arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Asap mulai menghilang, terlihat seorang mayat tergeletak tepat di tempat Zain berdiri. Masyarakat mulai ketakutan. Mereka berdesakan untuk pulang. Sementara polisi menutupi pandangan kami dari mayat itu.

“Harap tenang! Jangan panik!” teriak salah seorang polisi di sana.

Namun masyarakat yang ricuh itu sepertinya tidak bisa mendengarnya. Firdaus menunjuk ke mayat itu, memberitahukan mayat itu akan dimasukkan ke dalam kantong jenazah. Aku mulai memerhatikan seteliti yang aku bisa.

“Itu bukan Zain! Itu orang lain!” ucapku.

“Siapa dia?”

“Alif yang asli.” Aku mengetahui hal itu dari nama yang tertera di bajunya.


1 Januari, 02:35 - Kami berhasil pulang ke hotel. Membutuhkan waktu yang lama, karena masyarakat yang ramai.

Setibanya di kamar kami, aku langsung menyalakan televisi dengan niat menonton berita.

“Berita terkini dari Kota Pasir Putih. Sebuah ledakan bom bunuh diri terjadi di depan jam raksasa. Berikut liputannya.”

Setelah melihat itu, aku langsung ingin tidur. Firdaus terlihat menonton berita itu dan menyadari sesuatu. Dia mengambil ponsel dari tasnya. Aku mendekat, dia membuka foto panorama ketika kami di Kebun Melati.

06:32 - Kami menyelesaikan rutinitas kami, kemudian kami berbicara. Aku menanyakan apa yang Firdaus temukan dari foto itu. Dia menjelaskan bahwa dia melihat dalam liputan malam tadi ada sebuah rekaman dari helikopter wartawan yang menunjukkan adanya sebuah helikopter lainnya yang persis sama dengan di foto.

“Bisa saja itu helikopter polisi kan?”

“Memang helikopter polisi, tapi polisi Kebun Melati.”

Dia meyakini apa yang dia temukan itu akan sangat berguna nantinya. Sementara itu kami berencana untuk melihat TKP dari dekat, mencoba mengungkap bagaimana Zain melakukan trik itu.

08:51 - Kami tiba di TKP kejadian malam kemarin. Polisi sudah membatasi dengan garis kuning. Kami mencoba menerobos garis polisi dan kami dihalangi oleh seorang polisi di sana. Dari pangkat dan nama yang tertera di seragam beliau, Inspektur Polisi Dua Pratama menjadi pengenal.

Kami menjelaskan bahwa kami ingin menaiki menara itu, untuk melihat pemandangan, namun kami dilarang. “Bagaimana kalau bertukar informasi saja. Anda yang ke atas sana?” Firdaus menawarkan solusi miliknya.

“Informasi?” tanya Ipda Pratama menertawakan.

Firdaus mengambil ponselnya kemudian menunjukkan kepada polisi itu. “Anda mengenal dua orang ini?” tanyanya.

“Astaga. Yang satu ini benar-benar dicari di seluruh provinsi.”

“Yang mana?”

“Yang menyerahkan kembang api itu.”

“Siapa dia?”

“Namanya Dimas. Dia menggelari dirinya sendiri sebagai ‘Sang Ilusionis’. Kejahatan yang dia lakukan selalu susah untuk dihalangi.”

Aku kemudian menjelaskan bahwa kembang api yang diserahkan Dimas digunakan dalam kejadian malam kemarin. Ipda Pratama kembali memperhatikan foto yang ditunjukkan Firdaus dan bersikeras bahwa mayat yang ditemukan tergeletak berbeda dengan –Zain– yang menerima itu.

“Memang beda, ada triknya, pak. Makanya kami ingin memeriksa dulu, seandainya benar maka saya bisa memberitahukan Anda triknya.”

“Tapi, bagaimana keadaan mayat itu?” tanya Firdaus.

“Lengan kirinya hampir terputus, dan memar di belakang kepala dan punggungnya.” Firdaus nampak mencatat hal itu di ponselnya.

Aku bertanya, “Bagaimana sekarang?” Ipda Pratama tetap melarang dengan alasan tidak ada jalan masuk. Aku kecewa dan meminta Firdaus agar kami pulang bersama.

12:10 - Kami tiba di terminal Sukamawar. Ya, kami sudah bisa pulang. Kami pun pulang ke rumah masing-masing.

12:45 - Aku tiba di rumahku. Aku terkejut. Proyek sedang dilakukan. Sepertinya mereka mencoba meruntuhkan tembok di dekat rumahku dan membangun gerbang. Akhirnya rumahku tidak menjadi gerbangnya lagi.

Setelah istirahat sejenak, aku menelepon Kepolisian Kebun Melati. Aku meminta penjelasan tentang helikopter itu. Pertama, aku menanyakan apakah mereka menggunakannya dalam patroli.

“Sebulan sekali.” Setelah mendapat jawaban dari mereka tentang hal ini, tanpa tanggung-tanggung aku langsung menanyakan apakah ada sesorang bernama Dimas di sana. Aku menjelaskan dia adalah seorang ilusionis.

Mereka menjawab memang ada sehingga aku sangat terkejut dan tidak sabar ingin menelepon Firdaus. “Terima kasih atas waktunya. Saya tutup teleponnya.”

Aku pergi ke ruanganku dan menyalakan komputer yang terletak di meja itu. Aku mencari video liputan itu, mencoba melihatnya ulang karena Firdaus melihat apa yang aku tidak lihat.

Aku menemukan apa yang dilihat Firdaus. Helikopter itu. Dengan ciri-ciri yang jelas, siapapun mengenal bahwa helikopter itu milik Kepolisian Kebun Melati.

Sekarang, aku mencari video liputan dari media lain. Aku menemukan video dari bawah, yang tidak sengaja merekam sesuatu yang jatuh. Aku menontonnya dengan teliti dan aku sadar bahwa itu Alif.

Aku meraih telepon untuk memanggil Firdaus. Pertama, aku bercerita tentang pembicaraanku masalah helikopter dan Dimas. Aku menceritakan ulang bahwa mereka mempekerjakannya sebagai anggota kepolisian.

“Apakah mereka sudah tahu kejahatannya yang itu?” tanya Firdaus.

“Sepertinya belum, Firdaus.”

“Mengapa mereka tidak memecatnya saja?”

“Kalau dia dipecat, sepertinya dia mengabdikan diri sepenuhnya kepada kejahatan, apalagi bertemu dengan orang yang merancang kasus seperti Zain.”

“Benar juga.”

“Sekarang, setelah terbukti, aku baru berani menunjukkan triknya.”

“Bagaimana? Aku penasaran,” tanya Firdaus bersemangat.

“Pertama, kembang api itu. Kita sudah mengetahui bahwa ternyata bom asap. Menurutku bom itu dikendalikan karena cukup mustahil meledak tepat waktu.”

“Kedua, trik utama. Menurutku Alif sudah dibunuh jauh hari dengan memutus lengan kirinya. Mayatnya dibawa ke helikopter kemudian diterjunkan. Kita tidak bisa melihatnya, jadi ini hanya analisaku.”

“Kekurangannya hanya satu, yakni–aku yakin dengan penglihatanku saat itu– Zain memegang bom dengan tangan kanannya.” Pada saat itu, aku merasa aku sudah memecahkan kasus ini dengan anggapanku bahwa triknya gagal.

Komentar