arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Polisi berdatangan setelah mengetahui sebuah pembunuhan sudah terjadi. Beberapa orang nampaknya melaporkan kejadian ini.

Seorang pria kulihat mendatangi polisi. “Bapak, saya kehilangan biola saya. Apakah ada disini?” tanyanya.

“Biola?”

“Dimana Anda terakhir menaruhnya?”

“Di loker saya.”

“Yang mana? Coba buka!”

Ketika dia mulai membuka loker dengan kuncinya. Aku mendekat untuk melihat juga ke dalam loker itu.Loker itu terbuka. “Astaga! Siapa yang menghancurkan biolaku?”

“Mungkin Anda sendiri karena serpihan kayu yang kami temukan di belakang kepala mayat ini cocok dengan biola Anda.”

“Saya tidak akan melakukannya! Biola itu sangat saya sayangi sehingga tidak mungkin saya menghancurkannya.”

“Mungkin orang ini yang Anda benci sehingga melupakan hal itu dan membunuhnya. Bukti mengarah kepada Anda, sehingga Anda kami tahan sementara!”

“Bapak! Saya sebentar lagi tampil pak!”

“Tampillah di penjara!” ucap polisi itu sambil menyiapkan borgol.

“Baiklah! Saya menyerahkan diri! Tapi, sebelum memborgol tangan saya, izinkan saya melihat ke dalam loker saya. Kalau-kalau … sudah kuduga! Karya ciptaanku juga hilang!”

“Sumpah! Aku menyesal menjadi Paganini.”

“Paganini?” gumamku.

Aku mendekati pria itu. “Apakah ini milik Anda?” tanyaku menyerahkan kertas itu. Dia membenarkan dan bertanya balik kepadaku tentang dimana aku menemukannya.

“Tapi, jika aku ditahan siapa yang akan menampilkan ini?”

“Aku saja!” ucap seseorang yang datang.

“Tiar? Tapi, sanggupkah kamu melakukannya?”

“Ya, aku sanggup Edo.”

Aku mundur untuk mendekati Firdaus. Tanpa sengaja aku menabrak seorang wanita. Untung dia menahan dengan tangannya.

“Hati-hati kalau berjalan!” ucapnya kemudian pergi.

“Siapa wanita itu?” tanyaku dalam hati.


Kami menonton dari kejauhan. “Sebentar lagi kita akan menyaksikan penampilan Paganini.” Pembawa acara itu membuktikan ucapan pria bernama Edo tadi.

“Idris, menurutmu apakah pria bernama Edo itu pelakunya?” tanya Firdaus.

“Aku masih memikirkannya, tapi banyak hal yang membuat beliau mustahil menjadi pelakunya. Ditambah beberapa kejanggalan yang kusadari barusan.”

“Apa itu?”

“Bukankah tidak seharusnya dalam cosplay mereka menyebut nama asli?”

“Berarti, apa pendapatmu?”

“Bagaimana kalau sebenarnya Tiar itu benar-benar berbohong kepadamu? Bisa saja dia memberi pernyataan lain ketika ditanyai polisi.”

“Mari kita buktikan. Dia akan tampil sebentar lagi. Jika dia benar-benar musisi atau paling tidak guru Seni Budaya, dia akan menampilkannya dengan baik.”

“Ya, mari kita buktikan. Terlebih-lebih Edo menghayati menjadi Paganini. Komposisi buatannya terlihat menyusahkan.”

Setelah berbicara, aku memperhatikan orang berjalan lalu lalang di depan kami. Kami memilih di posisi belakang, agar kami bisa melihat dari kejauhan.

Aku bisa melihat seorang wanita mendekat ke arah panitia, terlihat bapak Rian menjadi salah seorang dari panitia itu. Setelah menyerahkan sesuatu, dia pergi.


“Kita sambut, Paganini!”

Paganini diperankan oleh Tiar, setelah Edo tertangkap karena dituduh sebagai tersangka.

“Tunggu, dia memainkan biola, kenapa di atas sana ada piano?” tanyaku kepada Firdaus.

