliau karena menurutku memang selalu tidak dikunci dan membunuh beliau yang tidur.”
“Ada satu orang yang berekspresi berlebihan, itu adalah pelakunya. Yakni Anda, mbak Irma!
“A-a-apa alasanmu menuduhku? Mana buktinya?”
“Cerita Anda sendiri tentang menyalakan lampu sangat membantu kami. Karena Anda melakukan ‘tindakan’ itu dalam kegelapan, Anda salah orang. Lagipula, hanya Anda yang ada pada waktu kejadian.”
“Alibi Anda sempat diperkuat oleh Mas Tirto. Tapi tidak dengan pembunuhan Pak Amir. Tidak ada yang melindungi Anda kali ini. Anda dengan ‘cerdasnya’ berteriak, kemudian memberitahukan segalanya kepadaku, dan dengan santainya kembali.”
“Apakah benar kamu pelakunya, Irma?” tanya Tirto.
“Ya, mereka benar.”
“Apa alasanmu membunuh bos kita?”
“Dia sudah keterlaluan! Mentang-mentang bos, memegang kunci, masuk dengan mudahnya ke kamarku dan kamu seharusnya sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dia mengancam memecatku apabila aku menolak, padahal aku bekerja untuk keluargaku.”
“Sepertinya dia tidak berbohong ketika ayahnya menelpon itu.” bisikku kepada Firdaus sebentar kemudian melanjutkan, “Tapi kamu tidak melakukannya sendiri. Aku tahu ada orang yang menyuruh Anda. Yakni, kamu Alif, tidak, ZAIN!!”
“Tidak kusangka kamu tahu aku,” ucap Zain.
“Ya, tidak kusangka juga kamu memanfaatkan dendam orang untuk keinginanmu sendiri. Aku tahu Anda mbak Irma bekerja untuknya, dengan syarat kekayaan dari pak Amir yang beliau letakkan di ruangan beliau, semuanya diambil dan dibagi dua.”
“Dan Anda juga yang membunuh Kak Mustafa!” ucap Firdaus. Aku langsung memandangnya, terkejut atas pernyataannya.
“Apa alasanmu menuduhku?”
“Aku merasa penjelasan Idris salah ketika Matsama itu. Memang terlihat Anda diculik, tapi sebenarnya Anda menyembunyikan diri Anda sendiri ke musala karena itu tempat terdekat. Jadi sebenarnya, andalah yang merancang kasus itu, namun dia mengaku itu rancangannya.”
Zain hanya diam. Suasana hening, sampai kami mendengar sirine di luar. Tiba-tiba, Zain mengambil pisau yang tergeletak itu dan langsung menusuk Irma, kemudian langsung lari. Aku mencoba mengejarnya sementara Firdaus mendampingi Irma.
“Kejar dia, dia penjahatnya!” teriakku kepada polisi.
Aku dan beberapa polisi mengejarnya sampai ke pantai, dia pun mengambil speedboat yang sudah terletak di sana dan kabur. Polisi mencoba menembaki namun tidak bisa.
“Sial!” Aku begitu marah sampai mengucapkan hal itu. Kekesalan diluapkan dengan duduk berlutut seraya meninju pasir. “Baiklah, mungkin aku perlu kembali ke hotel.” Aku mencoba untuk tenang kembali tanpa memandang polisi yang membantuku.
Sesampainya di depan hotel, Firdaus menyambutku. “Kamu nampaknya murung.”
“Ya, kami gagal menangkap Zain. Bagaimana dengan Mbak Irma?”
“Dia berhasil bertahan karena Mas Tirto memberi jasnya untuk dijadikan perban. Dia kemudian dibawa polisi”
“Aku turut kasihan dengan Mas Tirto. Dari ekspresi beliau saat kita di dalam sana tadi, beliau sangat terkejut Mbak Irma pelakunya. Aku ingin bicara dengan beliau.”
Kebetulan sekali Tirto keluar, wajah beliau murung. Aku menanyakan kemana beliau akan pergi. “Mau pulang….” jawab beliau.
Kami menanyakan bagaimana hotel ini nantinya. Beliau merencanakan untuk ditutup. Kami berusaha untuk membujuk beliau agar hotel ini tetap dibuka, paling tidak selama Desember ini. Nadia juga mengingatkan tentang ucapan Amir dahulu.
“Terima kasih adik-adik atas sarannya. Mungkin aku bersama Nadia akan melanjutkan hotel ini. Ingatlah untuk selalu kembali ke sini kapan-kapan.”
Setelah kejadian itu, aku dan Firdaus berencana pulang, mengingat apa yang barusan terjadi. Namun kami menyempatkan untuk pergi ke pantai terlebih dahulu. “Hei, kenapa tenda si Zain masih ada di sini?” tanya Firdaus.
Firdaus mendekati tenda itu sementara aku memperingatkannya untuk berhati-hati. Ternyata di dalam tenda itu, ada sebuah surat yang ditunjukkan oleh Firdaus. Aku mendekat, membaca surat itu.
“Sampai jumpa!” Itu tulisan tangan Zain. Nampaknya dia benar-benar mempersiapkan segalanya, bahkan mengecoh kami dengan hal sesederhana ini.
Aku hanya memikirkan tentangpemaparanku saat Matsama itu, apalagi setelah mendengar perkataan Firdaus bahwa aku salah. “Apakah aku tertipu?” gumamku.