arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Selasa, 31 Desember - Kami terjebak di Kota Pasir Putih sepekan ini. Bus yang mengantar kami akan menjemput besok pagi. Selama itu, kami tetap menginap di hotel ini dengan biaya yang ternyata masih cukup.

Meski demikian, keadaan kota ini tetap baik. Apalagi setelah pantai ini dibersihkan. Sekarang, baru pantai ini terlihat seperti di surat itu.

Untungnya, kami menyediakan banyak baju sebelumnya. Kami dapat ikut berenang dan bermain voli saat itu. Namun kejadian yang tidak mengenakkan tetap terjadi.

Saat itu hari Rabu, 25 Desember. Tidak jauh dari pantai ini, terjadi sebuah kecelakaan. Pohon cemara raksasa bagai Rockefeller Center Christmas Tree di New York City yang seharusnya berdiri tegak, roboh dan menimpa banyak orang. Satu orang tewas dan tiga orang luka-luka.

Sampai hari ini, keadaan baik-baik saja. Di kota yang hangat ini, ada dari mereka tetap merayakan Natal. Bahkan banyak turis berdatangan dan menginap di hotel yang sekarang dimiliki Tirto itu.

Sekarang kami sedang berada di ruang kerja Tirto, atau TKP pembunuhan Amir sepekan yang lalu. Tentunya sekarang ruangan ini sudah bersih, pisau sebagai bukti itu sudah diambil juga.

Kami di ruangan ini hanya berbagi cerita, mengisi kekosongan selama kami berada di sini.

“Selain orang-orang yang merayakan natal, ada juga yang merayakan tahun baru. Di tengah kota, ada jam raksasa. Mereka berkumpul di sana dan menghitung mundur sampai jam dua belas malam.”

Itu hanya sebagian dari cerita beliau. Kami harus menunggu malam untuk melihat acaranya.


21:00. Kami mulai berjalan menuju tengah kota berdasarkan peta yang diberi peta oleh Mas Tirto.

Jalanan sudah cukup ramai. Mereka menyiapkan ponsel untuk merekam apa yang terjadi malam ini. Polisi juga menjaga keamanan di sini.

Tanpa sengaja, aku bersenggolan dengan seorang pria. Aku memandang wajahnya karena kesal. Tapi aku merasa pernah melihat orang itu.

“Ada apa, Idris?” tanya Firdaus.

“Dia, pria pembawa buket bunga itu.”

“Tunggu, bukankah Darto sudah ditangkap?”

“Kurasa dugaanku salah. Mungkin Darto ditangkap untuk pembunuhan di restoran itu, bukan untuk semua pembunuhan seperti wanita dekat rumahku itu.”

Firdaus menanyakan bagaimana keadaan rumahku seandainya itu memang salah. Aku menjawab bahwa rumahku sekarang sudah aman. Gangguan itu nampaknya memang halusinasiku.

Karena kami tahu dia pelaku kejahatan, berusaha menghentikannya adalah hal yang perlu dilakukan. Kami mulai mengikuti kemana perginya dia. Dia berhenti di depan jam raksasa itu. Bertemu dengan seseorang.

“Zain?” tanya Firdaus.

“Tunggu, itu Zain? Padahal aku dengan jelas melihat bahwa dia kabur melalui laut dengan speedboat.” Sampai sekarang aku masih bingung bagaimana caranya dia melakukan hal itu.

Kami penasaran apa yang mereka bicarakan. Posisi kami yang jauh dan suara mereka yang pelan membuat tidak bisa didengarkan. Kami hanya melihat pria buket bunga itu memberikan sebuah kembang api.

“Sebuah kembang api? Untuk apa?” tanyaku.

“Entahlah, tapi yang jelas aku akan memotret dulu.”

“Pastikan lampu kilatnya mati. Kita bisa ketahuan gara-gara itu.”

“Ya, aku tahu.”

Kebetulan sekali, Firdaus memotret tepat sebelum mereka berpisah. “Seharusnya ini menjadi bukti keras, jika polisi sini mau menerimanya.”

“Karena mereka pergi, apakah kita pergi juga?”

Kami sedikit berdebat tentang posisi kami berdiri selanjutnya. Banyak pilihan tersedia, karena suasana masih mendukung. Akhirnya kami memilih untuk mundur sedikit agar bisa melihat jam besar itu, dan melihat apa yang akan mereka lakukan dengan kembang api itu.


Waktu sudah menunjukkan 23:16 dan kami baru saja sampai di tujuan kami. Masyarakat yang berdesakan menurutku malah menyusahkan. Kami merasa kehilangan jejak mereka.

Beberapa menit kemudian, kami melihatnya, “Pria buket bunga.” Dia bersembunyi di semak-semak belakang jam raksasa itu.

“Bagaimana dia bisa ke sana?” tanya Firdaus.

“Dia sepertinya selalu di sana sejak kita melihatnya tadi.”

Aku berkata kepada Firdaus bahwa aku curiga sebenarnya dia bagian dari kepolisian. “Lihat betapa mudahnya dia, pantas saja Zain mau bekerja sama dengannya.”

Aku juga curiga bahwa dia bukan orang biasa. Dia seorang ilusionis. Firdaus bertanya kepadaku mengapa aku memiliki anggapan seperti itu.

“Masih ingat cerita saat kamu di rumahku? Siapa lagi yang bisa mengeluarkan pedang dari buket bunga selain dari seorang ilusionis. Aku bahkan tahu triknya.”

Firdaus penasaran, maka aku menjelaskan. Dia menyembunyikan pedang itu di bawah lengan bajunya, sehingga dia bisa mengeluarkannya kapan saja.

Kami terus berbicara seraya menunggu waktu berlalu, dan pada akhirnya Zain menunjukkan wajahnya.

“Itu dia ‘kan?” tanya Firdaus.

“Ya itu dia. Kita lihat apa yang akan dia lakukan.”


23:59. Masyarakat mulai menghitung mundur. Sementara pandanganku fokus kepada kembang api yang berada di depan Zain itu.

“Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu!”

BUM!

Ledakan terjadi di hadapan mata kami. Itu bukan kembang api biasa, tapi bom asap yang dirancang menyerupainya.Asap ini cukup tebal sehingga kami tidak bisa melihat apa yang terjadi. Namun yang jelas, kami melihat percikan darah berserakan.

Komentar