“Aku tidak tahu,” jawabnya.

“Caprice number 24? Edo bahkan tidak membuat itu! Kenapa dia mengambil kertas itu?” tanyaku.

Penonton mulai bubar. Nampaknya mereka kecewa. Firdaus menanyakan kepadaku alasannya.

“Dia tidak memainkannya secara asli. Nampaknya para penonton mengetahui dari gerakan tangannya. Dia juga memainkannya secara buruk sehingga rekaman dan tangannya tidak sinkron.”

Aku kemudian menjelaskan kepada Firdaus bahwa estetika dari konser musik klasik adalah dimana seorang pemain alat musik apapun yang memainkan karya musik klasik manapun, harus memainkannya langsung sehingga latihan sangat diperlukan.

Saat penonton tersisa sedikit, tiba-tiba piano yang bergantung itu jatuh dan tepat menimpa Tiar. Penonton mulai kembali untuk melihat hal itu.

“Anto! Seandainya kamu masih hidup, mungkin kamu senang melihat dia mati!”

“Mereka masih ada disini?” tanya Firdaus memalingkan wajah. Aku pun berpaling. Ternyata yang dimaksudnya adalah Edo dan polisi.

“Pianoku!” teriak seorang wanita berlari dari arah panitia. Wanita itu yang hampir kutabrak saat di loker. Dari pakaian, dia nampaknya memerankan Franz Lizst. Lagi-lagi seorang wanita yang memerankan pria.

“Berhenti di sana!” teriak polisi sambil menodongkan pistol dari kejauhan.

“Berlutut dan angkat tangan!”

“Apa salah saya pak?”

“Itu pianomu ‘kan? Karena itu pianomu berarti kamulah yang membunuh wanita itu.”

“Karena dia pemilik piano bukan berarti dia pembunuhnya, sama seperti saya barusan. Karena saya pemilik biola bukan berarti saya pembunuhnya.” Edo membela.

“Hei! Kenapa kamu seperti itu?” tanya polisi.

Polisi itu nampaknya mencurigai sesuatu. Dia mulai menggeledah jas yang dipakainya. Mereka menemukan sebuah kertas di saku kanannya, dan menanyakan hal tersebut.

“Ini milikmu?” Wanita yang berlutut itu meminta untuk memperlihatkan kepadanya juga setelah mendengar pertanyaan dari polisi barusan. “Itu punya saya.”

“Lisa, dengarkan aku. Aku tidak pernah berniat mengambil karyamu itu. Entah kenapa, ada saja di jasku.”

Panitia selesai membersihkan panggung sementara Tiar dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans.

“Acara terakhir malam ini, penampilan oleh Beethoven!”

Waktu berlalu. Penonton kembali bubar.

“Mana Rian? Bukankah dia yang jadi Beethoven?”

“Ada apa? Kalian mencariku?” tanya Rian yang kebetulan lewat. Dia berjalan dari arah loker.

“Kenapa kamu tidak naik ke sana?”

“Lah, aku sudah bilang kepadamu bahwa aku ingin meminjam biolamu tapi katamu rusak. Karena hal itu, aku juga sudah bilang kepada Lisa, dan kita bisa melihat bahwa baru saja pianonya juga kurang pantas untuk dipakai.”

“Kamu tidak punya alat musik sendiri?” tanya Edo.

Rian menjelaskan bahwa dia tidak mempunyai satu alat musik pun dan pada konser terdahulu meminjamnya dari sekolah.

“Idris, apakah kamu ingat isi ruangan yang dulunya terkunci itu sebelum diledakkan?” tanya Firdaus berbisik dengan senyum menyeringai. Aku mengangguk.

“Lagipula tahun ini aku hanya berperan sebagai Beethoven. Orang yang tuli, bagaimana dia bisa membuat karya musik?”

“Bapak, Anda berbohong!” ucap Firdaus.

“Bahkan pernyataan Anda barusan salah!” ucapku.

Komentar