“Untuk membuktikannya, bapak, boleh kami minjam kunci Anda?”
“Ada apa bapak? Apakah itu bukan kunci Anda? Itu kunci panitia kan? Kunci yang cocok untuk semua loker yang di sana. Saya yakin sebenarnya Anda ingin menyembunyikan sesuatu.”
Polisi itu memborgol tangan Rian. “Diamlah di sini!” ucap polisi itu. Polisi itu mengambil kunci dari saku Rian dan menyerahkan kepadaku.
Aku kembali ke loker itu. Loker yang satu dengan yang lainnya berdempetan. Loker Edo dan Anto dibatasi oleh loker Rian.
Aku membuka loker Rian. Aku memasuki loker itu dan menepuk dindingnya. Dinding yang membatasi kedua loker itu dengan mudahnya kujatuhkan hanya dengan satu tepukan.
“Ya, sudah saya buktikan. Pelakunya memang bapak Rian.” Aku mengembalikan kunci itu.
“Buktikan kalau aku pelakunya.”
“Juli tahun lalu, di gudang MA Sukamawar kami menemukan hampir semua alat musik yang disediakan hancur. Sepertinya beliau sudah melakukan berbagai pembunuhan sebelumnya. Firdaus memulai pemaparan kami.
“Sebagai panitia Anda sama sekali tidak mengetahui apapun tentang musik klasik.” Aku melanjutkan. “Ludwig van Beethoven memang tuli, tapi sebelum beliau tuli sudah banyak karya yang beliau ciptakan.”
“Itu tidak membuktikan bahwa aku pelakunya.”
“Baiklah, kalau Anda memintanya,” ucapku.
“Anda sebelumnya mencuri karya Edo yang memerankan Niccolò Paganini dan Lisa yang memerankan Franz Liszt, kemudian menuduh orang lain dengan cara Anda.”
“Tidak, aku tidak mencurinya. Akui itu Edo dan Lisa!”
“Anto meminjam biola dan karyaku sebelum siapapun. Katanya dia membandingkan dengan miliknya.” Edo menyatakan hal tersebut.
“Aku melihat Tiar sempat menyentuh karya dan pianoku.” Ucapan Lisa mulai membingungkanku. Aku memilih kembali ke loker itu sekali lagi, mencoba berpikir secara jernih.
Loker yang masih terbuka, aku memeriksa ke dalamnya. Kali ini, aku baru menemukan bukti baru, sebuah cello yang juga hancur. Jenis kayunya sangat mirip dengan biola Paganini.
Aku agak kesal saat itu karena luput dari hal itu. Pada saat itu pula aku sadar bahwa bersama Firdaus, kami bisa berbagi, melihat hal yang satu tidak bisa lihat.
Aku kembali kepada mereka dan menanyakan siapa pemilik cello di loker itu. “Anto.” Jawaban mereka sama.
“Baiklah, aku menyerah. Aku tidak tahu apapun kali ini. Bagaimana denganmu Firdaus?”
“Tidak, kurasa kau masih benar bahwa beliau pelakunya. Beliau baru saja mengaku bahwa beliau panitia, nampaknya beliaulah yang mengendalikan piano tergantung itu dan menjatuhkannya kepada Tiar.”
“Kasian kalian, lebih baik aku mengaku saja. Ya, aku pelakunya,” ucap Rian. “Paling tidak tentang Tiar itu benar, namun tetap saja aku beritahukan apa yang sebenarnya terjadi.”
“Aku sama sekali tidak berniat membunuh Anto, aku hanya ingin meminjam alat musiknya. Tapi aku melihatnya menyalakan pemantik api dan mencoba membakar karyamu Edo. Aku mendorongnya agar tidak terjadi hal itu namun dia menjatuhkan biolamu. Di saat itulah biolamu sudah mulai rusak.”
“Kami sempat berkelahi. Aku melihat cello itu di lokernya, ketika dia berpaling, kemarahan membuat diriku memukulkan ke belakang kepalanya. Dia jatuh tepat ke lokermu, dindingnya hancur, biolamu juga.”
“Saat itu aku takut. Karena ketakutanku aku menyembunyikan jasadnya di loker Tiar dan cellonya di lokerku. Aku hanya lari setelah itu. Kamu tidak akan tahu betapa dilemanya diriku.”
“Lalu bagaimana dengan Tiar? Mengapa Anda membunuhnya?”
“Dia tidak pantas untuk memainkan karya Edo. Seharusnya Lisa yang menggantikannya, tapi Tiar datang lebih dahulu dan memanfaatkan hal itu.”
“Aku sebagai panitia, dipaksanya untuk memutar rekaman Caprice number 24 itu. Aku memang kurang mengetahui tentang musik klasik tapi aku sangat tahu itu menentang aturan dari konser ini. Dia juga memaksaku sebelum itu untuk menyembunyikan karya Lisa di jas Edo. Dia mengancam akan membunuhku.”
“Aku melakukan ini semua, demi keselamatan Edo. Dia dari tahun ke tahun selalu memerankan Paganini dan sukses. Kali ini orang seperti Anto dan Tiar akan menggagalkannya, aku tidak mau hal ini terjadi.”
“Merekalah yang menghancurkan alat musik sekolah kita, Idris dan Firdaus. Bapak juga takut dimarahi kepala madrasah sehingga bapak hanya menyembunyikannya di gudang. Bapak kurang mampu untuk menggantinya.”
“Maaf ya, Edo dan Lisa membuat kalian tertuduh seperti ini. Aku tidak bermaksud melakukannya. Jadi, polisi, silahkan,” ucap bapak Rian menyerahkan tangannya untuk diborgol.
Sabtu, 21 Februari - Jadwal dimana kami kelas X Agama belajar Seni Budaya di hari itu. Aku sempat berpikir, siapa yang akan menggantikan Rian.
“Selamat pagi anak-anak!”
“Selamat pagi pak!” Aku menjawab salam itu dengan cukup terkejut.
“Perkenalkan, nama bapak Edo. Bapak akan menggantikan bapak Rian di kelas mulai Sabtu ini.”
“Ada apa pak dengan bapak Rian?” tanya salah satu temanku.
“Nampaknya setelah konser yang diadakan di lapangan pekan tadi, beliau pindah untuk mengajar di tempat lain.”
Edo memandangku, nampaknya beliau hanya menyuruh agar aku diam saja karena mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Dari sini aku tahu, bahwa sebenarnya persahabatan Edo dan Rian sangat erat. Mereka saling melindungi satu sama lain. Hanya saja cara Rian kurang tepat.