1 Maret – Sebuah taman baru dibuka. Terletak di sebelah timur perbatasan Sukamawar-Kebun Melati. Bagian dari Kota Dingin. Hanya saja, kami sebagai warga yang dekat dengan tempat itu diminta untuk berhadir juga oleh Pak Mahmud.
Uniknya, taman itu diberi nama Winter Garden yang menurut Firdaus itu sangat bertentangan dengan keadaan cuaca sekarang. Cuaca kota ini mulai tidak menentu, terkadang hujan dan terkadang cerah. Tapi musim dingin itu nampaknya tidak ada.
Tetapi aku mengingatkan tentang Kota Pasir Putih, dimana mereka merayakan natal meski tidak ada musim dingin yang identik dengannya.
“Bisa saja bunga-bunga yang ada di taman ini seharusnya tumbuh di musim dingin.”
Kami berdiri cukup jauh dari panggung kecil yang sudah dipersiapkan di tengah taman. Firdaus berada cukup jauh dariku. Dia mengatakan bahwa dia ditelepon ayahnya dan keadaan di sini cukup ramai sehingga dia tidak bisa mendengarnya.
Tiba-tiba, jubahku di tarik perlahan oleh seseorang dari arah belakang. Aku berpaling untuk melihatnya. Seorang gadis kecil ternyata.
“Kak, apakah kakak melihat ibuku?”
“Siapa anak ini?” tanyaku dalam hati.
Aku dilema sekarang. Apakah aku akan menjawab tidak tahu karena memang itu kebenarannya, ataukah aku harus beraksi seolah aku tahu? Aku benar-benar bingung.
“Lily, kemari!” teriak seorang wanita dari kejauhan.
“Ibu!” Gadis kecil itu berlari menuju ke arahnya.
“Lily….”
Firdaus kembali bersamaku. “Siapa barusan?” tanyanya.
“Aku bahkan tidak tahu siapa dia sampai ibunya memanggilnya.”
“Kukira itu adikmu.”
“Mana ada aku punya adik.”
Acara akan dimulai sebentar lagi. Segalanya nampaknya sudah dipersiapkan secara matang. Masyarakat di sini nampaknya unik.
Tepat di depan kami, ada sepasang –aku tidak tahu apakah mereka kembar, saudara biasa atau pasangan biasa yang kebetulan berwajah mirip– yang sedang bersiap-siap untuk merekam diri mereka sendiri. Yang pria memegang tongsis.
“Halo guys! Namaku Daffa!”
“Namaku Dila!”
“Hari ini kami berada di Winter Garden untuk menyaksikan pembukananya! Ikuti kami yuk!” Mereka berputar untuk memperlihatkan taman ini di kamera.
“Idris, kita lakukan itu juga yuk!” ajak Firdaus sambil menyiapkan ponselnya.
“Kurasa tidak. Aku tidak mau.”
“Kenapa?”
“Firdaus, saat kita bertemu di Matsama mungkin kamu tidak tahu seberapa gugupnya aku. Kamulah yang duluan menyapaku. Seandainya tidak mungkin aku tidak berani untuk menyapamu duluan.”
“Baiklah. Mungkin lain kali.” Firdaus kembali memasukkan ponsel ke dalam sakunya.
Acara dimulai. Pembawa acaranya seorang wanita, namanya Lia –dia mengenalkan dirinya– dan dia mewakili walikota Kota Dingin yang kebetulan tidak bisa berhadir hari ini. Aku mulai penasaran siapa walikotanya.
Dia menceritakan awal mula kenapa taman ini dibuat. Entah kenapa, ceritanya terdengar aneh bagiku. Aku tidak mau berprasangka buruk namun taman ini nampaknya dibuat hanya untuk menyaingi Taman Sukamawar dan Kebun Melati. Aku mulai malas mendengar sambutan sebelum acara ini.
“Firdaus.” Aku menyenggolnya perlahan dengan siku kananku.
“Apa?” Bahkan Firdaus juga. Dia memegang ponselnya dari tadi. Mungkin dia memilih berkirim pesan saja karena tangannya terlihat seperti mengetik sesuatu.
“Kamu itu hanya tidak suka bunga melati atau bunga lainnya?” tanyaku.
“Kenapa kamu menanyakan itu?”
“Winter Garden ini nampaknya memiliki banyak bunga dan mungkin bertambah nantinya. Aku memperhatikanmu dan kamu nampaknya biasa saja di sini.”
“Ya, kurasa entah kenapa aku hanya tidak suka melati.”
“Tapi apakah kamu fobia? Reaksimu berlebihan saat kita di restoran baru Kebun Melati itu.”
“Tidak. Aku juga bingung kenapa aku bereaksi seperti itu. Aku seolah tidak bisa mengendalikannya. Tapi bisa saja ‘kan karena racun di dalam tehnya itu? Sehingga tubuhku berusaha melawannya.”
“Hm, benar juga,” gumamku. Aku langsung tidak tahu apa yang harus aku tanyakan lagi.
Tali simbol pembukaan taman itu dipotong oleh walikota Kebun Melati dan walikota Sukamawar. “Indahnya perdamaian.”
Aku kemudian teringat bahwa tembok pembatas Kebun Melati-Sukamawar nampaknya juga akan segera hancur sepenuhnya.
“Bagaimana kalau tembok pembatas hancur sehingga aromanya akan tercium sampai ke rumahmu?”
“Kurasa aku harus mulai beradaptasi. Hal itu mungkin tidak bisa dihindari juga.”
Buket bunga sebenarnya ingin diserahkan kepada salah satu dari walikota itu, namun mereka tidak ada yang mau menerimanya. Akhirnya terpilihlah bahwa buket bunga akan dilempar.
“Aku mau!” teriak Lily. Teriakannya itu membuat orang langsung memandang ke arahnya. Aku melihat ibunya malu akibat hal tersebut.
“Hai Melinda!” sapa Lia.
“Oh, hai!” Rupanya nama ibu Lily adalah Melinda. Dia mungkin berteman dengan Lia si pembawa acara itu. Melinda hanya tersenyum menutupi rasa malunya.
Lia turun menuju arah Lily. Tiba-tiba hatiku mulai tidak tenang. Aku teringat buket bunga yang dipegang Dimas sang ilusionis persis seperti buket bunga itu.
“Semoga saja tidak terjadi.”
BUM!
Bunga-bunga berterbangan. Masyarakat mulai panik melihat hal tersebut. Nampaknya permohonanku tidak terkabulkan saat itu. Firasatku benar. Buket bunga itumeledak. Membuat tangan Lia menyucurkan darah dan melukai Lily.