arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Sabtu, 14 Februari. 10:21 - Aku sedang belajar Seni Budaya di kelasku. Kami kembali ke sekolah 2 Januari yang lalu. Beruntung sekali kami tidak ditanya tentang liburan kami.

Rian, nama guru Seni Budaya di kelas kami. Beliau menceritakan bahwa malam ini adalah malam dimana seluruh guru Seni Budaya di Sukamawar, Kebun Melati dan Pasir Putih akan mengadakan konser yang kebetulan tahun ini diadakan di Lapangan Sukamawar.

Aku mempertanyakan konser apa yang akan mereka tampilkan, Rian hanya menjawab “Konser Musik Klasik.”

Lalu tiba-tiba beliau menambah bahwa konser ini mengharuskan pusat sorotan melakukan cosplay dari musisi klasik terdahulu. Beliau akan berperan sebagai Ludwig van Beethoven.

“Meskipun demikian, kami juga akan menampilkan hasil komposisi kami yang seharusnya dengan gaya yang sama dengan yang kami perankan.”

Beliau mengakhiri pelajaran dengan mengucap salam dan keluar kelas.

10:30. Waktu istirahat selalu kami habiskan bersama, entah itu di kantin, perpustakaan, atau bangku taman. Kali ini kami sedang di kantin, dan baru saja selesai makan.

Aku pun membicarakan tentang konser musik klasik yang akan diadakan besok itu. Firdaus sepertinya juga sudah tahu.

Dengan acaranya yang diadakan pada malam hari, aku berpikir bahwa mungkinkah kami sama-sama datang ke sana.

Pada akhirnya, kami bersepakat untuk sama-sama ke sana nanti malam.

15:00. Aku sebenarnya bahkan tidak tahu tentang musik klasik. Kemudian aku dikejutkan dengan konser ini diadakan di Sukamawar.

Aku tahu bahwa sempat diadakan di Kebun Melati, tapi saat itu aku tidak bisa keluar rumah karena … alasan tertentu. Huft.

Aku bersyukur sekarang aku berada di lingkungan Sukamawar, apalagi setelah tembok pembatas itu mulai hancur dan kami bisa melihat satu sama lain lagi. Mungkin ini kebijakan walikota yang baru. Bisa saja mereka sudah bekerja sama.

Aku sekarang berada di ruanganku, sambil riset kecil tentang acara yang diadakan ini. Nampaknya acara ini tidak akan berjalan sebagaimana semestinya, mengingat semua komposer musik klasik seharusnya bermusuhan.

Aku menelepon Firdaus untuk memberitahukan ini. Mengejutkan sekali, mendadak dia tidak bisa ikut karena cukup banyak PR dan harus dikumpul besok.

16:46. Aku tiba di rumah Firdaus. Aku yang kebetulan tidak ada PR, mencoba membantunya agar kami bisa bersama ke sana.

“Hei, Firdaus. Menurutku apakah semua pemaparanku salah?”

“Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?”

“Kamu menyadarkanku bahwa pemaparanku saat Matsama itu salah total. Kamu jugalah yang membantuku tentang Dimas itu.”

“Tidak. Kamu masih banyak benarnya.” Aku terdiam sebentar dan mencoba topik baru. “Apa yang kamu lakukan selama ayahmu pergi ini?”

“Aku hanya menonton televisi dan membaca info lainnya dari ponselku. Bagaimana denganmu? Aku sudah sering ke rumahmu dan sampai sekarang aku belum melihat orang tuamu. Bahkan foto keluarga tidak terlihat di rumahmu.”

“Aku membaca buku di ruanganku. Ada foto orang tuaku di dalam ruangan itu juga. Ada juga berkas di komputer,” jawabku tersenyum dengan suara pelan.

“Kamu tidak pernah mengajakku ke ruangan itu.”

“Nanti suatu saat.”

Singkat cerita, setelah membantu Firdaus, aku pulang ke rumah dan berjanji untuk bertemu di lapangan.

20:46. Kami tiba di Lapangan Sukamawar. Nampaknya pada waktu yang sama. Aku mulai melihat ke sekitar dan kagum dengan konsep panggung yang mirip kerang terbuka itu.

Masyarakat sudah banyak terkumpul. Namun acara belum saja dimulai.

Aku berbicara dengan Firdaus, sekali lagi tentang permusuhan antar komposer musik klasik itu. Tapi dia hanya menyuruhku untuk tenang.

Tak lama setelah kami berbicara, aku mendengar teriakan. Aku berlari ke arah sana, dan diikuti oleh Firdaus.

“Ada apa?” tanya Firdaus.

“Kenapa Anda berteriak?” tanyaku melihat seorang wanita bersembunyi di balik dinding.

Dia menunjuk loker yang terbuka dengan mayat pria itu tergeletak di depannya. Aku berasumsi sementara bahwa pria itu dimasukkan ke dalam loker itu.

“Firdaus, tanyakan kepadanya bagaimana dia bisa menemukan mayat ini. Tanyakan juga identitasnya kalau bisa.”

Aku mulai melihat mayat itu dari dekat, dia mengenakan sebuah rambut palsu. Sepertinya dia memerankan Johann Sebastian Bach.

Aku melepas rambut palsu itu. Aku dikejutkan dengan luka di belakang kepalanya dan beberapa serpihan kayu.

Aku mengangkat tubuhnya. Di tangannya, dia memegang sebuah komposisi musik. Aku mengambilnya perlahan dan membacanya. “Ini ciri khas dari Niccolò Paganini.” Ya, bagaimana mungkin pizzicato tangan kiri dimainkan bersamaan dengan melodi?

“Aku akan menyimpannya dahulu. Aku akan mencari orang yang memerankannya.” Aku menyimpannya dengan hati-hati. Kebetulan Firdaus datang kepadaku. Dia dapat menghalangi pandangan orang ketika aku memasukkan ini dalam sakuku.

“Namanya Tiar, dia berperan sebagai Mozart. Dia bercerita bahwa dia ingin mengambil sesuatu dari lokernya. Dia membukanya dan menemukan mayat ini langsung terjatuh ke arahnya.”

“Mozart?”

“Dia bilang begitu. Memangnya kenapa?”

“Wolfgang Amadeus Mozart itu seorang pria. Mengapa seorang wanita yang memerankannya?”

“Mungkin karena dia ingin?”

“Bisa jadi. Tapi bukankah itu menyalahi aturan cosplay?”

“Kurasa tidak. Siapapun boleh memerankan siapapun. Contoh di sini perempuan memerankan laki-laki.”

“Dari mana kamu tahu itu?”

“Cerita kakakku setelah pulang dari Jepang. Kebetulan saat olimpiade itu diadakan juga kontes cosplay. Tapi tenanglah, tidak hanya kamu yang membenci orang yang memerankan tidak seharusnya dia perankan. Kakakku juga.”

“Mari kita lihat nama di loker ini. Apakah benar-benar milik Tiar itu?”

Aku memerhatikannya. “Dia berbohong, Firdaus. Loker ini adalah miliknya.” Aku menunjuk mayat di bawahku.

Komentar